Di Bali Gerabah Masih Eksis untuk Ritual Keagamaan dan Seni
Pada era sekarang, mendengar nama gerabah ingatan kita
pasti fokus kepada
hal yang bernuansa tradisional dan barang kuna.
Pasalnya, gerabah era teknologi saat ini nyaris orang tidak lagi menggunakan
sarana perabot rumah tangga karena dianggap kurang efektif dan efesien. Benar
adanya, kecuali khusunya bagi umat Hindu di pulau Bali, penggunaan produk
gerabah hampir tidak pernah diabaikan karena dalam melaksanakan ritual agama
Hindu terutama Upacara Pitra Yadnya gerabah
berwujud periuk wajib digunakan untuk tempat tirta penanjen, dan masih banyak lagi penggunaan gerabah dalam
upacara agama/adat bagi umat Hindu di Bali.
Bukan
di Bali saja penggunaan gerabah untuk sarana upacara agama/adat, tetapi di
banyak daerah di Nusantara penggunaan produk gerabah untuk keperluan kegiatan ritual
upacara adat atau acara-acara tertentu karena diyakini memiliki simbol
spiritual tertentu. Saat ini penggunaan
gerabah sudah berkembang/bergeser digunakan oleh masyarakat sebagai barang
koleksi seni.
Begitu
besar fungsi gerabah dalam kehidupan manusia sejak jaman dulu hingga sekarang,
tetapi kapan sejarah gerabah itu mulai dikenal
manusia di dunia, nyaris tidak pernah orang mengetahui.
Tulisan ini mencoba menelusuri sepintas
bagaimana kilas balik
keberadaan gerabah dari dimensi sejarah dan fungsi dasarnya di tengah-tengah masyarakat. Hal itu
dirasakan penting sebagai bentuk apresiasi dari generasi sekarang yang telah menggunakan produk
gerabah kepada orang-orang yang bejasa pada jaman dahulu dalam menciptakan teknik pembuatan produk
gerabah dan berbagai jenis mode.
Sejarah Gerabah
Gerabah, suatu benda yang
terbuat dari tanah liat dengan proses bembakaran/pemansan
dari api. Menurut data sejarah, gerabah atau juga dikenal nama tembikar mulai dikenal dan digunakan
oleh manusia sekita akhir masa paleolitikum atau neolitikum, yaitu ketika
manusia telah menetap dan melakukan kegitan pertanian atau hortikultura.
Di luar Indonesia,
gerabah tertua ditemukan sekitar tahun 6500 SM pada masyarakat Sumeria
Kuna di
lembah sungai eufrat, dan di mesir kuno sekitar tahun 4500SM. Gerabah
diciptakan dan dikembangkan manusaia secara independen dikalangan masyarakat
benua barat maupun timur. Namun pada masyakat yang tidak mengenal atau
menggunakan gerabah dalam kehidupan mereka misalnya penduduk Polenesia.
Diperkirakan bahan baku untuk gerabah tidak ditemukan di daerah mereka (Polenesia).
Penyelidikan
arkeologis di Indonesia membuktikan bahwa benda–benda gerabah
mulai dikenal pada masa bercocok tanam. Bukti–bukti tersebut berasal dari Kendenglembu
(Banyuwangi), Kelapa Dua
(Bogor), Serpong (Tanggerang),
Kalumgpang dan Minangaa Sipakka
(Sulawesi Tengah), dan dari sekitar bekas danau
Bandung.
Sedangkan
di Nusa Tenggara Barat, hasil ekskavasi juga ditemukan gerabah di situs Gunung
Piring
pada tahun 1976, terletak di Kampung Mertak, Desa Truwai,
Kecamatan Pujut, Kabupaten
lombok Tengah. Gerabah tersebut sebagian besar
berupa periuk, kini disimpan sebagai koleksi di
pusat penelitan Arkeologi Nasional Jakarta, Balai
Arkeologi Denpasar,
Balai Arkeologi
Yogyakarta, dan Musuum
Negeri NTB (Prima, 1994:18). Benda-benda
peninggalan tersebut mampu “berbicara” tentang keberadaan aktifitas sosial
religius masyarakat penduduknya pada masa lampau.
Fungsi Gerabah
Berbagai
jenis wujud fisik gerebah pernah di ciptakan
oleh manusia, dari jenis yang dibuat secara tradisional (memakai tangan) sampai
modern (memakai alat putar). Diperkirakan
gerabah yang dibuat pada mulanya berkisar pada fungsi alat-alat rumah tangga
(dapur) dan aktifitas religi. Kini pada jaman serba
teknologi, gerabah yang diperkirakan akan tergeser dan tersungkur, justru
sebaliknya. Seperti kita ketahui bersama, tampak berkembang “hidup” berdampingan
di masyarakat digunakan sebagai media seni (interior)
dan ekonomi (cindramata).
Banyak jenis gerabah
masih dikenal masyarakat sampai saat ini, diantaranya berupa priuk, tempayan,
tungku, kukusan, celengan, pot atau pas bunga, kendi, gentong dan bentuk benda seni ainnya.
Tidak
memungkiri, memang sekarang hampir semua masyarakat di kota maupun desa tidak
lagi menggunakan peralatan rumah tangga (dapur)
dari alat gerabah, dan kini telah diganti dengan
bahan aluminium/plastik yang dirasakan lebih praktis dan efesien. Tetapi dalam kegiatan-kegiatan relgi, gerabah tidak begitu mudah dapat digantikan
dengan benda lain. Misalnya, Kendi Gerabah
masih digunakan berbagai
pihak dalam
upacara peresmian/pengukuhan yang sering kita lihat di siaran televisi,
tentunya dalam rangka memohon keselamatan. Seperti pada upacara pemberian nama Tetuko
untuk pesawat terbang Nusantara di Bandung th. 1984, Presiden Soeharto memecahkan Kendi Grabah yang
berisi air wangi di hidung pesawat.
Secara
umum termasuk pada masyarakat Lombok, priuk gerabah telah dipergunakan sebagai
wadah bekal kubur. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh hasil ekskavasi Gunung
Piring th. 1976.
Seperti
halnya bagi umat Hindu di Bali dan masyarakat di
Lombok (Nusa Tenggara Barat) tempat pernah penulis bertugas, sebagian ada
warga masyarakatnya masih sampai sekarang menganut kepercayaan (religi)
yakni menggunakan periuk gerabah kecil sebagai wadah ari-ari
bayi dari seorang ibu yang baru melahirkan. Priuk beserta ari-arinya ditanam di
depan rumah tempat tinggal sang orangtua bayi.
Umat Hindu di Bali saat upacara Pitra
Yadnya (ngaben), menggunakan
puluhan periuk ukuran kecil yang tidak dapat digantikan dengan wadah lainya sebagai wadah tirta penanjen dari sang Sulinggih yang
dipersembahkan kepada sang pitra yang diupacarai.
Di
Jawa Barat pada upacara perkawinan mempelai
wanita membasuhi kaki mempelai pria dengan
air kendi sesudah upacara pemecahan telur. Kemudian kendi tersebut diberikan
kepada memplai pria untuk dipecahkan. Upacara ini melambangkan kesetiaan istri
pada suami, dan untuk menghilangkan rasa saling syakwasangka.
Masih banyak lagi jenis gerabah yang memiliki fungsi dan
aktifitas religi.
Sebagai
komuditi seni dan ekonomi, gerabah produk dari berbagai daerah di Nusantara
tampaknya masih mampu hidup di sepanjang zaman karena mengalami modifikasi
dalam berbagai bentuk seperti desain bentuk, mutu bahan, teknik pembuatan dan
ilustrasi seni yang sangat menarik sesuai dengan selera pasar.
Tentunya modifikasi tersebut berkat pembinaan terarah dan insensif
dari berbagai pihak.
Di Indonesia bagian Timur, misalnya gerabah produk desa Banyu Mulek,
Lombok Barat, sebagai salah satu Desa dari beberapa desa
di NTB memproduksi berbagai bentuk
gerabah, telah terkenal di mancanegara sampai saai ini. Sentra-sentra gerabah
di NTB meskipun masih berupa industri rumah tangga, tetapi sudah mampu memberi
nilai tambah sosial ekonomi bagi perajin. Di Pulau Jawa
(Yogyakarta) tepatnya Desa Kasongan terkenal dengan industri kerajinan gerabahnya.
Sedangkan
di Bali, produk gerabah dikenal banyak dihasilkan
oleh masyarakat desa Pejaten, (Tabanan), Kapal (Badung), dan juga wilayah timur
Karangasem tepatnya di Desa Jasri. Perajin gerabah di Jasri lebih banyak fokus
pada periuk untuk keperluan upacara agama.
Gerabah Sebagai Koleksi Museum
Usaha-usaha
penyelamatan gerabah hasil proses
budaya manusia sepanjang zaman oleh masyarakat dilakukan dengan cara menyimpan di rumah
tempat tinggalnya sendiri sebagai koleksi benda warisan leluhurnya. Cara
lain lagi, menyerahkan langsung ke Museum
terdekat dengan sistem imbalan ganti rugi, hibah
dan titip. Penyelamatan lain dari masyarakat sebagai wujud kepedulian terhadap
benda-benda seni budaya dengan cara mengumpulkan
mengoleksi berbagai jenis wujud gerabah sekaligus
sebagai penyalur hobi/seni.
Hampir
semua museum umum/daerah (negeri) di
Indonesia memiliki berbagai jenis koleksi gerabah sesuai dengan fungsinya yang diperoleh dengan
cara ekskavasi (penggalian) dan seperti sistem yang
terurai di atas. Sebagai koleksi Museum gerabah terklasifikasikan kedalam
jenis etnografi, arkeolog dan
prasejarah.
Begitu
tinggi nilai gerabah, penulis beberapa tahun lalu pernah menemui seorang
mahasiswa
fakultas teknik sipil dari salahsatu perguruan tinggi
di Denpasar, Bali sedang mengadakan
penelitian di Museum Nusa Tenggara Barat untuk penyusunan skripsi tentang
pembuatan museum gerabah,
Feature ini pernah dimuat di Tabloid ”Bali Aga”, Edisi 51 tahun 2011
1 Komentar:
Terimakasih sharing ilmunya
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda