KOMANG PASEK ANTARA

Selasa, 25 Februari 2014

Di Bali Gerabah Masih Eksis untuk Ritual Keagamaan dan Seni



Pada era sekarang, mendengar nama gerabah ingatan kita pasti fokus kepada hal yang bernuansa tradisional dan barang kuna. Pasalnya, gerabah era teknologi saat ini nyaris orang tidak lagi menggunakan sarana perabot rumah tangga karena dianggap kurang efektif dan efesien. Benar adanya, kecuali khusunya bagi umat Hindu di pulau Bali, penggunaan produk gerabah hampir tidak pernah diabaikan karena dalam melaksanakan ritual agama Hindu terutama Upacara Pitra Yadnya  gerabah  berwujud periuk wajib digunakan untuk tempat tirta penanjen, dan masih banyak lagi penggunaan gerabah dalam upacara agama/adat bagi umat Hindu di Bali.        
            Bukan di Bali saja penggunaan gerabah untuk sarana upacara agama/adat, tetapi di banyak daerah di Nusantara penggunaan produk gerabah untuk keperluan kegiatan ritual upacara adat atau acara-acara tertentu karena diyakini memiliki simbol spiritual tertentu.  Saat ini penggunaan gerabah sudah berkembang/bergeser digunakan oleh masyarakat sebagai barang koleksi seni.
            Begitu besar fungsi gerabah dalam kehidupan manusia sejak jaman dulu hingga sekarang, tetapi  kapan sejarah gerabah itu mulai dikenal manusia di dunia, nyaris tidak pernah orang mengetahui. Tulisan ini mencoba menelusuri sepintas bagaimana kilas balik keberadaan gerabah dari dimensi sejarah dan fungsi dasarnya di tengah-tengah masyarakat. Hal itu dirasakan penting sebagai bentuk apresiasi dari generasi  sekarang yang telah menggunakan produk gerabah  kepada orang-orang  yang bejasa pada jaman dahulu  dalam menciptakan teknik pembuatan produk gerabah dan berbagai jenis mode.

            Sejarah Gerabah
            Gerabah, suatu benda yang terbuat dari tanah liat dengan  proses bembakaran/pemansan dari api. Menurut data sejarah, gerabah atau juga dikenal nama tembikar mulai dikenal dan digunakan oleh manusia sekita akhir masa paleolitikum atau neolitikum, yaitu ketika manusia telah menetap dan melakukan kegitan pertanian atau hortikultura.
            Di luar Indonesia, gerabah tertua ditemukan sekitar tahun 6500 SM pada masyarakat Sumeria Kuna di lembah sungai eufrat, dan di mesir kuno sekitar tahun 4500SM. Gerabah diciptakan dan dikembangkan manusaia secara independen dikalangan masyarakat benua barat maupun timur. Namun pada masyakat yang tidak mengenal atau menggunakan gerabah dalam kehidupan mereka misalnya penduduk Polenesia. Diperkirakan bahan baku untuk gerabah tidak ditemukan di daerah mereka (Polenesia).
            Penyelidikan arkeologis di Indonesia membuktikan bahwa benda–benda gerabah mulai dikenal pada masa bercocok tanam. Bukti–bukti tersebut berasal dari Kendenglembu (Banyuwangi), Kelapa Dua (Bogor), Serpong (Tanggerang), Kalumgpang  dan Minangaa Sipakka (Sulawesi Tengah), dan dari sekitar bekas danau Bandung.
            Sedangkan di Nusa Tenggara Barat, hasil ekskavasi juga ditemukan gerabah di situs Gunung Piring pada tahun 1976, terletak di Kampung Mertak, Desa Truwai, Kecamatan Pujut, Kabupaten lombok Tengah. Gerabah tersebut sebagian besar berupa periuk, kini disimpan sebagai koleksi di pusat penelitan Arkeologi Nasional Jakarta, Balai Arkeologi Denpasar, Balai Arkeologi Yogyakarta, dan Musuum Negeri NTB (Prima, 1994:18). Benda-benda peninggalan tersebut mampu “berbicara” tentang keberadaan aktifitas sosial religius masyarakat penduduknya pada masa lampau.


            Fungsi Gerabah
            Berbagai jenis wujud fisik gerebah pernah di ciptakan oleh manusia, dari jenis yang dibuat secara tradisional (memakai tangan) sampai modern (memakai alat putar). Diperkirakan gerabah yang dibuat pada mulanya berkisar pada fungsi alat-alat rumah tangga (dapur) dan aktifitas religi. Kini pada jaman serba teknologi, gerabah yang diperkirakan akan tergeser dan tersungkur, justru sebaliknya. Seperti kita ketahui bersama, tampak berkembang “hidup” berdampingan di masyarakat digunakan sebagai media seni (interior) dan ekonomi  (cindramata).
              Banyak jenis gerabah masih dikenal masyarakat sampai saat ini, diantaranya berupa priuk, tempayan, tungku, kukusan, celengan, pot atau pas bunga, kendi, gentong dan bentuk benda seni ainnya.
            Tidak memungkiri, memang sekarang hampir semua masyarakat di kota maupun desa tidak lagi menggunakan peralatan rumah tangga (dapur) dari alat gerabah, dan kini telah diganti dengan bahan aluminium/plastik yang dirasakan lebih praktis dan efesien. Tetapi dalam kegiatan-kegiatan relgi,  gerabah tidak begitu mudah dapat digantikan dengan benda lain. Misalnya, Kendi Gerabah masih digunakan berbagai pihak dalam upacara peresmian/pengukuhan yang sering kita lihat di siaran televisi, tentunya dalam rangka memohon keselamatan.  Seperti pada upacara pemberian nama Tetuko untuk pesawat terbang Nusantara di Bandung th. 1984,  Presiden Soeharto memecahkan Kendi Grabah yang berisi air wangi di hidung pesawat. 
            Secara umum termasuk pada masyarakat Lombok, priuk gerabah telah dipergunakan sebagai wadah bekal kubur. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh hasil ekskavasi Gunung Piring  th. 1976.
            Seperti halnya bagi umat Hindu di Bali  dan masyarakat di Lombok (Nusa Tenggara Barat) tempat pernah penulis bertugas, sebagian ada warga masyarakatnya masih sampai sekarang menganut kepercayaan (religi) yakni menggunakan periuk gerabah kecil sebagai wadah ari-ari bayi dari seorang ibu yang baru melahirkan. Priuk beserta ari-arinya ditanam di depan rumah tempat tinggal sang orangtua bayi. Umat Hindu di Bali saat upacara Pitra Yadnya (ngaben), menggunakan puluhan periuk ukuran kecil yang tidak dapat digantikan dengan  wadah lainya sebagai wadah tirta penanjen dari sang Sulinggih yang dipersembahkan kepada  sang pitra yang diupacarai.
            Di Jawa Barat pada upacara perkawinan mempelai wanita membasuhi kaki mempelai pria dengan air kendi sesudah upacara pemecahan telur. Kemudian kendi tersebut diberikan kepada memplai pria untuk dipecahkan. Upacara ini melambangkan kesetiaan istri pada suami, dan untuk menghilangkan rasa saling syakwasangka. Masih banyak lagi jenis gerabah yang memiliki fungsi dan aktifitas religi.
            Sebagai komuditi seni dan ekonomi, gerabah produk dari berbagai daerah di Nusantara tampaknya masih mampu hidup di sepanjang zaman karena mengalami modifikasi dalam berbagai bentuk seperti desain bentuk, mutu bahan, teknik pembuatan dan ilustrasi seni yang sangat menarik sesuai dengan selera pasar. Tentunya modifikasi tersebut berkat pembinaan terarah dan insensif dari berbagai pihak.
            Di Indonesia bagian Timur, misalnya gerabah produk desa Banyu Mulek, Lombok Barat, sebagai salah satu Desa dari beberapa desa di NTB  memproduksi berbagai bentuk gerabah, telah terkenal di mancanegara sampai saai ini. Sentra-sentra gerabah di NTB meskipun masih berupa industri rumah tangga, tetapi sudah mampu memberi nilai tambah sosial ekonomi bagi perajin. Di Pulau Jawa (Yogyakarta) tepatnya Desa Kasongan terkenal dengan industri  kerajinan gerabahnya.
            Sedangkan di Bali, produk gerabah  dikenal banyak dihasilkan oleh masyarakat desa Pejaten, (Tabanan), Kapal (Badung), dan juga wilayah timur Karangasem tepatnya di Desa Jasri. Perajin gerabah di Jasri lebih banyak fokus pada periuk untuk keperluan upacara agama.

            Gerabah Sebagai Koleksi Museum
            Usaha-usaha penyelamatan gerabah hasil proses budaya manusia sepanjang zaman oleh masyarakat  dilakukan dengan cara menyimpan di rumah tempat tinggalnya sendiri sebagai koleksi benda warisan leluhurnya. Cara lain lagi, menyerahkan langsung ke Museum terdekat dengan sistem imbalan ganti rugi, hibah dan titip. Penyelamatan lain dari masyarakat sebagai wujud kepedulian terhadap benda-benda seni budaya dengan cara mengumpulkan mengoleksi berbagai jenis wujud gerabah sekaligus sebagai penyalur hobi/seni.
            Hampir semua museum umum/daerah (negeri) di Indonesia memiliki berbagai jenis koleksi gerabah sesuai dengan fungsinya yang diperoleh dengan cara ekskavasi (penggalian) dan seperti sistem yang terurai di atas. Sebagai koleksi Museum gerabah terklasifikasikan kedalam jenis etnografi, arkeolog dan prasejarah.
            Begitu tinggi nilai gerabah, penulis beberapa tahun lalu pernah menemui seorang mahasiswa fakultas teknik sipil dari salahsatu perguruan tinggi di Denpasar,  Bali sedang mengadakan penelitian di Museum Nusa Tenggara Barat untuk penyusunan skripsi tentang pembuatan museum gerabah,
            Feature ini pernah dimuat di Tabloid ”Bali Aga”, Edisi 51 tahun 2011

1 Komentar:

Pada 25 April 2018 pukul 00.38 , Blogger Unknown mengatakan...

Terimakasih sharing ilmunya

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda