KARANG SOKONG PENYOKONG PAD Sejarah itu Berlanjut
Teka-teki dimana lokasi
terminal baru dibangun di Karangasem terjawab sudah, Lingkungan Karang Sokong,
Kelurahan Subagan sebagai alternativ terbaik dari berbagai aspek. Kilas balik
rencana terminal itu bukan tidak menyisakan pernak-pernik sosial ekonomi
pro-kontra dari masyarakat Karangasem. Beberapa lokasi lain sempat menjadi
pilihan, seperti wilayah Jasri, tempat lokasi Pompa Bensin dan Perasi, sebelah
Barat Puskesmas Perasi. Beberapa Alternatif pilihan sempat menjadikan para calo
tanah gentayangan mencari mangsa dengan berbagai iming-iming. Dan sang pemenang
tender, pengusaha besar I Gusti Made Tusan, sempat diragukan oleh berbagai
pihak terhadap kualitas hasil bangunannya, karena penawaran terlalu murah
dibawah standar yang ditetapkan pemerintah. Tapia pa boleh dikata, semuanya
sudah berakhir dan bangunan terminal yang cukup megah itu telah selesai
dibangun dan siap dioperasikan.
Nama Karang Sokon jarang mesyarakat Karangasem mendengar,
orang lebih banyak tahu wilayah tersebut adalah Desa Subagan. Kini, nama Karang
Sokong telah berkibar dan lebih banyak orang mengenalnya.
Pengelingsir
Karang Sokong dari Lombok
Bagaimana Karang Sokon dulu, kini dan
mendatang. Ternyata menarik untuk dirunut kisahnya. Diawali dari tabir sejarah
dalam catatan sebuah kaleidoskop, saudara-saudara kita pengelingsir warga
Karang Sokong adalah umat Muslim asal tanah Desa Sekarbela dan Pemenang Lombok
Barat. Tanah awal yang mereka tempati di Karang Sokong adalah pemberian Raja Karangasem.
Waktu itu kedatangannya bersamaan dengan Raja Karangasem pulang dari Lombok ke
Karangasem sekitar abad ke-17. Dari perjalanan suka dan duka waktu beberapa
abad, kini warga Karang Sokong telah tumbuh padat menjadi sekitar 300 KK, dan
mampu hidup mengais rejeki di sektor-sektor ekonomi non formal untuk menghadapi
tantangan global.
Mengkorek lebih jauh tentang Karang
Sokong, bukan hanya sebuah nama. Menurut penuturan Bapak H. Djidji Saleh,
kelahiran asli Karang Sokong 73 tahun lalu, pensiunan Kandep Agama Kab.
Karangasem dan mantan anggota DPRD Kab. Karangasem dua kali periode dari fraksi
Golkar, dulu warganya sangat kompak loyal kepada masalah sisial ekonomi,
pendidikan, sering menjadi penyokong/pendorong terhadap warganya dalam bentuk
materi maupun pemikiran. “Maaf, saya bukan menyombongkan diri, banyak warga
Karang Sokong yang berhasil hidup diperantauan masih memiliki sifat-sifat
penyokong untuk pembangunan daerah setempat,” katanya Bapak H. Djidji Saleh
yang ditemui Gapura di rumahnya tepat bersebelahan sebelah selatan rencana
Pasar di Karang Sokong.
Boleh jadi bila bertitik tolak dari
sejarah, wilayah sekitar itu dulunya orang-orang mampu dari aspek ekonomi,
selain ada Karang Sokong, di sebelah selatannya, tepatnya di wilayah perempatan
jalan, wilayah tersebut bernama Bale Dana (tempat Raja Karangasem memberikan
bantuan kepada masyarakat), Subagan yang penghuninya umat Hindu. Warga Karang
Sokonglah sejak dulu sampai kini masih menjadi pusat perdagangan emas di
Karangasem. Terbukti di Pasar Amlapura pedagang emas masih didominasi oleh
warga Karang Sokong.
Pemberian Raja
Karangasem
Tanah wilayah Karang Sokon
dulunya adalah pemberian Raja Karangasem, semuanya berbentuk pertanian tegalan
mayoritas tanaman kelapa membentang dari selatan sampai ke utara lokasi
terminal, sedangkan penduduknya ada sebagian ngomplek di bagian selatan. Proses
perjalanan panjang meniti kesuksesan hidup warga Karang Sokong berakhir dengan
terpaan badai alam letusan Gunung Agung 1963, 39 tahun lalu. Puluhan ribu jiwa nyawa
manusia yang luluh lantah melayang bukan saja bagi Karang Sokong, hampir
sebagian wilayah Kabupaten Karangasem. Menurut Bapak Djidji warga Karang Sokon
yang meninggal diterjang lahar panas sekitar 143 orang sisanya dapat hidup
karena cepat mengungsi ke luar.
Pascabadai itu, warga dapat sebagian
meniti kembali harapan-harapan yang tertelan alam, dan sebagian lagi tanah
tumpuan hidup harus dijual untuk merajut kehidupan social-ekonominya yang
terputus. Lokasi terminal itulah bekas ladang mereka.
Kini, wilayah mereka menjadi tambang
aktifitas pembangunan ekonomi masa depan Karangasem yang strategis. Disamping
terminal, juga investor telah membangun puluhan ruko dan rencana pasar.
Kios-kios kecil dan rumah penduduk baru sudah mulai tumbuh mencari krebesan ngalih akilone. Imbasan warga
lokal setempat tentu mendapat tambahan kecipratan rejeki dari pergolakan
ekonomi terminal. Dan harga tanah pun mencuat. Hasil pantauan Gapura harga
tanah perare sekitar 30 puluh juta rupiah.
Sejarah itu
Berlanjut
Berarti sejara itu berlanjut,
dulu warga Karang Sokong, memiliki kekhasan sebagai penyokong pembangunan
social dan ekonomi warganya baik material maupun non material, kini menjadi
tambang baru penyokong pendapatan Asli Daerah (PAD) Karangasem dari hasil
terminal yang baru.
Keberadaan wilayah Karang Sokong dan
sekitarnya mendatang harus menjadi perhatian serius dari semua pihak, terutama
unsur Pemkab Karangasem. Penataan bangunan penduduk, dan perencanaan ekonomi
proritas utama yang mendesak dalam pembangunan Karang Sokong yang “BERSEHATI”.
Sekitar wilayah tersebut ibarat gula akan terserbu semut. Disamping masyarakat
Karangasem, saudara-saudara kita dari Dauh Tukad juga ikut mengadu nasib. Tentu
kita tidak mau kecolongan lagi seperti pemukiman sebelah timur-barat Jalan
Untung Surapati (kompleks Paya). Pemukiman itu terlanjur semeraut untuk sebuah
pemukiman kota. Bangunan rumah kurang tertata serta gang-gang terlalu sempit
seperti perkampungan desa yang ada di kota.
Yang tak kalah pentingnya soal nama
terminal yang baru. Meskipun Pebkab Karangasem belum menentukan nama terminal,
tetapi masyarakat banyakl sudah mengusulkan agar diberi nama Terminal Subagan.
Mengingat hampir dimana-mana terminal
kendaraan darat kabupaten mengambil nama desa/kelurahan dimana terminal itu
berada. Tidak seperti nama Bandar udara yang memiliki kelas istimewa mengambil
nama pahlawan daerah setempat. (Komang Pasek Antara)
Feature ini pernah dimuat di Tabloid ”Gapura”, Edisi XV
Desember 2002
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda