Melongok Tempat Pemerosesan Akhir Sampah Mengolah Sampah Menjadi Biogas dan Minyak
Antara pencemaran lingkungan dan upaya
pelestarian alam yang diakibatkan oleh sampah-sampah dua sisi menarik untuk
ditelusuri dan diketahui keberadaannya. Sebagain masyarakat banyak yang tidak
mengetahui dikira sampah-sampah yang mereka buang begitu saja di tong sampah
atau disembarang tempat tidak akan diapa-apakan atau dibuang begitu saja di suatu
tempat, justru sebaliknya dapat diolah menjadi berkah.
Terkait dengan sampah, melongok di
salahsatu desa di kabupaten ujung timur, Karangasem, Bali, tepatnya di Banjar
Dinas Linggasana, Desa Bhuana Giri, Kecamatan Bebandem, ada pionir-pioner orang
yang berjasa dalam pencegahan kerusakan lingkungan sekaligus menjadikan tumpuan
hidup mengolah sampah menjadi berkah, meskipun dengan banyak risiko dan
tantangan. Di tempat itulah sejak tahun 2002 lalu dijadikan areal tempat
mengumpulkan sampah oganik dan anorganik dari limbah rumah tangga maupun
industri atau yang disebut dengan TPA (Tempat Pemerosesan Akhir). Dulu tempat
itu dikenal dengan nama TPA (Tempat Pembunagan Akhir). Digantinya Kata “pembuangan”
menjadi “pemerosesan”, karena kata “pembuangan”. dalam konteks sampah berkonotasi tidak
berguna dan dibuang begitu saja, sedangkan sebaliknya sampah-sampah yang
dikumpulkan tersebut dipilah selanjutnya sampah organik diproses menjadi kompos
sebagai penyubur tanaman. Sejatinya TPA telah berdiri tahun 2000, baru
beroperasi tahun 2002.
Dari kota Amlapura menuju Banjar Dinas
Linggasana berjarak 10 Km menuju arah jalan naik ke utara melewati Desa
Padangkerta dan desa kawasan budaya Budakeling. Mulai memasuki wilayah ke dua
desa itu, akan berpapasan dengan berjejer beriringan hampir ratusan perhari truk-truk
pengangkut batu dan pasir, karena Banjar Dinas Butus, tetangga sebelah utara
Banjar Dinas Linggasana adalah lokasi galian golongan C. Seluruh wilayah Desa
Bhuana Giri termasuk di dalamnya Banjar Dinas Linggasana adalah aliran muntahan
letusan lahar Gunung Agung tahun 1963 lalu.
Memasuki areal TPA Linggasana bertepatan
dengan musim penghujan beberapa hari yang lalu, penulis disambut oleh tiga
orang petugas teknis yang sehari-harinya bertugas di TPA, mereka Ni Wayan
Nastri, S.Sos, I Komang Sukrena dan I Dewa Putu Yasa. Luas TPA 2.195 hektar
terdiri dari 332 m2 diperuntukan tempat Instalasi Pengelolaan Limbah Tinja
(IPLT) dan 1.687 m2 tempat TPA sampah. Meskipun gundukan sampah tampak basah
sedikit busuk, tapi areal masih menyiiratkan kesan hijau dan asri dari rerumput
dan pepohonan mengitari areal TPA. Tentu sangat terbalik apabila suasana iklim
musim panas, udara cukup menyengat kulit, maklum arealnya dominan bebatuan
lahar diantara semak-semak belukar penuh debu.
PENGOSEK
Meskipun saat itu siang pukul 11.00,
hujan rintik-rintik mulai turun membasahi bumi TPA, masih tampak para pengosek
tua-muda laki maupun perempuan masih mengerumuni onggokan sampah yang baru saja
diturunkan truk-truk pengangkat sampah miliki Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Kabupaten Karangasem. Sebutan pengosek
adalah istilah sebutan warga Banjar Linggasana, sebutan lain dari kata
pemulung, karena dilakukan dengan cara mengorek-orek.
Meskipun wajah dan pakain kumal ciri
mereka saat ngosek, tetapi mereka juga
memiliki lubuk hati jujur, jujur akan eksistensinya sebagai kaum golongan
miskin, mau dan berani berjuang demi sesuap nasi untuk mempertahankan hidup
dirinya dan keluarga, dan bukan dengan sebagai pememinta-minta. Mereka para pengosek dengan berbekal sarana karung plastik dan kayu pengosek, berlomba-lomba sembari
bergurau diantara para senasib mengais rejeki memilah dan memilih benda-benda
yang tidak lagi berguna bagi pemiliknya, sebaliknya sangat berguna bagi para pengosek.
Menurut beberapa pengosek yang penulis temui diantara kesibukannya, mereka memilih
benda-banda anorganik atau barang-barang rongsokan hasil industri seperti dari
bahan plastik, kaleng, besi dan sejenisnya atau barang-barang rumah tangga.
Sedangkan sampah organik yang dicari untuk makanan ternak babi diantaranya
nasi, sayuran, daging/ikan, kue atau makanan lainnya. Sampah anorganik yang
didapat mereka kumpulkan kemudian dijual kepada pegepul rongsokan yang
didatangi secara berkala oleh pengepul. Sedangkan sampah organik ada yang dipakai sendiri untuk
ternaknya, atau dijual kepada warga sekitarnya untuk makanan ternak.
Para pengosek
sehari-harinya biasa mencapai 40 orang. Mereka mulai bekerja sejak pagi-pagi
sampai matahari terbenam di ufuk barat, karena setiap truk pengangkut sampah
mencapai dua kali angkutan pagi dan sore. Mereka telah membentuk organisasi
perkumpulan yang diberi nama “Lingga Sari” diketuai I Ketut Nama dengan jumlah
anggota 40 orang. Perkumpulannya
bergerak dibidang usaha simpan-pinjam.
PROSES PENGOLAHAN SAMPAH
Sementara
para pengosek asyik dengan
aktivitasnya diantara onggokan sampah, penulis ditemani oleh petugas TPA serorang
ibu paruh baya Ni Wayan Nastri, S.Sos, Kepala Seksi Pengelolaan Limbah Dinas
Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Karangasem, bersama stafnya I Komang
Sukrena dan I Dewa Putu Yasa mencoba
melongok dari dekat di beberapa tempat disekitar areal TPA yang ada di sebelah selatan.
Terdapat sebuah gedung berukuran 106,25 m2 tempat penyimpanan sampah plastik
bekas pembungkus yang keliatan meluber keluar karena gedungnya telah penuh
sampah plastik. Di sebelah selatannya bagian bawah, terlihat gedung berukuran 220
m2 tempat pengomposan, alat proses
pengolahan sampah organik untuk menjadi pupuk kompos. Ni Wayan Nastri, ibu dari
dua anak yang baru tahun 2012 lalu ditugaskan di TPA menjelaskan proses pengolahan
dan pemilihan sampah. Sedangkan di
bagian depan areal TPA terdapat beberapa kolam Naturasi dan pengeringan berbagai
ukuran yang saat itu setiap kolam terlihat berisi air keruh rata-rata 50%
karena air hujan. Menurut keterangan Wayan Nastri, berfungsi sebagai saluran
rembesan air tinja yang ada di hulu bagian utara. Juga tampak di areal bawah di
arah barat daya, disebelah selatan gundukan sampah dibuat kolam berbagai ukuran
relative kecil dan besa dinamakan kolam Lindi, katanya Komang Sukrena berfungsi
sebagai rembesan saluran air dari gundukan sampah.
Pemilihannya dibagi tiga. Terdiri dari
barang lapak dijual seperti kardus, kertas, kaca, plastik, aneka logam dan
sejenisnya, barang yang dianggap berbahaya diamankan, sedangkan sampah organik
dijadikan bahan kompos. Kemudian langkah berikutnya meliputi proses:
pencacahan, pencampuran dilanjutkan dengan pemupukan di atas terowongan bamboo
dan disiram dengan air secukupnya memerlukan waktu 1-2 hari. Langkah berikutnya
kata Wayan Nastri, pemantauan suhu membutuhkan waktu 2-4 hari. Kemudian selama
memakan waktu sekitar 1 bulan adalah perlakuan berdasarkan keadaan suhu dan
keadaan air. Selanjutnya pematangan kompos diperlukan waktu 14 hari, pengayakan
dan pengepakan 1-2 hari. Terakhir adalah pemasaran. Menurut Wayan Nastri hasil
kompos dari TPA belum dijual ke masyarakat. “Banyak dari instansi pemerintah
dan sekolah di Karangasem memanfaatkan kompos produk TPA Linggasana untuk
menyubur tanaman termasuk tanaman yang dikelola DKP,” ujar Wayan Nastri. Dari
psoses pengolahan sampah telah meghasilkan kompos sekitar 3,6 ton setiap bulan.
MENGOLAH SAMPAH MENJADI MINYAK
Menurut keterangan I Komang Sukrena,
volume sampah yang masuk ke TPA pertahun 2012 lalu mencapai 40.601 m3, berarti rata-rata
perbulan 3.338,42 m3. Lanjut Sukrena, jumlah truk pengangkut sampah di TPA perhari
rata-rata 18 truk. Tentang sumber daya manusia, di TPA Linggasana
sehari-harinya bertugas 18 orang dengan berbagai tugas dari administrasi sampai
teknis. Bahkan menurut I Dewa Putu Yasa, beberapa petugas setiap hari masuk
tanpa hari libur, kecuali hari Nyepi. Guna meminimalisasi bau sampah dan lalat
yang dapat mengganggu lingkungan, digunakan sisten control landfill, yaitu penutupan sampah dengan tanah urug secara
berkala dan penyemprotan cairan EM4.
Kepala DKP Kabupaten Karangasem, I Made
Suama, SH, MSi, mengatakan di ruang kerjanya, untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat mengurangi pencemaran limbah plastik, Kebijakan Pemkab Karangasem
melalui DKP, jenis plastik pembungkus
yang dikumpulkan oleh masyarakat akan dibeli oleh Pemkab Karangasem
melalui subsidi 1 kg seharga Rp 2000, kemudian dijual kepada pemulung seharga
Rp 400. Bukti kepedulian masyarakat terhadap bahaya sampah plastik di
Karangasem, ada organisasi adat di Banjar Purwayu, Kecamatan Abang, Karangasem,
tepatnya di kaki Pura Bukit Lempuyang, masalah sampah masuk dalam awig-awig
yang menghendaki setiap sangkepan
wajib membawa sampah plastik.
Menurut Suama, berbagai upaya telah
dilakukannya mengurangi dampak polusi sampah menjadikan berkah melalui program
penagkapan gas metan yang dihasilkan oleh sampah menjadi bio gas. Tahun 2014
ini pihaknya, memprogramkan pengelolaan sampah plastik yang mengandung bahan
almunium voil menghasilkan minyak setara dengan minyak solar, dibawah satu
tingkat dari solar atau satu tingkat dari minyak tanah.
MENEMUKAN EMAS DAN TUSUK PAKU
Selain pengelolaan teknis sampah TPA,
ada sisi lain yang sangat menarik untuk ditelusuri. Mereka para wanita Ni Wayan
Merta (40), Ni Luh Tama (70) adalah pionir-pionir pengosek yang tidak boleh termarginalkan, dia sejak ada TPA turut
andil membantu mencegah kerusakan lingkungan. Diantara mereka adalah sosok laki-laki
I Nengah Merta 40 tahun. Berbincang-bincang dengan penulis di sela-sela
kesibukannya. Dia adalah salah seorang dari puluhan pengosek di TPA Linggasana, sejak pagi sampai matahari membenamkan
matanya di ufuk barat mengais rejeki mencari sesuap nasi diantara gundukan bau
amis berbagai jenis kotoran sampah. Hujan dan terik panasnya alam Linggasana
tak menyurutkan perjuangan Mertha, mereka
berpacu mengadu nasib. Mertha melakoni profesi pengosek sejak lima tahun
lalu bersama putri semata wayangnya Ni
Wayan Susanti yang kini masih duduk dibangku kelas I SMK Pariwisata di salah
satu sekolah swasta di Karangasem. Sejak ditinggal istri karena cerai beberapa
tahun lalu, Mertha harus kerja keras mempertahankan hidup untuk makan dan meyekolahkan
anak sampai tamat. Pulang sekolah Susanti ikut berbaur dengan wanita pengosek-pengosek lainnya. Menurut
ceritera Mertha, dulu semasih dirinya muda sekitar tahun 1990-an, dia adalah
seorang pekerja keras, pernah bekerja
diperusahaan pengiriman sapi sampai ke ibu kota Jakarta. “Sekarang tidak ada
pekerjaan lain yang saya bisa kerjakan karena tidak ada sawah-ladang yang
dikerjakan,” katanya Mertha pasrah. Rata-rata perhari dari hasil ngosek
Mertha hanya mendapatkan penghasilan 20 ribu rupiah dari jualan
rongsokan dan sisa-sisa makanan ternak. Suka-duka menjadi pengosek di gundukan sampah, Mertha pernah mendapatkan uang 100 ribu rupiah di dalam amplop dan emas 3,5
gram. Dukanya sudah menjadi risiko bagi Mertha dkk pengosek lainnya. Dia pernah kakinya tertusuk paku dan katik sate
meskipun pakai sepatu. “Tiang sempat dua bulan istirahat sakit tidak bekerja,”
katanya Mertha sembari mengisap rokoknya dalam-dalam mengenang nasibnya. Bagi
Mertha dkk adalah dengan kesederhanaannya pengabdi untuk lingkungan. Dengan
berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah Karangasem, akan diharapkan
kebersihan, keasrian lingkungan alamnya menuai prestasi Adipura Kencana tahun
2014, dimana sebelumnya baru memperoleh Adipura enam kali berturut-turut tahun 2007-2012. (Pasek Antara)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda