KOMANG PASEK ANTARA

Selasa, 25 Februari 2014

Perang Pandan Berduri, Ritual Korban Darah Manusia



Tradisi budaya “perang” hampir dimiliki oleh semua suku bangsa di seantero jagat raya ini dengan berbagai simbol atau makna yang ada dibaliknya. Salahsatu desa di wilayah Bali, tepatnya di Desa Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, ujung timur Bali. Berdekatan dengan obyek wisata Candidasa. Jaraknya sekitar 65 km dari Denpasar ke arah timur. Tenganan Pegringsingan dikenal dengan desa penuh keunikan. Dikatakan unik, karena tradisi budayanya lain dibandingkan dengan masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu. Desanya tergolong desa kuno dengan penduduknya dikategorikan sebagai penduduk Bali Aga (Bali asli).
Hampir semua kegiatan ritual masyarakat Tenganan Pegringsingan unik dan menarik. Salahsatu ritual budaya yang unik dan menarik  bernafaskan ”perang” adalah atraksi perang pandan atau lebih dikenal Geret-geretan pandan atau mekare-kare. Ritual tersebut  sebagai perwujudan tabuh rah (korban darah) manusia serangkaian ritual keagamaan usaba sambah, upacara terbesar di Tenganan Pegringsingan, digelar sekitar bulan Juni-Juli setiap tahun bertepatan dengan sasih kelima menurut versi kalender Tenganan Pegringsingan.
Hasil liputan Tokoh, ritual Geret-geretan digelar pada siang menjelang sore hari berlokasi di halaman tengah-tengah desa tepatnya di depan  Bale Petemu. Para pemainnya laki-laki tua, muda maupun anak-anak. Mereka bertarung di atas panggung dibuatkan khusus terbuat dari papan. Pemainnya satu lawan satu, tangan kanan memegang secekal ikatan pandan berduri sebagai senjata, panjangnya sekitar 40 cm. Satu cekal pandan berisi sekitar sepuluh lembar. Sedangkan tangan kiri memegang perisai sebagai penangkis ukurannya sekitar berdiameter 40 cm terbuat dari anyaman bambu.
Demi adat dan agama, mereka tidak peduli, meski masih satu warga desa atau keluarga ”perang” pun harus digelar dengan serius. Semakin lama semakin seru, dengan iringan selonding (musik tradisional yang disakralkan) memberikan spirit semangat juang. Para pemain dengan riang gembira sambil menari–nari menentang musuh. Mereka tanpa mengenakan baju, hanya destar dengan kain mesingset ginting (ujung kain terbalut kebelakang).
 Begitu aba-aba dimulai dari seorang  pekembar (wasit).  Mereka pemain mulai saling serang menyasar lawan saling bergumulan sembari duri pandan dengan cerdik berusaha menggores-gores  wajah dan anggota tubuh lain sang  lawan. Tangan kiri memegang perisai sebagai penangkis terus berusaha menepis terpaan dari dari secekal duri pandan lawan. Krek .... krek.... suara duri pandan menerpa tubuh dan muka-pun bercampur peluh. Badan dan wajah tergores duri dan darah pun berbulir-bulir segar  mengalir menetes. Gerrrrrr...sorak–sorai penonoton melihat salahsatu pemain yang kena goresan duri.  Penonton dari masyarakat sekitar dan wisatawan nusantara/mancanegara yang mengitari memadati arena memberikan suport . Ngeri? Sakit? Oh, tidak!.  Mereka sudah biasa dengan tradisi berdarah itu. Tidak terberesit pada wajah para pemain itu adanya rasa sakit. Malahan sebaliknya, meskipun darah bercucuran dan peluh pun mengalir deras, dari luka itu tidak infeksi. Justru penonton yang langsung menyaksikan Geret-geretan pandan merasa ngeri. Takut bercampur senang melihat darah mengucur dari muka maupun badan.
Pertarungan sepasang pemain berakhir, apabila diantara mereka ada yang kena, atau lukanya dianggap serius. Lama permainan sekitar 5 sampai 10, dan ritualnya bisa mencapai 10-20 pasang pemain. Katanya salah seorang pemain kepada penulis, sedikit sakit tapi menyenangkan. Tusukan duri–duri dicabutnya degan tenang satu persatu. Anehnya luka itu tidak infeksi, hanya diobati dengan ramuan tradisional boreh ala Tenganan Pegeringsingan.
Aturan permainannya sangat sederhana, hanya memerlukan beberapa pemimpin senior yang disebutnya pakembar sekaligus wasit. Pekembar hanya memilih orang – orang yang sudah siap untuk diadu, tinggal menserasikan usia dan postur tubuh. Istilah kalah menang tidak ada dalam permainan ini, hanya penonton yang menilai.
Menjelang akan beradu, ada beberapa diantara mereka yang harus minum tuak (nira) untuk menghangatkan badan sebagi pemanasan menjelang pertarungan. Disisi lain, permainan ini tidak terbatas hanya pada masyarakat Tenganan saja sebagai pendukung tradisi ini. Seperti yang dituturkan Nengah Timur, SPd. warga asal Tenganan Pegringsingan, siapapun boleh ikut main termasuk wisatawan asing, asalkan menuruti aturan–aturan yang telah ditentukan.
Acara ritual selesai. Tabuh rah (darah) telah tertumpah di bumi pertiwi pertanda umat telah tulus iklas dipersembahkan kepada para dewa. Tubuh penat, dan mereka yang telah selesai berkancah ”perang” kembali bergabung penuh keceriaan sembari megibung (makan bersama di atas satu wadah dulang khas Karangasem). Kemudian warga melanjutkan lagi ritual lainnya. (Komang Pasek Antara)

Feature ini pernah dimuat di taloid ”Tokoh” 23-29 Desember 2013

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda