Perang Pandan Berduri, Ritual Korban Darah Manusia
Tradisi budaya
“perang” hampir dimiliki oleh semua suku bangsa di seantero jagat raya ini
dengan berbagai simbol atau makna yang ada dibaliknya. Salahsatu desa di
wilayah Bali, tepatnya di Desa Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis,
Kabupaten Karangasem, ujung timur Bali. Berdekatan dengan obyek wisata
Candidasa. Jaraknya sekitar 65 km
dari Denpasar ke arah timur. Tenganan Pegringsingan dikenal dengan desa penuh
keunikan. Dikatakan unik, karena tradisi
budayanya lain dibandingkan dengan masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu.
Desanya tergolong desa kuno dengan penduduknya dikategorikan sebagai penduduk Bali Aga (Bali asli).
Hampir semua kegiatan ritual masyarakat Tenganan
Pegringsingan unik dan menarik. Salahsatu ritual budaya yang unik dan menarik bernafaskan ”perang” adalah atraksi perang
pandan atau lebih dikenal Geret-geretan
pandan atau mekare-kare. Ritual
tersebut sebagai perwujudan tabuh rah (korban darah) manusia
serangkaian ritual keagamaan usaba sambah,
upacara terbesar di Tenganan Pegringsingan, digelar sekitar bulan Juni-Juli
setiap tahun bertepatan dengan sasih
kelima menurut versi kalender Tenganan Pegringsingan.
Hasil liputan Tokoh, ritual Geret-geretan digelar pada siang menjelang sore hari berlokasi di
halaman tengah-tengah desa tepatnya di depan
Bale Petemu. Para pemainnya laki-laki tua, muda maupun anak-anak. Mereka
bertarung di atas panggung dibuatkan khusus terbuat dari papan. Pemainnya satu
lawan satu, tangan kanan memegang secekal ikatan pandan berduri sebagai
senjata, panjangnya sekitar 40 cm. Satu cekal pandan berisi sekitar sepuluh
lembar. Sedangkan tangan kiri memegang perisai sebagai penangkis ukurannya sekitar
berdiameter 40 cm terbuat dari anyaman bambu.
Demi adat dan agama, mereka tidak peduli, meski
masih satu warga desa atau keluarga ”perang” pun harus digelar dengan serius. Semakin lama semakin seru, dengan iringan
selonding (musik tradisional yang disakralkan) memberikan spirit semangat juang. Para pemain dengan riang gembira sambil menari–nari menentang musuh. Mereka
tanpa mengenakan baju, hanya destar dengan kain mesingset ginting (ujung kain terbalut kebelakang).
Begitu aba-aba dimulai dari seorang pekembar
(wasit). Mereka pemain mulai saling
serang menyasar lawan saling bergumulan sembari duri pandan dengan cerdik
berusaha menggores-gores wajah dan
anggota tubuh lain sang lawan. Tangan
kiri memegang perisai sebagai penangkis terus berusaha menepis terpaan dari
dari secekal duri pandan lawan. Krek ....
krek.... suara duri pandan menerpa tubuh dan muka-pun bercampur peluh. Badan
dan wajah tergores duri dan darah pun berbulir-bulir segar mengalir menetes. Gerrrrrr...sorak–sorai
penonoton melihat salahsatu pemain yang kena goresan duri. Penonton dari masyarakat sekitar dan wisatawan
nusantara/mancanegara yang mengitari memadati arena memberikan suport . Ngeri? Sakit? Oh, tidak!. Mereka sudah biasa dengan tradisi berdarah
itu. Tidak terberesit pada wajah para pemain itu adanya rasa sakit. Malahan
sebaliknya, meskipun darah bercucuran dan peluh pun mengalir deras, dari luka
itu tidak infeksi. Justru penonton yang langsung menyaksikan Geret-geretan pandan merasa ngeri. Takut
bercampur senang melihat darah mengucur dari muka maupun badan.
Pertarungan sepasang pemain berakhir, apabila
diantara mereka ada yang kena, atau lukanya dianggap serius. Lama permainan sekitar
5 sampai 10, dan ritualnya bisa mencapai 10-20 pasang pemain. Katanya salah
seorang pemain kepada penulis, sedikit sakit tapi menyenangkan. Tusukan duri–duri
dicabutnya degan tenang satu persatu. Anehnya luka itu tidak infeksi, hanya
diobati dengan ramuan tradisional boreh
ala Tenganan Pegeringsingan.
Aturan permainannya sangat sederhana, hanya
memerlukan beberapa pemimpin senior yang disebutnya pakembar sekaligus wasit.
Pekembar hanya memilih orang – orang yang sudah siap untuk diadu, tinggal
menserasikan usia dan postur tubuh. Istilah kalah menang tidak ada dalam
permainan ini, hanya penonton yang menilai.
Menjelang akan beradu, ada beberapa diantara mereka
yang harus minum tuak (nira) untuk menghangatkan badan sebagi pemanasan
menjelang pertarungan. Disisi
lain, permainan ini tidak terbatas hanya pada masyarakat Tenganan saja sebagai
pendukung tradisi ini. Seperti yang dituturkan Nengah Timur, SPd. warga asal Tenganan
Pegringsingan, siapapun boleh ikut main termasuk wisatawan asing, asalkan
menuruti aturan–aturan yang telah ditentukan.
Acara ritual selesai. Tabuh rah (darah) telah tertumpah di bumi pertiwi pertanda umat
telah tulus iklas dipersembahkan kepada para dewa. Tubuh penat, dan mereka yang
telah selesai berkancah ”perang” kembali bergabung penuh keceriaan sembari megibung (makan bersama di atas satu
wadah dulang khas Karangasem). Kemudian
warga melanjutkan lagi ritual lainnya. (Komang Pasek Antara)
Feature ini pernah dimuat di taloid ”Tokoh” 23-29 Desember 2013
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda