Ida Bgs. Kt. Rai, Seniman Sastra dan Satu-Satunya Pelukis Daun Lontar
Melukis
di atas daun lontar yang bias disebut perasi di Bali termasuk sudah lumrah, dan banyak oran bisa
membuatnya. Lain halnya satu-satunya pelukis di atas daun lontar. Ida Bgs. Kt.
Rai (45) namanya. Memang Ide pertama dari prasi yang pernah dilihatnya di Desa
Tenganan Pegringsingan, salah satu desa kuno, tetangga wilayah desanya. Seorang
bapak dari tiga putra itu,lahir di tempat tinggalnya sekarang, Geriya Jungutan,
Bungaya, Karangasem, Bali Karva Rai belum banyak dikenal masyarakat. Aktivitas
melukis seperti itu, telah digeluti sejak tiga tahun lalu denan hasil lukisan yan sangat terbatas.
Dia sendiri belum memberikan istilah nama lukisan yang dibuatnya. “Apakah
lukisan ini sama dengan prasi, saya belum brani mengiyakan, yang jelas lukisan
di atas daun lontar, “katanya kepada penulis setengah bertanya di tempat
tinggalnya.
Proses pembuatan, di awali dengan
pemotongan daun lontar. Setelah melalui proses pengeringan, daun lontar di
olesi lem perekat khususnya, kemudian ditempel di atas bidang kain tersusun
secara vertikal/horizontal, sehinga tampak daun lontar itu berjejer/bersambung.
Kemudian dilukis menggunakan pensil, lanjut dengan pengerupak (pisau khusus
penulis daun lontar). Agar gambar menjadi lebih terang, di oleskan dengan buah
kemiri yang di bakar. Ukuran lontar yan biasana digunakan, panjang 30 cm dan
lebar 3,5 cm. Sedangkan panjang gambar tergantung keinginan.
Coretan tangan termpil Rai itu,
Bukan Sekedar likisan biasa. Yang pernah dibuatnya, semuanya bertema pewayangan
dengan nafas Hindu, a.l.: Sutasoma, Rahwana Jatayu, Saraswati, Dasabaya dll.
Rata-rata lukisannya berukuran pj. 66 cm dan lbr. 30 cm. Jika di hitung, lontar
yan digunakan, sekitar 19 lembar, denan lama waktu kerja sampai selesai
mencapai beberapa bulan tergantung mood.
Sebuah
lukisan Rp. 1.500.000
Aktivitas Rai bukan lagi sekedar
hobi, tetapi sudah mengarah komersial sebagai upaya peningkatan ekonomi sosial
keluarga. Menurut penuturan Rai, beberapa tamu mancanegara asal Australia,
Belanda dan California, langsung memesan/membeli ke tempat tinggalnya. Harga
sebuah lukisan mencapai Rp 250.000 – Rp 1.500.000. Dikenalnya lukisan langka
Rai itu oleh wisman tadi, saat berlangsungnya pameran pada Pesta Kesenian Bali
di Denpasar, Bali, beberapa tahun lalu. Waktu itu, beberapa lukisan daun
lontarnya ikut dipamerkan. Juga, dua diantara sekian karya Rai disimpan di
Pusat Dokumentasi Bali.
Tidak berlebihan, lukisan Rai, Penuh
makna religius. Guratan-guratan emosi jiwanya, suatu fenomena kehidupan nyata
dan alam “samar-samar”. Rai dulu bukan Rai sekarang dengan menyandang sebagai
seniman professional. Terus memanjat kehidupan, menyiasati kehidupan sosial
keluarga, tentu tanpa mengabaikan nilai budaya. Dulu, proses kehidupannya
pernah penuh kegelisahan, mencari identitas. Pernah melanglang buana ke seberang
lautan, bersimpah keringat sebagai tukang pangkas rambut di kota Pahlawan,
Surabaya, kenek mobil serta penjaga toko di Lombok. Menjadi petani kecil dan
peternak digeluti di desa, namun semua berakhir tanpa hasil memadai.
Seniman
Sastra
Jati dirinya sebagai seniman, bukan
sampai di situ. Sebelum menekuni lukisan lontar, Rai suasana religius magis Geria
Jungutan, tempat menyambung hidup sejak masih dalam rahim, telah melahirkan
nuansa-nuansa sebagai seniman sastra lontar. Mantan Sekretaris Bungaya, hanya
masih kanak-kanak sudah memiliki hobi memebaca dan menulis/mengarang naskah
lontar Bali, warisan mendiang leluhurnya. Beberapa karangan sastara telah
diciptakannya, seperti Manikam (cerita burung). Lawar pabuan (lagu dengan
kata-kata bersambung), Nara Soma ( kisah Salya waktu muda), Kekawin Sabalanga (Pesta
Kesenian Bali), dan Kekawin Saraswati. Melaksanakan “Proyek” awig-awig dari
beberapa desa di Pulau Dewata.
Padma
Reka
Selain karya seni di atas, bapak
berkumis lebat ini, juga mengembangkan keunikan lukis sastra, oleh dia disebut
dengan istilah Padma Reka (gambar aksara yang digunakan). Ide perpaduan antara
seni lukis dan sastra itu, dari hasil karya sastra peninggalan Anak Agung Istri
Biang Agung, dari Puri Karangasem. Soal nama istilah karya sastra tersebut,
berbeda dengan nama yang diberikan oleh pihak Proyek Penelitian Dan Pengajian
Kebudayaan Bali Dirjen Kebudayaan Depdikbud th. 1989. Pihak Proyek tersebut
membeir nama Sastra Yantra. Pemberian nama Padma Reka oleh Rai, setelah
dipelajari berbulan-bulan. Waktu itu, Rai diberikan kepercayaan pertama oleh
pihak Puri Karangasem untuk mempelajari karya tersebut. Menurut ceritanya
kepada penulis, ia pernah ”gila” terus mempelajari, karya seni apa ini? Karya
Sastra itu, aslinya di buat dari bahan sebilah kayu, bentuk bundar, bergambar
bulan berhiasan padma mekar, dan disertai huruf/sastra yang dapat di
tembangkan. Cara membaca pernah didemonstrasikan oleh Rai di TVRI Stasiun
Denpasar beberapa tahun lalu.
Kini, Padma reka versi Ida Bgs. Kt.
Rai, telah dikembangkan berupa lukisan di atas kertas, seperti padma, arda
chandra, saraswati, garuda, dan naga.
Tembang-tembang (lagu) padma reka itu, di ambil dari sinom,
semarandhana, kawitan warga sari, mijil, megatruh, rarewangi, pangkur, dan
demung sawit.
Juara
Kepiawaian Ida Bgs.Kt. Rai dibidang
sastra, mengantarkan ia sebagai juara 1 se-Bali th. 1980 dalam menulis naskah
lontar dan Utsawa Dharma Gita. Juara 2 pepaosan se-Bali 1978. Dengan demikian,
tak mengherankan, kalau di Gerianya banyak masyarakat sekitarnya belajar
mekidung kepadanya. (Komang Pasek Antara)
Feauture
ini pernah di muat di Majalah “Cakrawala Pariwisata” Edisi 28 Tahun 1994
1 Komentar:
Seniman Nyoman Erawan (56) bakal bersanding dengan para penyair terkemuka Bali dalam kegiatan bertajuk "Erawan Vs Penyair Sejati: Salvation of The Soul Ritus Bunyi Kata Rupa". "Kegiatan itu digelar di Antida Sound Garden, kawasan Jalan Waribang, Denpasar, Sabtu (15/3)," kata Nyoman Erawan di Denpasar, Kamis, sebagaimana yang dirilis dalam website www.iyaa.com
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda