PELAKSANAAN UPACARA USABA SAMBAH DI SENGKIDU UMAT TIGA HARI TIDAK BOLEH MEMAKAI ALAS KAKI
Oleh Komang Pasek Antara
Masyarakat di
Desa Pekraman Sengkidu, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem dalam
melaksanakan kegiatan ritual rutin setiap tahun yaitu upacara Usaba Sambah dilaksanakan setiap rainan (hari raya) Purnama Sasih Kelima di Pura Puseh Desa Sengkidu, yaitu salah satu
upacara terbesar di Desa Sengkidu. Upacaranya cukup unik dan menarik. Semua kramanya
(anggota) penyungsung (pendukung)
upacara tersebut tidak diperkenankan memakai alas kaki, baik sandal maupun
sepatu saat masuk areal Pura Puseh tempat terselenggaranya upacara, kecuali
anak kecil yang masih dalam gendongan orangtuanya.
Larangan pemakaian alas kaki tersebut menurut
Prajuru Desa Pakraman Sengkidu I Nyoman Rintha, berlangsung selama tiga hari dari enam prosesi
upacara yang digelar yakni pada upacara Penampahan, Pengeramen dan Penyuud. Enam
prosesi upacara tersebut adalah Usaba
Melis, Penyujukan, Penampahan, Pengeramen, Penyuud dan Nyimpen. Tahun 2011
ini upacara Usaba Sambah akan digelar
pada tanggal 10 Nopember mendatang.
Pantangan
pemakaian alas kaki itu berlaku terkait dengan acara Daratan. Daratan atau dikenal dengan istilah Wewalen yaitu seorang laki-laki tua-muda mengenakan kain dengan
saput poleng (warna hitam putih) mesingset ginting (ujung kain terbalut
ke belakang) tanpa mengenakan baju, mengalami kesurupan sekuat tenaga menusuk-nusuk
dan menebas-nebas badannya dengan sebilah keris sembari mondar-mandir di areal
Pura. Suasananya sedikit tegang, ngeri, melihat keris ditusukkan ke badannya
sendiri tanpa rasa takut dan ragu. Aneh, unik dan ajaibnya badan yang
ditusuk-tusuk berkali-kali tidak mengalami luka sedikitpun.
Ngurek dilakukan oleh sekitar 30-an
orang laki-laki tua maupun muda. Pada
saat itu, apabila ada para pemedek
(umat) yang memakai alas kaki masuk ke Pura Puseh meskipun tersembunyi, akan
diketahui dan dicari oleh Wewalen. Pemedek yang dicari itu, merasa takut
diumpreng oleh Wewalen, dan
ditertawai/disoraki oleh pemedek
lainnya. Tidak ada sangsi atau hukuman
bagi yang mengenakan alas kaki, hanya yang
bersangkutan harus menanggung malu menjadi sorotan pemedek lainnya.
Saat
acara ritual Wewalen dimulai, Pura
Puseh yang luas arelnya sekitar 20–an are itu dipenuhi para pemedek wilayah
Desa Pakraman Sengkidu dan pemedek
luar Desa Sengkidu yakni penyugsung Ida Betara di Pura Petung (Desa
Pesedahan), Pura Mandira dan Pura Dause Desa Padangkerta.
Meskipun
larangan pemakaian alas kaki hanya berlaku saat masuk Pura Puseh, tetapi para pemedek lebih banyak tidak mengenakan
alas kaki dari rumah. Para kaum wanitanya, ibu-ibu dan para gadisnya khusunya masyarakat
Sengkidu yang biasanya mengenakan berbagai jenis sandal hak tinggi saat
sembahyang, terpaksa harus rela tanpa alas kaki. Sebaliknya, bagi pemedek yang tidak biasa jalan kaki tanpa alas kaki atau rumahnya relatif
jauh dari Pura, mereka akan menitipkan alas kakinya di rumah warga di
lingkungan pura.
Kenapa dilarang mengenakan
ala kaki? Menurut I Ketut Lipet Widiantara,S.Ag.
Prajuru Desa Pekraman Sengkidu yang juga Kepala Sekolah SMP Dharma Kirti
Sengkidu, larangan tersebut telah dilaksanakan sejak dulu, dan tidak ada yang
tahu kapan mulai larangan itu berlaku. Mungkin
filosofinya adalah simbol bentuk bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa mohon
kesehatan dan keselamatan. Yaitu
telapak kaki langsung menyatu dengan unsur pertiwi
(tanah) yang merupakan bagian dari unsur Panca
Maha Butha untuk memperoleh kesehatan dan keselamatan, karena tanah
mengandung muatan listrik atau seperti pijat refleksi.
Lokasi Pura Puseh Desa Sengkidu
cukup strategis dipinggir jalan raya Amlapura – Klungkung dan berada di areal
kawasan Candidasa dan sekitar 5 Km dari obeyak wisata Tenganan Pegringsingan. Banyak wisatawan mancanegara yang kebetulan
mengunjungi Candidasa menikmati proses ritual unik itu. Wisatawan-pun tidak
diperkenankan memakai alas kaki.
Pekarangan Rumah Menghadap ke Selatan.
Lagi uniknya di Desa
Sengkidu yang didukung tiga Banjar Pakraman itu, menurut penuturan I Ketut
Lipet, mengutip ceritera orang-tua-tua jaman dulu di desanya, konon jaman
dahulu pintu pekarangan rumah penduduk desa Sengkidu umumnya menghadap ke arah
Selatan (laut), sehingga desa tersebut diberi nama Sengkidu. Sengkidu terdiri
dari dua suku kata Seng dan Kidu.
Seng asal kata Song (pintu pekarangan
rumah) dan Kidu asal kata Kidul (arah selatan). Filosofinya pekarangan
menghadap ke teben (selatan) otomatis hulu ada di arah utara tempat Gunung
Agung gunung tertinggi yang di sucikan oleh Umat Hindu.
Kini sesuai perkembangan
penduduk yang semakin pesat di Desa Sengkidu struktur pola pekarangannya ikut
berubah sesuai keadaan tempat yang tersedia.
Feature ini pernah dimuat di taloid ”Gapura” Edisi Maret 2004, No XX
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda