KOMANG PASEK ANTARA

Senin, 08 Juni 2020

Memaknai Hari Kunjung Perpustakaan Ditengah Rendahnya Minat Baca Masyarakat


Oleh I Komang Pasek Antara

Memasuki bulan September dunia literasi khususnya di tanah air Indonesia akan disemarakkan dengan gelaran kegiatan tahunan yang terbalut dengan kemasan Hari Kunjung Perpustakaan (HKP) dan Bulan Gelar Membaca (BGM). Di beberapa instansi/lembaga yang mengelola perpustakaan menggelarnya dengan berbagai kegiatan berliterasi dimaknai dapat menggugah anak didik di sekolah  dan masyarakat rajin berkunjung ke perpustakaan dengan memanfaat pasilitasnya yang tersedia sebagai media pendidikan dan rekreasi.
  Tahun 2019 ini kedua moment HKP dan GBM itu sudah memasuki lebih dua warsa tepatnya tahun ke-24 sejak ditetapkan oleh era orde baru saat jamannya mantan Presiden Soeharto.  HKP ditetapkan sejak tanggal 14 September 1995 lalu. Meski berbagai upaya pemerintah bersama masyarakat dan steakholders telah melakukan berbagai gerakan meningkatkan minat dan daya baca masyarakatnya, tampaknya masih terus perlu digalakkan lagi bukan hanya setiap tahun jelang HKP/GBM. Gerakan apa lagi yang dapat meningkatkan signifikan budaya baca masyarakat?, revolusi mental?
Belum ada data resmi terbaru, data dari World's Most Literate Nations yang menyatakan tahun 2016 minat baca masyarakat Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara yang menjadi objek penelitian lembaga Central Connectius State University tahun 2016. Seringnya melihat, mendengar dan menampilkan data tersebut kepermukaan diharapkan dapat menimbulkan rasa jengah. Jengah dalam artian adanya upaya semua pihak untuk tidak henti-hentinya menyuarakan gerakan-gerakan yang dapat menggugah masyarakat khususnya meningkatkan minat baca dan umumnya gerakan literasi salahsatunya rajin memanfaatkan perpustakaan.
Terkait dengan kegiatan HKP/GBM untuk menggugah masyarakat untuk sering-sering mengunjungi perpustakaan berliterasi, mendapat respon alternatif lain dari beberapa pihak penekun literasi, bahwa katanya, kita tidak lagi terlalu fokus hanya mempermasalahkan rendahnya masyarakat menunjungi perpustakaan. Hal tersebut didasari masyarakat yang ingin membaca buku dan sejenisnya tidak lagi harus mengunjungi langsung perpustakaan atau sentra-sentra bacaan lainnya, karena membaca sumber bacaan dapat diakses melalui smart phone atau teknologi informasi lainnya diantaranya melalui e-book, Ipusnas dllnya.
Alternatif lain berliterasi seperti dikemukakan di atas sah-sah saja, namun tampaknya masyarakat Indonesia khususnya bagi pemustaka fanatik dan kalangan menengah ke bawah baca melalui sarana buku masih membutuhkan perpustakaan, disamping media itu menyediakan banyak layanan pilihan koleksi buku juga baca/pinjam koleksi tanpa dipungut biaya alias gratis. Bagi kalangan penekun literasi fanatik buku, membaca buku ada rasa kebanggaan dan nyaman membaca buku dibandingkan melalui sarana teknologi informasi.
Menyoal minat baca masyarakat Indonesia  tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan perpustakaan sebagai medianya, ibarat “antara ikan dengan kolam”. Ikan (pemustaka) akan dapat hidup jika ada di kolam (perpustakaan), sebaliknya  kolam (perpustakaan) terasa indah/hidup ketika ada ikannya (pemustaka) berwarna-warni. Tinggal bagaimana Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola perpustakaan mengemasnya agar pemustaka dan calon pemustaka tertarik mengunjunginya serta betah berlama-lama di perpustakaan.
Perpustakaan di sekolah dasar awal paling baik menanamkan jiwa anak didik mencintai perpustakaan sebagai media pembelajaran pendidikan, kemudian dilanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya yang lebih tinggi. Kini, keberadaan ada di beberapa perpustakaan sekolah bukan tanpa masalah dari sisi anggaran dan SDM. Tergantung stile sang pimpinan sekolah memenej “rumah tangganya”, bagaimana perpustakaannya menarik bagi anak didiknya untuk dikunjunginya.
 Banyak persoalan dihadapi perpustakaan sekolah. Diketahui, anggaran pengembangan perpustakaan sekolah/madrasah mengacu UU RI Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan mengalokasikan paling sedikit 5% dari anggaran belanja operasional sekolah/madrasah atau belanja barang diluar belanja pegawai  dan belanja modal. Sedangkan, kebutuhan pengelolaan prasaran/sarana pendidikan lainnya juga tidak kalah pentingnya diurus, sehingga anggaran pengembangan perpustakaan hanya menjadi “korban” dianggarkan terendah minimal 5% dari anggaran biaya operasi sekolah.
Juga SDM pengelola perpustakaan sekolah belum optimal, belum banyak tenaga pengelola yang khusus menangani perpustakaan. Petugas pengelolanya dari kalangan tenaga/guru pendidik yang belum memenuhi standar jumlah jam pelajaran bidang studinya, sehingga perpustakaan belum dikelola maksimal. Ada angin segar dari program kerja periode ke-2 Presiden Jokowi setelah sukses menggarap infrastruktur, kini akan fokus membenahi SDM, “SDM Unggul Indonesia Maju”, mudahan kecipratan ke bidang perpustakaan.
Guna terus menggalang masyarakat mau berkunjung dan memanfaatkan perpustakaan, tidak lagi  berkutat hanya berurusan teknis ilmu kepustakawan semata. Kita apresiasi, kini beberapa pihak tetkait yang peduli perpustakaan menggulirkan program kegiatan yang disebut kepustakawanan berbasis inklusi sosial, yaitu pelayanan perpustakaan yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan warga. Masyarakat yang memanfaatkan perpustakaan sebagai media tidak lagi hanya sekedar tahu pengetahuan teori semata, tetapi layanan perpustakaan  dapat memberikan dampak praktis kesejahteraan sosial ekonomi, budaya dan lain-lain terhadap warganya sendiri.
Contoh inklusi sosial, kisah inspiratif dari ujung timur pulau Dewata, Bali, namanya Ni Wayan Srimentik, ibu dari 3 orang anak, kelahiran lereng Gunung Agung, Dusun Muntigunung, Desa  Tianyar Barat, Kecamatan Kubu, Karangasem, Bali. Berkat baca buku dan internet konten wirausaha di Perpustakaan “Jnana Kriya” di desanya, mengubah cara berpikir Srimentik secara nyata. Dia tidak lagi melakoni profesi ‘gepeng” (gelandang pengemis) dari kota ke kota di Bali yang pernah dijalani selama 12 tahun sejak tahun 2012 lalu. Kini dia jadi wirasusaha membuat dan menjual dupa, sarana upacara keagamaan Hindu. Juga, dia belajar bahasa inggris lewat buku di perpustakaan, memudahkan berkomunikasi dengan wisatawan asing menjajakan dagangannya. Berkahnya, beberapa kali Srimentik diundang ke Jakarta oleh lembaga/instansi yang bergerak mamajukan literasi dan perpustakaan di Indonesia untuk testimoni kisah inspiratifnya.
Penulis, ASN pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Karangasem

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda