Memaknai Hari Kunjung Perpustakaan Ditengah Rendahnya Minat Baca Masyarakat
Oleh
I Komang Pasek Antara
Memasuki
bulan September dunia literasi khususnya di tanah air Indonesia akan
disemarakkan dengan gelaran kegiatan tahunan yang terbalut dengan kemasan Hari
Kunjung Perpustakaan (HKP) dan Bulan Gelar Membaca (BGM). Di beberapa
instansi/lembaga yang mengelola perpustakaan menggelarnya dengan berbagai
kegiatan berliterasi dimaknai dapat menggugah anak didik di sekolah dan masyarakat rajin berkunjung ke
perpustakaan dengan memanfaat pasilitasnya yang tersedia sebagai media
pendidikan dan rekreasi.
Tahun 2019 ini kedua moment HKP dan GBM itu sudah
memasuki lebih dua warsa tepatnya tahun ke-24 sejak ditetapkan oleh era orde
baru saat jamannya mantan Presiden Soeharto. HKP ditetapkan sejak tanggal 14 September 1995
lalu. Meski berbagai upaya pemerintah bersama masyarakat dan steakholders
telah melakukan berbagai gerakan meningkatkan minat dan daya baca masyarakatnya,
tampaknya masih terus perlu digalakkan lagi bukan hanya setiap tahun jelang HKP/GBM.
Gerakan apa lagi yang dapat meningkatkan signifikan budaya baca masyarakat?,
revolusi mental?
Belum
ada data resmi terbaru, data dari World's Most Literate
Nations yang menyatakan tahun 2016 minat baca masyarakat Indonesia menduduki
peringkat 60 dari 61 negara yang menjadi objek penelitian lembaga Central Connectius State University
tahun 2016. Seringnya melihat, mendengar
dan menampilkan data tersebut kepermukaan diharapkan dapat menimbulkan rasa jengah.
Jengah dalam artian adanya upaya semua pihak untuk tidak henti-hentinya
menyuarakan gerakan-gerakan yang dapat menggugah masyarakat khususnya
meningkatkan minat baca dan umumnya gerakan literasi salahsatunya rajin
memanfaatkan perpustakaan.
Terkait dengan kegiatan HKP/GBM untuk
menggugah masyarakat untuk sering-sering mengunjungi perpustakaan berliterasi,
mendapat respon alternatif lain dari beberapa pihak penekun literasi, bahwa
katanya, kita tidak lagi terlalu fokus hanya mempermasalahkan rendahnya
masyarakat menunjungi perpustakaan. Hal tersebut didasari masyarakat yang ingin
membaca buku dan sejenisnya tidak lagi harus mengunjungi langsung perpustakaan
atau sentra-sentra bacaan lainnya, karena membaca sumber bacaan dapat diakses
melalui smart phone atau teknologi informasi lainnya diantaranya melalui
e-book, Ipusnas dllnya.
Alternatif lain berliterasi seperti
dikemukakan di atas sah-sah saja, namun tampaknya masyarakat Indonesia khususnya
bagi pemustaka fanatik dan kalangan menengah ke bawah baca melalui sarana buku masih
membutuhkan perpustakaan, disamping media itu menyediakan banyak layanan
pilihan koleksi buku juga baca/pinjam koleksi tanpa dipungut biaya alias
gratis. Bagi kalangan penekun literasi fanatik buku, membaca buku ada rasa
kebanggaan dan nyaman membaca buku dibandingkan melalui sarana teknologi
informasi.
Menyoal minat baca masyarakat Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan
perpustakaan sebagai medianya, ibarat “antara ikan dengan kolam”. Ikan
(pemustaka) akan dapat hidup jika ada di kolam (perpustakaan), sebaliknya kolam (perpustakaan) terasa indah/hidup ketika
ada ikannya (pemustaka) berwarna-warni. Tinggal bagaimana Sumber Daya Manusia (SDM)
pengelola perpustakaan mengemasnya agar pemustaka dan calon pemustaka tertarik
mengunjunginya serta betah berlama-lama di perpustakaan.
Perpustakaan di sekolah dasar awal paling baik
menanamkan jiwa anak didik mencintai perpustakaan sebagai media pembelajaran
pendidikan, kemudian dilanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya yang lebih
tinggi. Kini, keberadaan ada di beberapa perpustakaan sekolah bukan tanpa
masalah dari sisi anggaran dan SDM. Tergantung stile sang pimpinan sekolah
memenej “rumah tangganya”, bagaimana perpustakaannya menarik bagi anak
didiknya untuk dikunjunginya.
Banyak
persoalan dihadapi perpustakaan sekolah. Diketahui, anggaran pengembangan
perpustakaan sekolah/madrasah mengacu UU RI Nomor 43 tahun 2007 tentang
Perpustakaan mengalokasikan paling sedikit 5% dari anggaran belanja operasional
sekolah/madrasah atau belanja barang diluar belanja pegawai dan belanja modal. Sedangkan, kebutuhan
pengelolaan prasaran/sarana pendidikan lainnya juga tidak kalah pentingnya
diurus, sehingga anggaran pengembangan perpustakaan hanya menjadi “korban” dianggarkan
terendah minimal 5% dari anggaran biaya operasi sekolah.
Juga SDM pengelola perpustakaan sekolah belum
optimal, belum banyak tenaga pengelola yang khusus menangani perpustakaan. Petugas
pengelolanya dari kalangan tenaga/guru pendidik yang belum memenuhi standar
jumlah jam pelajaran bidang studinya, sehingga perpustakaan belum dikelola
maksimal. Ada angin segar dari program kerja periode ke-2 Presiden Jokowi setelah
sukses menggarap infrastruktur, kini akan fokus membenahi SDM, “SDM Unggul
Indonesia Maju”, mudahan kecipratan ke bidang perpustakaan.
Guna terus menggalang masyarakat mau
berkunjung dan memanfaatkan perpustakaan, tidak lagi berkutat hanya berurusan teknis ilmu kepustakawan
semata. Kita apresiasi, kini beberapa pihak tetkait yang peduli perpustakaan
menggulirkan program kegiatan yang disebut kepustakawanan berbasis inklusi
sosial, yaitu pelayanan perpustakaan yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan
kesejahteraan warga. Masyarakat yang memanfaatkan perpustakaan sebagai media
tidak lagi hanya sekedar tahu pengetahuan teori semata, tetapi layanan
perpustakaan dapat memberikan dampak praktis
kesejahteraan sosial ekonomi, budaya dan lain-lain terhadap warganya sendiri.
Contoh
inklusi sosial, kisah inspiratif dari ujung timur pulau Dewata, Bali, namanya
Ni Wayan Srimentik, ibu dari 3 orang anak, kelahiran lereng Gunung Agung, Dusun
Muntigunung, Desa Tianyar Barat,
Kecamatan Kubu, Karangasem, Bali. Berkat baca buku dan internet konten
wirausaha di Perpustakaan “Jnana Kriya” di desanya, mengubah cara berpikir
Srimentik secara nyata. Dia tidak lagi melakoni profesi ‘gepeng” (gelandang
pengemis) dari kota ke kota di Bali yang pernah dijalani selama 12 tahun sejak
tahun 2012 lalu. Kini dia jadi wirasusaha membuat dan menjual dupa, sarana
upacara keagamaan Hindu. Juga, dia belajar bahasa inggris lewat buku di
perpustakaan, memudahkan berkomunikasi dengan wisatawan asing menjajakan
dagangannya. Berkahnya, beberapa kali Srimentik diundang ke Jakarta oleh
lembaga/instansi yang bergerak mamajukan literasi dan perpustakaan di Indonesia
untuk testimoni kisah inspiratifnya.
Penulis, ASN
pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Karangasem
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda