Pawai Budaya Karangasem
Nyepeg Sampi dan Jaran Gading Menginjak
Bara Api
Oleh I Komang Pasek Antara
Ribuan
pelaku seni di Karangasem tepatnya 1.440 orang kembali dalam ajang tahunan mendapat
kesempatan unjuk gigi tampil di depan ribuan publiknya sendiri. Tampilan kali
ini dibalut dalam bentuk Pawai Budaya memperingati Hari Jadi Kota Amlapura
ke-375, bertempat di Jalan Vetran depan Stadion Amlapura, belum lama ini. Dinas
Komunikasi dan Informatika Kab. Karangasem sebagai leading sector kegiatan pawai menampilkan berbagai potensi budaya dari
masing-masing peserta dari delapan kecamatan dan sanggar/kelompok seni yang ada
di Kabupaten Karangasem dalam dan luar Kabupaten
Karangasem.
Konten
budaya yang ditampilkan bervariatif, unik, nyaris punah dan hasil pengembangan
inovasi. Lebih sfesifik seni yang ditampilkan ada yang profan, sakral yang terkait
dengan aktivitas upacara relegi, modern, kotemporer, dan lintas agama yang menampilkan
seni Barongsai (Budha) dan Rudat (Islam).
Keseluruhan tampilan pawai budaya sangat menarik penuh pesona. Berikut
ringkasannya.
Jaran Gading Menginjak-nginjak Bara Api
Mengerikan Tari Sanghyang Jaran
Gading dari Kecamatan Selat yang ditarikan oleh 2 orang laki-laki dewasa. Penari
tersebut tanpa menggenakan baju hanya berbusana
kain hitam mesitsit ginting (ujung
kain terbalut kebelakang) dan saput poleng. Sembari menaiki kuda-kudaan yang
terbuat dari pelepah daun enau dihiasi daun-daunan dan diiringi nyanyian suci,
mereka dalam keadaan trance tanpa alas kaki berjingkrak-jingkrak
menginjak-ngijak bara api serabut
kelapa. Selat, selain menampilkan Tari
Sangyang Jaran Gading juga Tradisi Siat Pering. Kedua budaya tersebut
merupakan tradisi yang berkembang di
Subak Auman Tempek Susut dan Desa Pakraman Muncan, Kecamatan Selat.
Nyepeg Sampi
Desa Adat Asak wakil
Kecamatan Karangasem menampilkan Nyepeg Sampi (pembunuhan/tebas
sapi) namanya, salah satu rangkaian kegiatan Usaba Kaulu yang tergolong dalam upacara Bhuta Yadnya (pecaruan)
untuk menetralisisr alam wilayah desa dari gangguan mahkluk jahat. Ritual
tersebut rutin digelar setiap sasih kaulu
(sekitar bulan Januari/Pebruari) Pada
Pecaruan Agung ini menggunakan seekor sapi pejantan yang besar dan tidak boleh
cacat sedikit pun.
Begitu sapi
dilepas dari talinya oleh para teruna
sapi keluar dari pintu Pura Patokan Teruna langsung lari keluar, melihat sapi telah
keluar dari balai banjar, krama
spontan berhamburan minggir ke pinggir
jalan, dan saat itu pula langsung
dikejar sambil bersorak-sorai kegirangan oleh ratusan teruna yang hanya mengenakan pakaian dan
destar saja tanpa mengenakan baju sembari membawa blakas
untuk disepeg serta diikuti oleh krama desa lainnya.
Sembari berlari
mengejar sapi, beberapa meternya tubuh sapi sudah dapat disepeg beramai-ramai oleh teruna, darah merah segar sapi pun
muncrat, bahkan muncrat darahnya mengenai tubuh teruna. Sapi akhirnya
tumbang menghembuskan napas terakhir dan tergeletak di jalan raya. Disitulah darah tercecer diwilayah Desa Adat
sebagai pertanda Pecaruan Agung telah digelar dan dipercaya dimana tempat sapi
mati akan membawa berkah/kesuburan tersendiri diwilayah itu.
Songket
dan Endek Sidemen
Peserta dari Kecamatan
Sidemen menampilkan budaya khasnya kain songket dan endek khas Bali yang
sentranya kerajinannya terbesar di Bali adalah Kecamatan Sidemen. Diperagakan
oleh beberapa pasang remaja putri. Salahsatu tarian yang nyaris punah di
Kecamatan Sidemen ditampilkan dalam pawai ini, namanya Tari Nyeraman. Juga tampil
dalam bentuk pragmen tari dengan kisah ceritera sejarah kerajaan “Singarsa
Kanti” dengan dalang I Wayan Keneng Eka Putra.
Rudat
Harmonisasi Hindu dan Islam
Dari lintas
agama/budaya muslim ikut berpartisipasi menampilkan seni Rudat dari Saren Jawa,
Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem. Satu-satunya kelompok seni Rudat yang ada
di Karangasem.
Seni
Rudat adalah salah satu jenis kesenian yang didalamnya terdapat tari tarian
dengan iringan terbangan. Jenis tarian dalam seni Rudat mengandung
gerakan-gerakan bela diri dan seni suara. Kata Rudat bersal dari bahasa Arab
yaitu rudatun yang berarti “taman bunga”. Personifikasi ini akhirnya memberi
makna pada kata rudat dalam bentuk kesenian berarti “bunganya puncak”. Dalam
hal ini, gerakan-gerakan silat yang ditampilkan lewat tarian Rudat di
konotasikan pada sifat umum bunga yakni indah. Seni Rudat tumbuh dan berkembang
di lingkungan pesantren.
Jumlah
pemain Seni Rudat berkisar anatara 12 sampai 24 orang, diantaranya sebagai
penabuh, waditra, penari dan penyanyi. Waditra terdiri atas ketimpring, tojo,
nganak, gendrung dan jidor.
Tarian
Barongsai
Dari
lintas agama/budaya lainnya adalah Barongsai dari Desa Blahbatuh, Kecamatan
Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Gerakannya
yang dinamis, atraktif dan akrobatik, diperankan oleh beberapa anak muda itu
melompat, berdiri dan berguling kesana-sini
diiringi musik menambah semangat para penari.
Gerakan
antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Singa Selatan terkenal
dengan gerakan kepalannya yang terbilang keras dan melonjak-lonjak. Sedangkan
gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki
empat kaki. Untuk menarikan barongsai Utara diperlukan penari barongsai yang
profesional, karena tarian singa ini bisa dibuat melompat, berdiri dan
berguling.
Selain
tarian barongsai juga tampil liong
Barongsai ini berbentuk seperti naga dengan badannya yang panjang dan bersisik
seperti ikan. Barongsai jenis ini dimainkan oleh banyak orang, bila kita
menontonnya dari atas maka akan terlihat seperti naga terbang yang berliuk-liuk
diatas langit.
Cengceng Gebyag
Potensi
budaya lainnya dari beberapa kecamatan dan kelompok seni menyuguhkan seni
budaya yang terbaik. Salahsatu seni inovatif terbaru ciptaan seniman
Karangasem, Ceng-ceng Gebyag persembahan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar)
Kabupaten Karangasem. Menurut Kabid Seni Budaya Disbudpar, Ni Made Suradyani,
S.Sos, Ceng-ceng Gebyag perpaduan kombinasi 100 personil yang memainkan
berbagai jenis gamelan meliputi cengceng, sungu, preret, tambur, kempul dengan dominasi pitung dasa (70) buah suara ceng-ceng. Hentakan suaranya sangat
dinamis, kreatif dan atraktif saling bersahut-sahutan. Para pelakunya lali-laki
tanpa mengenakan baju hanya destar dan kain merah terbalut saput merah. Seni ini
tersirat memaknai keperkasan berpadu kelembutan.
Rejang Kalimayah dan Rejang Jempong
Rejang
Kalimayah, Rejang Jempong, Gamelan Gambang dan Pragmen Tari dipersembahkan oleh
Kecamatan Bebandem dengan kekuatan peserta terbanyak mencapai 200 orang.
Rejang Jempong hampir sama dengan
rejang-rejang lainnya yang ada di Bali. Yang membedakan hanyalah hiasan kepala
yang menyerupai mahkota. Hiasan kepalanya sangat unik, dibentuk dari
bermacam-macam dedaunan dan bunga yang tumbuh di hutan. Sedangkan Rejang
Kalimayah biasanya ditarikan pada upacara-upacara besar di Pura Pasar Agung
Desa Adat Sibetan. Tata busananya sangat sederhana, hanya menggunakan kain
berwarna putih dan kuning dan penarinya membawa dupa.
Pragmen Tari dari Kecamatan Bebandem
mengetengahkan judul Tulang Gadang mengisahkan misteri beberapa kali seorang
penari rejang yang hilang pada setiap prosesi upacara dewa yadnya (piodalan) di
Pura Puseh Panti Abian Tihing, yang rutin diselenggrarakan pada hari Buda
Kliwon Pahang.
Pemimpin
dalam Ritual Hindu
Kecamatan Rendang
yang ada di wilayah serambi depan Pura Besakih menampilkan ritual kegamaan
upacara Ulu. Ritual tersebut rangkaian upacara besar keagamaan yang ada di Desa
Pakraman Pejeng Desa Menanga, Kecamatan Rendang dilaksanakan setiap tahun
sekali.
Makna dari upacara Ulu adalah seorang
pemimpin harus berpikir cerdas, bersih, bertanggung jawab, sebagai pelindung,
pengayom dan tegas dalam mengambil sikap terhadap masyarakat yang mengganggu
atau merintangi jalannya pemerintahan yang sudah disepakati oleh rakyat.
Kisah
Petilasan Danghyang Dwijendra
Kisah
Petilasan Danghyang Dwijendra di Pura Gerombong di Desa Pakaraman Barturinggit
wakil Kecamatan Kubu ditampilkan dalam bentuk fragmen tari dengan penata tari I
Gede Tantra, S.Pd. dan penata tabuh I Gede Dangin. Kisah perjalananya saat
Danghyang Dwijendra berkeliling menjelajahi tepi pantai Bali. Ketika
perjalannya sampai di Bali utara, beliau sempat turun sejenak di Desa
Baturinggit, sebuah desa yang berada di kaki Gunung Agung dekat pantai. Di desa
itulah Danghyang Dwijendra meletakkan
batu sebagai pertanda bahwa tempat itu pernah dikunjungi sebagai cikal bakal
gerombong.
Arak-arakan Api Obor
Ritual
unik lainnya terjadi di Desa Manggis, Kecamatan Manggis yang dipergakan dalam
bentuk fragmen. Diwajibkan setiap warga membawa bobok dari dayuh (daun kelapa kering) yang diikat, dibakar
dan diarak dari jalan raya menuju kuburan, diiringi dengan buyian
kentungan kulkul dari masing-masing banjar. Prosesi upacara tersebut
dinamakan dengan Ngemu-mu, dilaksanakan
pada upacara Usaba Kelod/Usaba Dalem. Tradisi ini dilakukan atas perintah
penguasa raja agar desa menjadi aman dan
sejahtera, karena di desa itu pernah terjadi musibah. Prosesi ini diiringi
dengan tarian Bebarisan dan Rerejangan dengan iringan gambelan slonding.
Tari
Baris Dadap
Tari
sakral Baris Dadap dan Panah ditampilkan
oleh pengempon Pura Pemaksan Ngis,
Banjar Kaang-Kaang, Desa Pekraman Culik, Desa Kertha Mandala, Kecamatan Abang.
Tari Dapdap ini dibagi dalam tiga kelompok tarian. Tarian Lelancang yang ditarikan
oleh lima orang pria sebagai utusan Panca Dewata, lengkap dengan astranya/senjatanya
yang ampuh. Tari Baris Dadap dimainkan oleh enam orang laki-laki, satu orang pemeran
Kresna sebagai penasehat, spirit, pendorong kepada Panca Pandawa. Darma, Bima,
Arjuna, Nakula, Sahadewa dalam angeruat, memberantas momo angkara murka, kekuatan-kekuatan
aura-aura negativ, yang mengganggu jasmasi rohani manusia dalam melakoni
kehidupan di dunia.
Busana Khas Busana Karangasem
Penggunaan
busana adat Karangasem sangat beragam, artistik dan penuh simbol-simbol.
Menurut Ni Made Suradnyani, S.Sos, koordinator peragaan busana, busana tersebut
masih dapat terlihat apada acara-acara adat tertentu di Karangasem. Diperagakan
oleh wadah alumnus Duta Wisata dan Budaya Sameton Jegeg Bagus Karangasem.
Busana tersebut meliputi Payas Agung Karangasem, busana sehari-hari digunakan oleh warga Puri Agung
Karangasem. Payas Madya, digunakan untuk acara semi formal seperti menyambut
tamu-tamu raja, dan paruman raja.
Payas Pusung Leklek Karangasem, merupakan payasan sehari-hari Puri Karangasem
dengan ciri khas pusungan leklek dengan hiasan beberapa bunga cempaka serta
gegempolan, sedangkan busana prianya menyesuaikan dengan menggunakan baju
beludru dan udeng songket. Busana Payas Tenganan Pegringsingan dengan ciri khas
tenun double ikat. Payas Daha dan
Taruna Tenganan Pegeringsingan,
Pawai
kali ini turut berpartisipasi Drumband Cilik SDN 1 Karangasem, SDN 5 Subagan
dan peragaan busana endek untuk pakaian dinas kantor.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda