KOMANG PASEK ANTARA

Senin, 15 Juli 2019


Pawai Budaya Karangasem
          Nyepeg Sampi dan Jaran Gading Menginjak Bara Api

Oleh I Komang Pasek Antara

            Ribuan pelaku seni di Karangasem tepatnya 1.440 orang kembali dalam ajang tahunan mendapat kesempatan unjuk gigi tampil di depan ribuan publiknya sendiri. Tampilan kali ini dibalut dalam bentuk Pawai Budaya memperingati Hari Jadi Kota Amlapura ke-375, bertempat di Jalan Vetran depan Stadion Amlapura, belum lama ini. Dinas Komunikasi dan Informatika Kab. Karangasem sebagai leading sector kegiatan pawai menampilkan berbagai potensi budaya dari masing-masing peserta dari delapan kecamatan dan sanggar/kelompok seni yang ada di Kabupaten  Karangasem dalam dan luar Kabupaten Karangasem.
            Konten budaya yang ditampilkan bervariatif, unik, nyaris punah dan hasil pengembangan inovasi. Lebih sfesifik seni yang ditampilkan ada yang profan, sakral yang terkait dengan aktivitas upacara relegi, modern, kotemporer, dan lintas agama yang menampilkan seni  Barongsai (Budha) dan Rudat (Islam). Keseluruhan tampilan pawai budaya sangat menarik penuh pesona. Berikut ringkasannya.

            Jaran Gading Menginjak-nginjak Bara Api
            Mengerikan Tari Sanghyang Jaran Gading dari Kecamatan Selat yang ditarikan oleh 2 orang laki-laki dewasa. Penari tersebut tanpa menggenakan baju hanya  berbusana kain hitam mesitsit ginting (ujung kain terbalut kebelakang) dan saput poleng. Sembari menaiki kuda-kudaan yang terbuat dari pelepah daun enau dihiasi daun-daunan dan diiringi nyanyian suci, mereka  dalam keadaan trance tanpa alas kaki berjingkrak-jingkrak menginjak-ngijak  bara api serabut kelapa. Selat, selain menampilkan Tari Sangyang Jaran Gading juga Tradisi Siat Pering. Kedua budaya tersebut merupakan  tradisi yang berkembang di Subak Auman Tempek Susut dan Desa Pakraman Muncan, Kecamatan Selat.

            Nyepeg Sampi
Desa Adat Asak wakil Kecamatan Karangasem menampilkan Nyepeg Sampi (pembunuhan/tebas sapi) namanya, salah satu rangkaian kegiatan Usaba Kaulu yang tergolong dalam upacara Bhuta Yadnya (pecaruan) untuk menetralisisr alam wilayah desa dari gangguan mahkluk jahat. Ritual tersebut rutin digelar setiap sasih kaulu (sekitar bulan Januari/Pebruari) Pada Pecaruan Agung ini menggunakan seekor sapi pejantan yang besar dan tidak boleh cacat sedikit pun.     
            Begitu sapi dilepas dari talinya oleh para teruna sapi keluar dari pintu Pura Patokan Teruna langsung lari keluar, melihat sapi telah keluar dari balai banjar, krama spontan  berhamburan minggir ke pinggir jalan, dan saat itu pula langsung  dikejar sambil bersorak-sorai kegirangan oleh ratusan teruna yang hanya mengenakan pakaian dan destar saja tanpa mengenakan baju sembari membawa  blakas untuk disepeg  serta diikuti oleh krama desa lainnya.
Sembari berlari mengejar sapi, beberapa meternya tubuh sapi sudah dapat disepeg beramai-ramai  oleh teruna, darah merah segar sapi pun muncrat, bahkan muncrat darahnya mengenai tubuh teruna.  Sapi akhirnya tumbang menghembuskan napas terakhir dan tergeletak di jalan raya. Disitulah darah tercecer diwilayah Desa Adat sebagai pertanda Pecaruan Agung telah digelar dan dipercaya dimana tempat sapi mati akan membawa berkah/kesuburan tersendiri diwilayah itu.

            Songket dan Endek Sidemen
            Peserta dari Kecamatan Sidemen menampilkan budaya khasnya kain songket dan endek khas Bali yang sentranya kerajinannya terbesar di Bali adalah Kecamatan Sidemen. Diperagakan oleh beberapa pasang remaja putri. Salahsatu tarian yang nyaris punah di Kecamatan Sidemen ditampilkan dalam pawai ini, namanya Tari Nyeraman. Juga tampil dalam bentuk pragmen tari dengan kisah ceritera sejarah kerajaan “Singarsa Kanti” dengan dalang I Wayan Keneng Eka Putra.




            Rudat Harmonisasi Hindu dan Islam
            Dari lintas agama/budaya muslim ikut berpartisipasi menampilkan seni Rudat dari Saren Jawa, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem. Satu-satunya kelompok seni Rudat yang ada di Karangasem.
            Seni Rudat adalah salah satu jenis kesenian yang didalamnya terdapat tari tarian dengan iringan terbangan. Jenis tarian dalam seni Rudat mengandung gerakan-gerakan bela diri dan seni suara. Kata Rudat bersal dari bahasa Arab yaitu rudatun yang berarti “taman bunga”. Personifikasi ini akhirnya memberi makna pada kata rudat dalam bentuk kesenian berarti “bunganya puncak”. Dalam hal ini, gerakan-gerakan silat yang ditampilkan lewat tarian Rudat di konotasikan pada sifat umum bunga yakni indah. Seni Rudat tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren.
            Jumlah pemain Seni Rudat berkisar anatara 12 sampai 24 orang, diantaranya sebagai penabuh, waditra, penari dan penyanyi. Waditra terdiri atas ketimpring, tojo, nganak, gendrung dan jidor.

            Tarian Barongsai
            Dari lintas agama/budaya lainnya adalah Barongsai dari Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.  Gerakannya yang dinamis, atraktif dan akrobatik, diperankan oleh beberapa anak muda itu melompat, berdiri dan berguling  kesana-sini diiringi musik menambah semangat para penari.
           
            Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalannya yang terbilang keras dan melonjak-lonjak. Sedangkan gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki. Untuk menarikan barongsai Utara diperlukan penari barongsai yang profesional, karena tarian singa ini bisa dibuat melompat, berdiri dan berguling.
            Selain tarian barongsai juga tampil  liong Barongsai ini berbentuk seperti naga dengan badannya yang panjang dan bersisik seperti ikan. Barongsai jenis ini dimainkan oleh banyak orang, bila kita menontonnya dari atas maka akan terlihat seperti naga terbang yang berliuk-liuk diatas langit.

            Cengceng Gebyag
            Potensi budaya lainnya dari beberapa kecamatan dan kelompok seni menyuguhkan seni budaya yang terbaik. Salahsatu seni inovatif terbaru ciptaan seniman Karangasem, Ceng-ceng Gebyag persembahan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Karangasem. Menurut Kabid Seni Budaya Disbudpar, Ni Made Suradyani, S.Sos, Ceng-ceng Gebyag perpaduan kombinasi 100 personil yang memainkan berbagai jenis gamelan meliputi  cengceng, sungu, preret, tambur, kempul  dengan dominasi pitung dasa (70) buah suara ceng-ceng. Hentakan suaranya sangat dinamis, kreatif dan atraktif saling bersahut-sahutan. Para pelakunya lali-laki tanpa mengenakan baju hanya destar dan kain merah terbalut saput merah. Seni ini tersirat memaknai keperkasan berpadu kelembutan.

            Rejang Kalimayah dan Rejang Jempong
            Rejang Kalimayah, Rejang Jempong, Gamelan Gambang dan Pragmen Tari dipersembahkan oleh Kecamatan Bebandem dengan kekuatan peserta terbanyak mencapai 200 orang.
            Rejang Jempong hampir sama dengan rejang-rejang lainnya yang ada di Bali. Yang membedakan hanyalah hiasan kepala yang menyerupai mahkota. Hiasan kepalanya sangat unik, dibentuk dari bermacam-macam dedaunan dan bunga yang tumbuh di hutan. Sedangkan Rejang Kalimayah biasanya ditarikan pada upacara-upacara besar di Pura Pasar Agung Desa Adat Sibetan. Tata busananya sangat sederhana, hanya menggunakan kain berwarna putih dan kuning dan penarinya membawa dupa.
            Pragmen Tari dari Kecamatan Bebandem mengetengahkan judul Tulang Gadang mengisahkan misteri beberapa kali seorang penari rejang yang hilang pada setiap prosesi upacara dewa yadnya (piodalan) di Pura Puseh Panti Abian Tihing, yang rutin diselenggrarakan pada hari Buda Kliwon Pahang.

            Pemimpin dalam Ritual Hindu
Kecamatan Rendang yang ada di wilayah serambi depan Pura Besakih menampilkan ritual kegamaan upacara Ulu. Ritual tersebut rangkaian upacara besar keagamaan yang ada di Desa Pakraman Pejeng Desa Menanga, Kecamatan Rendang dilaksanakan setiap tahun sekali.    
            Makna dari upacara Ulu adalah seorang pemimpin harus berpikir cerdas, bersih, bertanggung jawab, sebagai pelindung, pengayom dan tegas dalam mengambil sikap terhadap masyarakat yang mengganggu atau merintangi jalannya pemerintahan yang sudah disepakati oleh rakyat.

            Kisah Petilasan Danghyang Dwijendra
            Kisah Petilasan Danghyang Dwijendra di Pura Gerombong di Desa Pakaraman Barturinggit wakil Kecamatan Kubu ditampilkan dalam bentuk fragmen tari dengan penata tari I Gede Tantra, S.Pd. dan penata tabuh I Gede Dangin. Kisah perjalananya saat Danghyang Dwijendra berkeliling menjelajahi tepi pantai Bali. Ketika perjalannya sampai di Bali utara, beliau sempat turun sejenak di Desa Baturinggit, sebuah desa yang berada di kaki Gunung Agung dekat pantai. Di desa itulah  Danghyang Dwijendra meletakkan batu sebagai pertanda bahwa tempat itu pernah dikunjungi sebagai cikal bakal gerombong.
           
            Arak-arakan Api Obor
            Ritual unik lainnya terjadi di Desa Manggis, Kecamatan Manggis yang dipergakan dalam bentuk fragmen. Diwajibkan setiap warga membawa bobok  dari dayuh (daun kelapa kering) yang diikat,  dibakar  dan diarak dari jalan raya menuju kuburan, diiringi dengan buyian kentungan kulkul dari masing-masing banjar. Prosesi upacara tersebut dinamakan  dengan Ngemu-mu, dilaksanakan pada upacara Usaba Kelod/Usaba Dalem. Tradisi ini dilakukan atas perintah penguasa raja agar desa  menjadi aman dan sejahtera, karena di desa itu pernah terjadi musibah. Prosesi ini diiringi dengan tarian Bebarisan dan Rerejangan dengan iringan gambelan slonding.
                                 
            Tari Baris Dadap
            Tari  sakral Baris Dadap dan Panah ditampilkan oleh pengempon Pura Pemaksan Ngis, Banjar Kaang-Kaang, Desa Pekraman Culik, Desa Kertha Mandala, Kecamatan Abang. Tari Dapdap ini dibagi dalam tiga kelompok tarian. Tarian Lelancang yang ditarikan oleh lima orang pria sebagai utusan Panca Dewata, lengkap dengan astranya/senjatanya yang ampuh. Tari Baris Dadap dimainkan oleh enam orang laki-laki, satu orang pemeran Kresna sebagai penasehat, spirit, pendorong kepada Panca Pandawa. Darma, Bima, Arjuna, Nakula, Sahadewa dalam angeruat, memberantas momo angkara murka, kekuatan-kekuatan aura-aura negativ, yang mengganggu jasmasi rohani manusia dalam melakoni kehidupan di dunia.
           
            Busana Khas Busana Karangasem
            Penggunaan busana adat Karangasem sangat beragam, artistik dan penuh simbol-simbol. Menurut Ni Made Suradnyani, S.Sos, koordinator peragaan busana, busana tersebut masih dapat terlihat apada acara-acara adat tertentu di Karangasem. Diperagakan oleh wadah alumnus Duta Wisata dan Budaya Sameton Jegeg Bagus Karangasem. Busana tersebut meliputi Payas Agung Karangasem, busana  sehari-hari digunakan oleh warga Puri Agung Karangasem. Payas Madya, digunakan untuk acara semi formal seperti menyambut tamu-tamu raja, dan paruman raja. Payas Pusung Leklek Karangasem, merupakan payasan sehari-hari Puri Karangasem dengan ciri khas pusungan leklek dengan hiasan beberapa bunga cempaka serta gegempolan, sedangkan busana prianya menyesuaikan dengan menggunakan baju beludru dan udeng songket. Busana Payas Tenganan Pegringsingan dengan ciri khas tenun double ikat. Payas Daha dan Taruna Tenganan Pegeringsingan,
            Pawai kali ini turut berpartisipasi Drumband Cilik SDN 1 Karangasem, SDN 5 Subagan dan peragaan busana endek untuk pakaian dinas kantor.

           


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda