KOMANG PASEK ANTARA

Senin, 15 Juli 2019

TENGANAN PEGRINGSINGAN, UNIK DAN MENARIK


TENGANAN PEGRINGSINGAN, UNIK DAN MENARIK
Oleh : Drs. I Komang Pasek Antara

Menjelang Remaja Wajib Masuk Pesraman
          Antropolog kaentjaningrat ,dalam bukunya beberapa Pokok Antropologi Sosial (1985), mengatakan, dalam hampir semua masyarakat manusia di seluruh dunia hidup individu dibagi oleh adat masyarakatnya kedalam tingkat tertentu. Tingkat-tingkat sepanjang hidup individu yang dalam kitab- kitab antropologi sering disebut stage along life cycle itu, adalah misalnya, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubertet, masa sesudah nukah, masa hamil,masa tua,dsb. Pada saat-saat peralihan,waktu para individu beralih dari satu tingkat hidup ke tingkat lain,biasanya diadakan pesta atau upacara yang merayakan pada saat itu. Pesta dan upacara pada saat peralihan sepanjang life cycle memang universal dan ada hampir semua kebudayaan diseluruh dunia, hanya saja tidak semua saat peralihan dianggap sama penting dalam semua kebudayaan.
Adalah desa tenganan pegeringsingan,karangasem, seperti yang ditulis koentjaraningrat diatas, satu-satunya desa bali age (penduduk bali asli )yang sampai kini masih banyak menyimpan keunikan budaya. Karena itu, sangat tepat desa itu diberikan predikat ’ unik sekaligus menarik’.
Bagi masyarakat tenganan pegringsingan,ada salah satu aktivitas budayanya yang memiliki nilai pendidikan moral yang sangat luhur dalam menapaki perjalan hidup manusia kelak. Aktivitas budaya yang tergolong kedalam tingkat-tingkat sepanjang hidup individu adalah masa peralihan kanak-kanak menuju masa remaja yang disebutnya teruna nyoman.
Teruna nyoman merupakan prose budaya dalam tingkat sosial. Bagi warga tenganan pegringsingan yang mempunyai anak laki-laki sebelum menempuh masa perkawinan,minimal sebelas tahun wajib anak tersebut ikut masuk teruna nyoman.
Rambut digundul dan tidak boleh menginap diluar asrama.
            Menjadi ’siswa’ teruna nyoman prosesnya sangat panjang, selama tahun mereka masuk asrama untuk menjalani pendidikan sosial budaya,bahkan tiga hari pertama ’masa orientasi’ mereka tidak boleh keluar pesraman. Selama setahun mereka wajub tinggal dan menginap di pesraman yang disebutnya dengan subak teruna nyoman di rumah tokoh masyarakat tenganan yang juga sekretaris desa tenganan, Jero Mangku Wayan Widia. Disanalah setiap hari mereka di gembleng, di didik di bersihkan dan di bekali hati nuraninya dengan agama,budi pekerti, adat/budaya dan sejarah desa tengan pegringsingan, termasuk rambutnya digundul plontos sebagai simbul pembersihan diri.
Selama setahun pula mereka tidak boleh mencukur rambutnya dengan me-teruna nyoman berarti mereka sengaka sekala-nikala telah menek kelih (remaja), karena mereka langsung dilaksanakan upacara potong gigi seperti layaknya upacara potong gigi yang dilakukan oleh masyarakat bali lainnya. Selama mengikuti proses teruna nyoman mereka tidak boleh menginap diluar pesraman. Nah, bagaimana yang masih sekolah di perantauan(luar daerah)?. Tidak ad perkecualian mereka wajib mengikutinya. Terpaksa orang tuanya memindahkan anaknya sekolah yang terdekat dari tenganan pegringsingan, sehingga bisa pergi-pulang sekolah. Mereka hanya wajib mengikuti kegiatan teruna nyoman pada saat malam hari saja,sehingga mereka dapat sekolah dan sorenya dapat belajar di rimah.
Apabila ada warga tenganan pegringsingan yang kawin tetapi belum me-teruna nyoman, maka yang bersangjutan dibuang ke banjar pande, masih diwilayah desa pegringsingan, dan hak-hak mereka sebagai warga desa dibatasi / dikurangi.
Menurut Inengah Timur.S.Pd,alumnus Institut Hindu Darma Denpasar yang sudah me-teruna nyoman tahun 1978 lalu mengatakan, sebelum perkembangannya pendidikan sepertisekarang ini,melaksanakan teruna nyoman cukup berat, hampir seluruh kegiatan di peruntukkan teruna nyoman dalam kegiatan adat / agama di desa. Karena perkembangan zaman dan efisiensi, pelaksanaan teruna nyoman saat ini disesuaikan diantaranya umur pesrta boleh lebih kecil semasih duduk di sekolah dasar, mengingat setelah masuk usia SLTP / SLTA pelajaran di sekolah cukup berat dan dulu tidak boleh bepergian keluar desa.
Proses teruna nyoman diibaratkan seperti sekolah, ada jadwal guru yang memberikan materi kepada teruna nyoman. Diantara teruna nyoman juga ada pemimpinyya yang diberi nama mekel. Materi pendidikan diberikan oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat diantaranya,kelian adat,kelian teruna,anggota deha.
Prose menjadi teruna nyoman di awali dengan pendaftaran oleh orang tua calon kepada pengurus desa adat, kemudian melalui pelaksanaan upacara majak-ajakan selama tiga bulan sebelum masuk pesraman. Dalam upacara tersebut, calon teruna nyoman khusus secara berkala melaksanakan kegiatan sembahyang matur piuning bersama keseluruh pura yang di tenganan pegringsingan.


Pendidikan Moral dan Budaya
 Hakeket me-teruna nyoman menurut I Nengah Timur S.Pd, warga tenganan pegringsingan yang guru agama hindu SLTPN 2 Amlapura, adalah proses pendidikan budaya dimana anak-anak laki-laki sebagai calon pemimpin masa depan minimal dalam kelurga, sebelum memasuki masa teruna(remaja) perlu dibekali pendidikan moral dan budaya untuk mengatisipasi gejolak negatif masa remajanya dan pengetahuan tersebut dapat dilanjutkan kepada terunanya kelak. Meskipun di rumah / sekolahnya masing-masing diberikan pendidikan seperti itu,tetapi pendidikan diadakan sentuhan religius dan jiwa persatuan / kesatuan, serta ada proses kepemimpinan diantara teruna nyoman.
Pelasanaan teruna nyoman biasanya dilakukan sekitar bulan agustus setiap lima tahun sekali. Itu juga tergantung calon teruna nyoman apabila kurun waktu lima tahun ada calon, pelaksanaannyadiundiundur samapai ada calon.
Biaya pelaksanaan teruna nyoman yang baru lalu masing-masing calon teruna nyoman dikenai biaya sebesar Rp.700.000,- dengan peserta minimal sepuluh orang boleh di bayar secara bertahap. Besar kecilnya pembayarannya itu tergantung peserta. Apabila pesertanya melebihi sepuluh orang, pembayarannya lebih sedikit demikian sebaliknya. Biaya tersebut seluruhnya digunakan untuk teruna nyoman.






NYEPI CUMA AMATI KARYA

Di beberapa desa diseantera jagat bali khususnya waktu dan pelasanaan hari nyepi oleh umat hindu beragam, bisa dua kali setahun, disamping ikut melasanakan hari nyepi secara nasional, juga melaksanakan nyepi secara adat desa bersangkutan.
Yang sangat unik pelaksanaan unik di tenganan pegringsingan, berbeda dengan pelaksanaan nyepi secara nasional, baik waktu maupun jenis berata nyepi-nya (aturan / larangan nyepi). Di tenganan pegringsingan produk desa budaya uni itu, tidak ada nyepi nasional layaknya dilakukan umat hindu di indonesia. Dan tersebut hanya melaksanakan nyepi persi tenganan pegringsingan. Bagaimna keunikannya?
Desa yang berpenduduk relatif sedikit sekitar seratus tujuh puluh kk,bahkan cenderung ada penurunan penduduk itu, umatnya melaksanakan nyepi desa hanya sekali dalam setahun pada sasih kasa  persi tenganan pegringsingan yaitu sekitar bulan pebruari.
Kalau nyepi secara nasional, umat hindu di indonesia umumnya melakukan empat brata seperti : amati geni(larangan beapi-api), amati lelungan (larangan bepergian), amati lelanguan(menikmati hiburan), dan amati karya(larangan bekerja). Sedangkan, warga tenganan pegringsingan melaksanakan hari nyepi sedikit berbeda. Di tenganan pegringsingan warga hanya melakukan satu brata nyepi berdasarkan awig-awig desa diantara empat brata nyepi yang umum berlaku, yaitu amati karya(larangan bekerja) seperti : memukul besi, semua jenis pahat-memahat, membuat lubang, memukul perunggu(gamelan gong), dan menumbuk padi. Berata nyepi itu dilakukan selama lima belas hari sampai pada puncak acara hari nyepi.

 Nyepi Aktivitas Upacara  pada Puncak Nyepi

Pada puncak hari nyepi warga tenganan pegringsingan mengekspresikannya dalam bentuk kegiatan upacara adat / agama yang dilaksanakan di bale agung. Tujuannya mohon kepada ida betara yang berstana di bale agung, agar alam beserta isinya mendapat keselamatan. Sejak pagi hari di bale agung perangkat desa adat baik laki-laki maupun perempuannya sibuk melaksanakan kegiatan membuat sarana upacara bebanten dan ngebat untuk dipersembahkan kepada para dewa yang berstanan di bale agung. Sedangkan, warga tenganan lainnya melaksanakan kegiatan sehari-hari seperti biasa. Tampak seperti tidak ada suasana hari nyepi yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat bali umumnya.
Bale agung yang terletak di bagian barat tepatnya berada di serambi depan desa itu, di pagari bambu, siapapun tidak di perkenankan memasuki bali agung. Kecuali anggota perangkat desa adat yang bertugas siang harinya setelah pembuatan sarana banten selesai kul-kul desa di bunyikan pertanda nyepi berakhir. Kemudian baru dilanjutkan dengan mengaturkan bebanten kepada ida betara yang berstana di bale agung sampai larut malam.
Setelah puncak acara hari nyepi selesai, keesokan harinya pagi-pagi buta sekitar pukul empat sampai lima, anggota deha(remaja putri) melantunkan kidung-kidung suci di bali patemu yang di tenganan pegringsingan di sebut nyondong. Juga pada sore sampai malam harinya di bale agung berturut-turut selama seminggu digelar tari-tarian sakral rejang dan abuang sebagai wujud rasa syukur kepada ida betara pelaksanaan hari nyepi berlangsung dengan sukses.
Bagaimana warga tenganan pegringsingan menyikapi waktu pelaksanaan hari nyepi yang dilakukan umat hindu umumnya di bali. Menurut I Nengah Timur S.Pd. warga asli kelahiran tenganan pegringsingan, juga guru agama hindu di SLT 2 Amlapura, pihak desa adat tenganan pegringsingan, meskipun tidak ikut melaksanakan hari nyepi seperti di bali umumnya tetapi pihak desa adatnya tetap sebatas menghimbau kepada warganya untuk turut menghormati saudara-saudaranya umat hindu lainnya yang melaksanakan hari nyepi pada saat itu.
I Nengah Timur menjelaskan, sejak hari nyepi diakui sebagai hari libur nasional,desa adat tenganan pegringsingan, juga ikut melaksanakan upacara caru kesanga seperti yang dilakukan oleh umat hindu lainnya di bali.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda