TENGANAN PEGRINGSINGAN, UNIK DAN MENARIK
TENGANAN
PEGRINGSINGAN, UNIK DAN MENARIK
Oleh : Drs. I Komang Pasek
Antara
Menjelang Remaja Wajib Masuk
Pesraman
Antropolog kaentjaningrat ,dalam bukunya beberapa Pokok Antropologi Sosial (1985), mengatakan, dalam hampir semua
masyarakat manusia di seluruh dunia hidup individu dibagi oleh adat
masyarakatnya kedalam tingkat tertentu. Tingkat-tingkat sepanjang hidup
individu yang dalam kitab- kitab antropologi sering disebut stage along life
cycle itu, adalah misalnya, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja,
masa pubertet, masa sesudah nukah, masa hamil,masa tua,dsb. Pada saat-saat
peralihan,waktu para individu beralih dari satu tingkat hidup ke tingkat
lain,biasanya diadakan pesta atau upacara yang merayakan pada saat itu. Pesta
dan upacara pada saat peralihan sepanjang life cycle memang universal dan ada
hampir semua kebudayaan diseluruh dunia, hanya saja tidak semua saat peralihan
dianggap sama penting dalam semua kebudayaan.
Adalah desa tenganan pegeringsingan,karangasem, seperti yang ditulis koentjaraningrat
diatas, satu-satunya desa bali age (penduduk bali asli )yang sampai kini masih
banyak menyimpan keunikan budaya. Karena itu, sangat tepat desa itu diberikan
predikat ’ unik sekaligus menarik’.
Bagi masyarakat tenganan pegringsingan,ada salah satu aktivitas budayanya
yang memiliki nilai pendidikan moral yang sangat luhur dalam menapaki perjalan
hidup manusia kelak. Aktivitas budaya yang tergolong kedalam tingkat-tingkat
sepanjang hidup individu adalah masa peralihan kanak-kanak menuju masa remaja
yang disebutnya teruna nyoman.
Teruna nyoman
merupakan prose budaya dalam tingkat sosial. Bagi warga tenganan pegringsingan
yang mempunyai anak laki-laki sebelum menempuh masa perkawinan,minimal sebelas
tahun wajib anak tersebut ikut masuk teruna nyoman.
Rambut digundul dan tidak boleh menginap diluar
asrama.
Menjadi ’siswa’ teruna nyoman prosesnya
sangat panjang, selama tahun mereka masuk asrama untuk menjalani pendidikan
sosial budaya,bahkan tiga hari pertama ’masa orientasi’ mereka tidak boleh
keluar pesraman. Selama setahun mereka wajub tinggal dan menginap di pesraman
yang disebutnya dengan subak teruna nyoman di rumah tokoh
masyarakat tenganan yang juga sekretaris desa tenganan, Jero Mangku Wayan
Widia. Disanalah setiap hari mereka di gembleng, di didik di bersihkan dan di
bekali hati nuraninya dengan agama,budi pekerti, adat/budaya dan sejarah desa
tengan pegringsingan, termasuk rambutnya digundul plontos sebagai simbul
pembersihan diri.
Selama setahun pula mereka tidak boleh mencukur rambutnya dengan me-teruna
nyoman berarti mereka sengaka sekala-nikala telah menek kelih (remaja),
karena mereka langsung dilaksanakan upacara potong gigi seperti layaknya
upacara potong gigi yang dilakukan oleh masyarakat bali lainnya. Selama
mengikuti proses teruna nyoman mereka tidak boleh menginap diluar pesraman. Nah,
bagaimana yang masih sekolah di perantauan(luar daerah)?. Tidak ad perkecualian
mereka wajib mengikutinya. Terpaksa orang tuanya memindahkan anaknya sekolah
yang terdekat dari tenganan pegringsingan, sehingga bisa pergi-pulang sekolah.
Mereka hanya wajib mengikuti kegiatan teruna nyoman pada saat malam hari
saja,sehingga mereka dapat sekolah dan sorenya dapat belajar di rimah.
Apabila ada warga tenganan pegringsingan yang kawin tetapi belum me-teruna
nyoman, maka yang bersangjutan dibuang ke banjar pande, masih diwilayah
desa pegringsingan, dan hak-hak mereka sebagai warga desa dibatasi / dikurangi.
Menurut Inengah Timur.S.Pd,alumnus Institut Hindu Darma Denpasar yang sudah
me-teruna
nyoman tahun 1978 lalu mengatakan, sebelum perkembangannya pendidikan
sepertisekarang ini,melaksanakan teruna nyoman cukup berat, hampir
seluruh kegiatan di peruntukkan teruna nyoman dalam kegiatan adat /
agama di desa. Karena perkembangan zaman dan efisiensi, pelaksanaan teruna
nyoman saat ini disesuaikan diantaranya umur pesrta boleh lebih kecil
semasih duduk di sekolah dasar, mengingat setelah masuk usia SLTP / SLTA
pelajaran di sekolah cukup berat dan dulu tidak boleh bepergian keluar desa.
Proses teruna nyoman diibaratkan seperti sekolah, ada jadwal guru yang
memberikan materi kepada teruna nyoman. Diantara teruna
nyoman juga ada pemimpinyya yang diberi nama mekel. Materi pendidikan diberikan
oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat diantaranya,kelian adat,kelian teruna,anggota
deha.
Prose menjadi teruna nyoman di awali dengan pendaftaran oleh orang tua calon
kepada pengurus desa adat, kemudian melalui pelaksanaan upacara majak-ajakan selama
tiga bulan sebelum masuk pesraman. Dalam upacara tersebut, calon teruna
nyoman khusus secara berkala melaksanakan kegiatan sembahyang matur
piuning bersama keseluruh pura yang di tenganan pegringsingan.
Pendidikan
Moral dan Budaya
Hakeket me-teruna nyoman menurut I Nengah Timur
S.Pd, warga tenganan pegringsingan yang guru agama hindu SLTPN 2 Amlapura,
adalah proses pendidikan budaya dimana anak-anak laki-laki sebagai calon
pemimpin masa depan minimal dalam kelurga, sebelum memasuki masa teruna(remaja)
perlu dibekali pendidikan moral dan budaya untuk mengatisipasi gejolak negatif
masa remajanya dan pengetahuan tersebut dapat dilanjutkan kepada terunanya
kelak. Meskipun di rumah / sekolahnya masing-masing diberikan pendidikan
seperti itu,tetapi pendidikan diadakan sentuhan religius dan jiwa persatuan / kesatuan,
serta ada proses kepemimpinan diantara teruna nyoman.
Pelasanaan teruna nyoman biasanya dilakukan
sekitar bulan agustus setiap lima tahun sekali. Itu juga tergantung calon teruna
nyoman apabila kurun waktu lima tahun ada calon,
pelaksanaannyadiundiundur samapai ada calon.
Biaya pelaksanaan teruna nyoman yang baru
lalu masing-masing calon teruna nyoman dikenai biaya sebesar Rp.700.000,-
dengan peserta minimal sepuluh orang boleh di bayar secara bertahap. Besar
kecilnya pembayarannya itu tergantung peserta. Apabila pesertanya melebihi sepuluh
orang, pembayarannya lebih sedikit demikian sebaliknya. Biaya tersebut
seluruhnya digunakan untuk teruna nyoman.
NYEPI CUMA AMATI KARYA
Di beberapa desa diseantera jagat bali khususnya waktu dan pelasanaan hari
nyepi oleh umat hindu beragam, bisa dua kali setahun, disamping ikut
melasanakan hari nyepi secara nasional, juga melaksanakan nyepi secara adat
desa bersangkutan.
Yang sangat unik pelaksanaan unik di tenganan pegringsingan, berbeda dengan
pelaksanaan nyepi secara nasional, baik waktu maupun jenis berata nyepi-nya
(aturan / larangan nyepi). Di tenganan pegringsingan produk desa budaya uni
itu, tidak ada nyepi nasional layaknya dilakukan umat hindu di indonesia. Dan
tersebut hanya melaksanakan nyepi persi tenganan pegringsingan. Bagaimna
keunikannya?
Desa yang berpenduduk relatif sedikit sekitar seratus tujuh puluh kk,bahkan
cenderung ada penurunan penduduk itu, umatnya melaksanakan nyepi desa hanya
sekali dalam setahun pada sasih kasa persi tenganan pegringsingan yaitu sekitar
bulan pebruari.
Kalau nyepi secara nasional, umat hindu di indonesia umumnya melakukan
empat brata seperti : amati geni(larangan beapi-api), amati lelungan (larangan
bepergian), amati lelanguan(menikmati hiburan), dan amati karya(larangan
bekerja). Sedangkan, warga tenganan pegringsingan melaksanakan hari nyepi
sedikit berbeda. Di tenganan pegringsingan warga hanya melakukan satu brata
nyepi berdasarkan awig-awig desa diantara empat brata nyepi yang umum berlaku,
yaitu amati karya(larangan bekerja) seperti : memukul besi, semua jenis
pahat-memahat, membuat lubang, memukul perunggu(gamelan gong), dan menumbuk
padi. Berata nyepi itu dilakukan selama lima belas hari sampai pada puncak
acara hari nyepi.
Nyepi Aktivitas Upacara pada Puncak Nyepi
Pada puncak hari nyepi warga tenganan
pegringsingan mengekspresikannya dalam bentuk kegiatan upacara adat / agama
yang dilaksanakan di bale agung. Tujuannya mohon kepada ida betara yang
berstana di bale agung, agar alam beserta isinya mendapat keselamatan. Sejak
pagi hari di bale agung perangkat desa adat baik laki-laki maupun perempuannya
sibuk melaksanakan kegiatan membuat sarana upacara bebanten dan ngebat untuk
dipersembahkan kepada para dewa yang berstanan di bale agung. Sedangkan, warga
tenganan lainnya melaksanakan kegiatan sehari-hari seperti biasa. Tampak
seperti tidak ada suasana hari nyepi yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat
bali umumnya.
Bale agung yang terletak di bagian barat tepatnya
berada di serambi depan desa itu, di pagari bambu, siapapun tidak di
perkenankan memasuki bali agung. Kecuali anggota perangkat desa adat yang
bertugas siang harinya setelah pembuatan sarana banten selesai kul-kul desa di
bunyikan pertanda nyepi berakhir. Kemudian baru dilanjutkan dengan mengaturkan
bebanten kepada ida betara yang berstana di bale agung sampai larut malam.
Setelah puncak acara hari nyepi selesai, keesokan
harinya pagi-pagi buta sekitar pukul empat sampai lima, anggota deha(remaja
putri) melantunkan kidung-kidung suci di bali patemu yang di tenganan
pegringsingan di sebut nyondong. Juga pada sore sampai malam harinya di bale
agung berturut-turut selama seminggu digelar tari-tarian sakral rejang dan
abuang sebagai wujud rasa syukur kepada ida betara pelaksanaan hari nyepi
berlangsung dengan sukses.
Bagaimana warga tenganan pegringsingan menyikapi
waktu pelaksanaan hari nyepi yang dilakukan umat hindu umumnya di bali. Menurut
I Nengah Timur S.Pd. warga asli kelahiran tenganan pegringsingan, juga guru
agama hindu di SLT 2 Amlapura, pihak desa adat tenganan pegringsingan, meskipun
tidak ikut melaksanakan hari nyepi seperti di bali umumnya tetapi pihak desa
adatnya tetap sebatas menghimbau kepada warganya untuk turut menghormati
saudara-saudaranya umat hindu lainnya yang melaksanakan hari nyepi pada saat
itu.
I Nengah Timur menjelaskan, sejak hari nyepi
diakui sebagai hari libur nasional,desa adat tenganan pegringsingan, juga ikut
melaksanakan upacara caru kesanga seperti yang dilakukan oleh umat hindu
lainnya di bali.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda