Tradisi “Perang” Gebug Ende Seraya: Saling Pukul dengan Rotan untuk Memohon Hujan
Oleh: I Komang Pasek Antara
Ada sejumlah tradisi budaya khas Kabupaten
Karangasem yang unik dan menarik bercirikan ”perang” bernafaskan heroisme”, hingga
kini masih hidup dilakoni masyarakatnya. ”Perang” apa itu? diantaranya ”perang rotan” atau yang oleh masyarakat
setempat disebut Gebug Ende, terdapat di Desa Seraya (Kec. Karangasem), ”perang
api ” (Teteran) di Desa Jasri (Kec. Karangasem), ”perang Jempana” dan ”perang pelepah pisang” (Tetabahan)
di Desa Bugbug (Kec. Karangasem), Mesabat-sabatan biyu (perang buah pisang) di
Desa Tenganan Dauh Tukad, dan ”perang pandan berduri” yang dikenal dengan Mekare-kare
terdapat di Desa Tenganan Pegeringsingan (Kec. Manggis) salahsatu desa penduduk
Bali Aga (Bali asli).
Ada salahsatu tradisi budaya yang dimainkan
terkait saat mulai musim kemarau tiba seperti musim sekarang ini sasih kapat bulan Oktober–Nopember,
yaitu Gebug Ende Seraya (Perang Rotan) di Desa Seraya, Kecamatan Karangasem.
Kini Desa Seraya telah dimekarkan menjadi tiga wilayah masing-masing Desa
Seraya (induk), Seraya Barat dan Timur. Jaraknya 10 km dari kota Amlapura
setelah melewati obyek wisata Taman Soekasada Ujung. Jika di lihat di peta
Pulau Bali, wilayah berada paling ujung
timur.
Secara Geografis desa ini tanahnya tandus. Hampir setiap tahun bila
musim kemarau tiba desa ini membutuhkan bantuan tambahan air minum/mandi meskipun air minum PDAM sudah
masuk ke Seraya. Seraya juga masih menyimpan sejumlah identitas lain dengan
kualitas relativ baik . Misalnya di bidang hasil bumi, dikenal jagung Seraya
yang rasanya gurih dan empuk, merupakan
produk kecil dari beberapa bidang tanah yang bisa di tanami. Dan Seraya dikenal
memiliki fisik rata-rata kuat.
Keadaan geografis yang tandus itulah, maka
masyarakat Seraya khususnya memiliki
tradisi budaya religius itu memohon turunnya hujan. Untuk terkabulnya permohonan
itu mereka biasanya menggelar tradisi yang namanya Gebug Ende (perang rotan), biasanya
dilakukan pada musim kemarau tiba. Bagaimana bentuk atraksinya?
Plak,
plak, plak, cebet, cebet.
Begitu suara pukulan sebatang rotan membentur ende
(perisai) dan sekali-kali menerpa tubuh lawan. Meski tubuhnya terkena pukulan
rotan, mereka merasa gembira dan sembari menari-nari kegirangan. Sementara
suara gamelan baleganjur bertalu-talu
sebagai pengiring memanaskan suasana ”perang”. Penonton pun sorak-sorai unruk
memberika suport. Mereka bertanding
satu lawan satu. Sebatang rotan sebagai alat pemukul panjangnya sekitar satu meter.
Sedangkan alat penangkisnya sebuah perisai bergaris tengah 60 cm terbuat dari
lapisan kulit sapi kering yang terikat pada bingkai kayu.
Cara ”perang” mereka boleh dikatakan menarik dan
mengerikan, karena berduel satu lawan satu memakai alat pemukul dari rotan
tanpa mengenakan baju hanya pakai busana kain adat saja. Tak pelak cucuran
darah tubuhnya/kepala akan mengalir karena pukulan sebatang rotan, paling tidak
bekas memar akan membekas setiap pukulan rotan itu mendarat di punggungnya
apalagi Gebug ini di mainkan dibawah terik matahari.
Atraksi Gebug
umumnya dilakukan di sela-sela istirahat kerja di ladang pada siang/sore hari
biasanya saat akan menjelang musim tanam di ladang. Masyarakat pendukungnya
mempercayai, kalau permaiann Gebug salahsatu pemainnya sampai mengelarkan darah
dari pukulan rotan maka ada kemungkinan hujan akan cepat turun. Singkatnya,
menurut kepercayaan masyarakat Seraya, permainan Gebug digelar di wilayah desanya ini
untuk memohon kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan ) agar hujan segera turun
untuk keperluan pertanian dan konsumsi.
Diakui memang tidak selalu sehabis atraksi Gebug
hujan akan spontan turun, sebab turunnya hujan tergantung kepada-Nya, paling
tidak warga sudah berupaya memohon kepada yang kuasa. Atraksi ini biasanya
berlangsung di tempat-tempat umum dengan mengundang lawan yang ada di desa
sekitarnya termasuk Dusun Ujung Pesisi, sebuah kampung nelayan pinggir pantai
Ujung yang penduduknya sebagain warga Muslim asal Pulau Lombok. Gebug dilakoni oleh baik anak kecil, dewasa maupun
orang tua tak ketinggalan dalam mengadu kepintaran memainkan batangan rotan dan
perisai.
Menurut penuturan I Wayan Kembar, salah seorang
pemuda desa Seraya yang sudah sering ikut Gebug, jika para pemain sudah
memegang sebatang rotan dan perisai maka akan muncul gejolak hati untuk maju
melawan musuh. Tidak memandang siapa yang dilawan teman atau saudara. Bagi para
pemain Gebug bersimbah darah akibat terkena rotan sudah biasa, rasa sakit dan gembira membaur menjadi satu.
Tentang pengobatannya? Ooo... katanya tidak perlu repor-repot ke dokter! luka
itu akan segera kering dan sembuh dengan memakai obat ramuan tradisional.
Karena tradisi Gebug Seraya memiliki kekhasan dan
berkualitas baik sebagai pertunjukkan rakyat, maka berbagai pihak masyarakat
dan pemerintah memanfaatkannya untuk dipertunjukkan dalam acara tertentu
termasuk konsumsi wisatawan domistik dan mancanegara yang datang ke Karangasem.
”Meski tampil pesanan untuk pertunjukkan permainan Gebug tidak boleh
direkayasa/disetting, justru kalau
direkayasa permainanya akan membawa petaka bagi pemainnya kepalanya bisa bocor berdarah
kena gebugan rotan”, katanya I Made
Sekar, warga Desa Seraya Barat. Saking
populernya Gebug Ende, oleh para seniman tari di Karangasem seperti Ni Wayan
Kinten pemilik Sanggar Seni Mini Artis Amlapura mengemasnya kedalam bentuk
tarian, cukup atraktif!
Aturan permainan Gebug sangat sederhana. Arena
yang dipergunakan tidak menuntut tempat yang luas minimal 6 m2. Juru kembar (juri pertandingan) masing-masing menyeleksi
perbandingan/penyesuaian lawan postur
tubuh maupun usia. Sebelum permainan
di mulai biasanya didahului permainan pendahuluan yang di mainkan oleh juru kembar tapi tidak samapai rotan membentur tubuh lawan.
Hal itu hanya dilakukan sebentar sebagai rangsangan pemberi semangat kepada
yang akan bermain.
Biasanya kalau Gebug tersebut digelar di desanya,
sebelum pertandingan di mulai para pemainnya umumnya minum tuak (nira) agar
badan cepat panas tapi tidak sampai mabuk. Peraturan permainannya sederhana sekali,
mereka tidak di perkenankan memukul di bawah pusar dan saling berangkulan.
Tidak boleh menyerang melewati garis batas wilayah posisi pemain. Jika aturan
tersebut dilanggar mereka dilerai dan diberi peringatan. Apabila tidak
mengindahkan peringatan maka mereka dikeluarkan dari arena dan dinyatakan
kalah.
Umumnya permainannya berlangsung singkat sekitar
10 menit. Tidak ada pernyataan resmi dari wasit pihak yang menang ataupun kalah,
hanya penonton yang dapat menilainya.
Ada kisah menarik mengenai masyarakat Seraya yang
terkenal kuat fisiknya itu, menurut mantan Kepala Desa Seraya Tengah, I Ketut
Jineng, pada zaman kerajaan
masyarakat seraya merupakan ”tangan kanan” Raja Karangasem yang memerintah pada
waktu itu.
Di masyarakat seraya ada beberapa orang yang di
kenal dengan sebutan sorohan petang dasa (kelompok
empat puluh). Mereka itulah yang harus tampil lebih dahulu melawan musuh jika
ada perang.
Permainan Gebug seperti ini bukan hanya ada di
Desa Seraya, tetapi di Lombok (Nusa Tenggara Barat) mengenal jenis tradisi itu,
hanya namanya berbeda. Di Lombok diberinya nama presean, dan popularitasnya sama antara di Lombok dengan Desa Seraya. . Prinsip
permainan rakyat itu sama, disamping tujuan utama kepada Tuhan untuk permohonan
hujan cepat turun, juga sebagai hiburan yang cukup marak di kedua tempat itu.
Bedanya hanya alat penangkis (perisai). Di Lombok bentuk perisai persegi empat
panjang sedangkan di Seraya Karangasem bentuknya bundar.
Nama Desa
Seraya di Karangasem juga terdapat di Desa Seraya (Lombok Barat), dan orangnya
asal dari satu keturunan Desa Seraya (Karangasem). Hal itu disebabkan
masyarakat Seraya, Karangasem, sejak jaman Kerajaan Karangasem pada abad ke-17 pernah
melebarkan kekuasaannya sampai ke Pulau Lombok dengan iringan warga Seraya, Karangasem.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda