KOMANG PASEK ANTARA

Rabu, 12 Maret 2014

DI LOMBOK ADA BALI



Penulis: Komang Pasek Antara

“Di lombok ada Bali/melihat Bali di Lombok”, demikian sebuah ungkapan sering terdengar di kalangan masyarakat khusunya masyarakat yang pernah datang atau tahu tentang Bali dan Lombok. Ungkapan yang memiliki makna strategis itu tampak lahir dari nafas derunya pariwisata dengan memanfaatkan nama Bali yang sudah terkenal di seantero dunia. Menurut Drs. L . Jalaluddin Arzaki, budayawan Lombok, promosi itu dipopulerkan oleh Bupati Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat) periode III (1965 – 1972) waktu itu dijabar Bapak Drs. Said.
Adalah wajar dilantunkan oleh mereka–mereka yang merupakan bagian dari sistem pariwisata dalam menghadapi/merebut pasar wisata  kini dan mendatang.          Keberadaan antara Bali-Lombok itu disebabkan oleh aspek geografis dan perjalanan historis.
Pulau Lombok dan Bali bertetangga dekat, satu gugusan pulau wilayah Nusa Tenggara dan Indonesia bagian timur, termasuk di dalamnya Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur. Bahkan, kecuali Timtim pernah menjadi propinsi Sunda Kecil ibu kotanya berkedudukan di Singaraja (Bali).
Antara pulau Dewata Bali, dan pulau Seribu Masjid, Lombok, bukan dipisahkan oleh lautan tetapi dihubungkan oleh lautan, yaitu selat Lombok. Luas kedua pulau itu tidak jauh berbeda. Bali yang mayoritas pemeluk agama Hindu itu lebih luas, sekitar 5.632,86 km2, sedangkan Lombok mayoritas pemeluk Islam (suku Sasak) sekitar 4.738,70 km2. Pulau Lombok memiliki empat Kabupaten (Barat, Tengah dan Timur dan Utara), dan  Kota Mataram adalah barometer pusat aktivitas Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dari segala aspek kehidupan sosial termasuk di dalamnya denyut nadi pariwisata. Dan geografis Lombok Barat (Lobar) paling dekat dengan Bali.

            Obyek Wisata
            Di pulau pedas (sebutan lain Pulau Lombok) ini seiring dengan pesatnya perkembangan pariwisata banyak memiliki daya tarik wisatawan, seperti: Pantai Senggigi, Taman Mayura, Taman Narmada, Suranadi, Lingsar, Gili Meno, Gili Trawangan, Gili Air, Gunung Pengsong, Pura Meru, Desa Senaru (perkampungan tradisional), air terjun Sindang Gile, Museum NTB dll. Pemprov NTB bersama Pemkab Lombok Barat, Timur, Tengah dan Utara terus menata kawasan–kawasan wisata di wilayahnya sebagai daerah tujuan wisata. Masyarakat atau para wisatawan domistik dan mancaneraga yang ingin berkunjung menuju pulau Lombok sebagaian besar  melalui pintu barat (Bali).
Melalui  udara dengan pesawat terbang dapat mendarat di Bandara Tanah Awuk, Lombok Tengah. Sedangkan lewat laut berlabuh di pelabuhan Lembar (Lombok Barat). Transportasi antara Bali-Lombok, jika dari Bali ke Lombok melalui pesawat terbang berangkat dari Bandara Ngurah Rai (Kabupaten Badung). Sedangkan lewat laut dari Bali menuju Lombok berangkat dari Pelabuhan Laut Padangbai (Kabupaten Karangasem). Jarak tempuh dari bandara Ngurah Rai  ke Bandara Tanah Awu, Lombok Tengah hanya ditempuh sekitar dua puluh menit. Ke Lembar dari Padangbai  ditempuh sekitar empat jam dengan interval waktu kapal berangkat dua jam selama 24 jam.
Kondisi jarak yang relatif dekat itu mengakibatkan arus lalu lintas pencarian nafkah atau keperluan lain orang–orang Bali ke Lombok terus bergelombang dan seterusnya menetap di sana, mengingat kawasan bumi gora ini lahannya masih banyak yang perlu digarap.

            Kerajaan Karangasem
Menetapnya orang-orang Bali di Lombok disebabkan dari aspek historis. Bermula dari sejarah, yaitu Kerajaan Karangasem, Bali pernah melebarkan kekuasannya sampai ke Pulau Lombok sekitar tahun 1800. Proses kekuasaannya sudah ada sejak 1692, bahkan pernah pula menguasai beberapa wilayah di Bali. Juga Raja Klungkung (Bali) pernah sebagai susuhunan raja–raja Bali dan Lombok pada pertengahan abad ke –19 (Ida Bagus Sidemen, 1983 : 58, 65).
Hadirnya Kerajaan Karangasem beserta pengikutnya di Lombok menjadikan banyak aspek tradisi kehidupan sosial budaya antara Bali dan Lombok memiliki kemiripan/kesamaan. Tradisi itu hidup di Lombok dilakoni oleh baik masyrakat Bali (Hindu) itu sendiri maupun Suku aslinya Sasak.

            Kesamaan Tradisi Budaya
Secara fisik budaya Bali (Hindu) banyak dapat dilihat di Lombok, umumnya di Kota Mataram, Lombok Barat dan beberapa di kabupaten lainnya. Bangunan tempat suci (Pura) dan Umat Hindu (Bali) sudah terbilang banyak.
 Umat Hindu (Bali) di sana ada tersebar di segala sektor kehidupan baik pemerintah maupun swasta, dan hidup berdampingan/toleransi dengan umat/suku lainnya. Aktivitas keagamaan/adat di Bali juga bisa ditemui sehari–hari di Lombok pada masyarakat Hindunya, bahkan masih terkesan “fanatik”. Bahasa daerah Bali logat Bali masih mudah di dengar di tempat–tempat umum dan menjadi alat komunikasi keluarga.         Seperti halnya di pulau seribu Pura ini, bila ada hari raya umat Hindu, umat Hindu di Lombok sangat antusias dan marak merayakannya. Demikian halnya saat hari raya Nyepi umat Hindu di Lombok juga melaksanakannya termasuk juga menyelenggarakan pawai Ogoh-ogoh. Organisasi tradisional Banjar juga ada beberapa tempat perkampungan Bali. Seni tari dan gamelan gong Bali sering digelar dalam acara–acara terentu. Inilah suatu proses difusi budaya!
Itu baru sebagaian kecil Bali dapat dilihat di Lombok. Adakah budaya khas lain dapat ditemui di Lombok? Jawabnya tentu ada !
Kesamaan/kemiripan tradisi budaya itu tidak saja antara para umat Hindu tetapi juga antara para umat Hindu dengan masyarakat suku Sasak (Islam). Itu dapat terlihat dalam: busana adat, seni teater/tari cakepung, permainan tradisonal “perang rotan” yang istilah Karangasem/Lombok disebut gebug/presean, seni musik tradisional penting, makan bersama (istilah Karangasem/Lombok: megibung/gibungan), menikah (istilah Karangasem/Lombok: merangkat/merarik), dan juga banyak lagi tradisi budaya  lainnya yang sama.
Kesamaan/kemiripan tradisi budaya antara Bali dan Lombok tersebut, di Bali sampai sekarang masih dialkoni oleh masyarakat (Hindu) ujung timur pulau Bali, Karangasem. Sedangkan di Lombok pelaku–pelakunya baik masyarakat Bali (Hindu) maupun Sasak (Islam) masih diaktifkan secara turun–temurun sampai sekarang.
Yang menarik tentang pernikahan (merangkat/merarik). Dikedua daerah tersebut (Karangasem–Lombok) pernah populer melalui adat kawin lari meskipun masih ada hubungan keluarga. Tapi era sekarang adat kawin lari di Kabupaten Karangasem, Bali hampir ditinggalkan kecuali ada masalah dalam hubungan kedua keluarga mempelai.  Mereka sekarang lebih banyak dengan cara kawin adat madik (kawin meminang) seperti halnya  di wilayah Bali lainnya. Mengenai busana adat sangat mirip sekali, terutama busana kaum pria saat menerima tamu adat. Bahkan sangat sulit membedakan, baik pemakaian destar (ikat kepala), kain maupun saput.

            Sejarah Budaya
Beberapa versi sejarah permainan tradisi budaya antara Bali-Lombok di atas penulis dapat rekam di masyarakat. Seni cakepung misalnya, diciptakan oleh masyarakat Bali di Lombok. Permainan Gebug/Presean (perang rotan), ada dua pendapat berbeda. Menurut Dewa Gde Raka budayawan asal Karangasem, diciptakan oleh masyarakat Desa Seraya, Karangasem. Di pihak lain pendapat budayawan Lombok Drs. L. Djalaluddin Arzaki, diciptakan di Lombok oleh orang–orang suku Sasak. Secara prinsip permainan rakyat itu sama, disamping tujuan utama kepada Tuhan untuk permohonan hujan cepat turun, juga sebagai hiburan yang cukup marak di kedua tempat itu. Bedanya hanya alat penangkis (perisai). Di Lombok bentuk perisai persegi empat panjang, sedangkan di Karangasem bentuknya bundar. Tongkat pemukulnya sama.
Megibung (makan bersama) ala Karangasem  pesertanya maksimal delapan orang itu mulanya muncul di Karangasem kemudian menyebar pada masyarakat Bali (Hindu) di Lombok. Megibung versi Sasak yang berjumlah empat orang itu, menurut Jalaluddin Arzaki, karena pengaruh Islam sebelum ada jaman Kerajaan Karangasem di Lombok.          Kesenian musik penting menurut budayawan asal Mataram itu muncul dari masyarakat Islam tradisional di Lombok. Kini seni mirip mandolin itu masih ada di pedesaan seperti Dasan Tereng dan Karang Duntal (Lombok Barat). Dan lain pihak pendapat tokoh seni Penting di Karangasem, berasal dari Jawa kemudian menyebar ke Bali dan Lombok. Kini di Karangasem seni musik Penting masih hidup dilakoni oleh beberapa sekehe (organiasi).

            Kesamaan Tempat Wilayah
Selain ada kesamaan/kemiripan tradisi budaya Bali dengan Lombok, juga terdapat kesamaan nama lokasi wilayah tempat tinggal masyarakat Bali di Lombok khususnya di Kota Mataram. Konon tempat tinggal itu dulu sampai sekarang ditempati para pengikut Raja Karangasem sewaktu datang ke Lombok sesuai nama tempat wilayah asalnya. Nama tempat tersebut lebih banyak dari Karangasem hanya di dahului dengan nama Karang seperti: Karang  Batuaya, Karang Batudawa, Karang Baturinggit, Karang Sidemen, Karang Manggis, Karang Seraya, Karang Kubu, Karang Jeruk Manis, Karang Cculik, Karang Perasi, Karang  Kecicang, Karang Jasi dll. Karang Sampalan (Kabupaten Klungkung), Karang Buleleng dan Karang Bungkulan (Kabupaten Buleleng) dll.


            Peninggalan Kerjaan Karangasem
            Berkuasanya kerajaan Karangasem di Lombok waktu itu, banyak peninggalan kerajaan Karangasen yang dulunya digunakan tempat persembahyangan/peristirahatan bagi raja dan keluarganya. Kini tempat itu selain tempat persembahyangan bagi umat Hindu juga Pemkab setempat memanfaatkan menjadi lokasi obyek wisata yang sudah terkenal yakni: Pura/Taman Narmada, Pura/Taman Mayura, Pura/Taman Lingsar, Pura/Taman Suranadi, Pura Meru dll. Semua obyek itu berada di Kota Mataram/Lombok Barat.      

Gerakan Nasional Cinta Museum



 Oleh I Komang Pasek Antara

Adanya kebijakan Pemerintah Indonesia menjadikan tahun 2010 lalu sebagai Tahun Kunjungan Museum/Visit Museum Year (VMY) patut kita syukuri, karena memberikan dampak positif utamanya bagi sejarah perjalanan peradaban manusia/masyarakat suatu bangsa. VMY juga bermanfaat sebagai   media informasi budaya dalam upaya meningkatan kualitas/kuantitas pendidikan bagi mahasiswa/pelajar dan masyarakat Indonesia khususnya. Dengan demikian nantinya VMY dapat lebih mempertebal kecintaannya terhadap nilai-nilai hasil produk-produk budaya para pendahulunya. Bahkan disisi lain, sosial ekonomi masyarakatpun mendapat nilai tambah dari pergerakan kunjungan masyarakat/wisatawan ke Museum, karena VMY bertujuan meningkatkan jumlah pengunjung serta meningkatkan apresiasi dan kepedulian masyarakat terhadap warisan budaya bagsa. Juga, Tahun Kunjung Museum 2010 lalu merupakan momentum awal memulai Gerakan Nasional Cinta Museum (GNCM) yang dilaksanakan selama 5 tahun (2010-2014).
            Nah, bagaimana hasil VMY selama tiga tahun sejak tahun 2010 lalu hingga sekarang memasuku tahun 2014?. Belum ada informasi evaluasi tahunan apakah sudah ada apresiasi signifikan terhadap jumlah kunjungan masyarakat ke Museum, atau sebaliknya?. Terlepas masalah VMY, bagaimana kiat Museum sebagai media informasi budaya bangsa dapat terus diapresiasi oleh masyarakatnya.
            Sepintas, Museum sudah banyak dikenal oleh masyarakat hanya terbatas sebagai tempat penyimpanan barang-barang antik kuna yang tidak dipergunakan lagi. Padahal tidak sebatas itu. Bagaimana sebenarnya hakekat dan fungsi Museum?

            Sejarah Museum
Museum di negara kita Indonesia telah ada sejak tahun 1062 lalu, didirikan oleh Pemerintah India Belanda, berlokasi di Jakarta. Berdirinya museum itu, diawali dengan adanya usaha-usaha pengumpulan benda-benda warisan budaya Bangsa Indonesia untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan masa lalu, kini dan akan datang.
            Museum yang pertama berdiri itu, bernama Bataviaasch Genootschop Vfan Kunsten En Westencshappen, kini Musuem Nasional, terletak di jalan Merdeka Barat No.12 Jakarta. Sebelumnya Museum itu bernama Gedung Gajah dan Gedung Arca, yang sampai saat ini menyimpan puluhan ribu lebih buah koleksi. Sedangkan di Eropa, sejarah pemuseuman berasal dari kamar-kamar barang ajaib milik para sarjana, bangsawan, raja, dan hartawan.
Perkembangan Museum di Belanda sangat mempengaruhi perkembangan Museum di Indonesia. Diawali oleh seorang pegawai VOC yang bernama G.E. Rumphius yang pada abad ke-17 telah memanfaatkan waktunya untuk menulis tentang Ambonsche Landbeschrijving yang antara lain memberikan gambaran tentang sejarah kesultanan Maluku, disamping penulisan tentang keberadaan kepulauan dan kependudukan. Memasuki abad ke-18 perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan baik pada masa VOC maupun Hindia-Belanda makin jelas dengan berdirinya lembaga-lembaga yang benar-benar kompeten, antara lain pada tanggal 24 April 1778 didirikan Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, lembaga tersebut berstatus lembaga setengah resmi dipimpin oleh dewan direksi. Pasal 3, dan 19 Statuten pendirian lembaga tersebut menyebutkan bahwa salahsatu tugasnya adalah memelihara Museum  yang meliputi: pembukuan (boekreij); himpunan etnografis; himpunan kepurbakalaan; himpunan prehistori; himpunan keramik; himpunan muzikologis; himpunan numismatik, pening dan cap-cap; serta naskah-naskah (handschriften), termasuk perpustakaan.  

Fungsi Museum        
Kata “Museum” berasal dari kata Muze, oleh orang Yunani Klasik diartikan sebagai kumpulan sembilan Dewi, perlambang ilmu kesenian. Kesenian itu sendiri merupakan budaya manusia bersifat universal, selain beberapa sistem yang ada yakni: religi, teknologi, organisasi kemasyarakatan, bahasa, pengetahuan dan mata pencaharian. Kesemuanya itu , juga merupakan materi koleksi museum secara umum.



            Sebagai lembaga ilmiah, tentu Museum mempunyai berbagai fungsi. Berdasarkan kebijaksanaan pengembangan permuseuman Indonesia berpegang pada rumusan ICOM (Internatiaonal Council Of Museum).  Museum mempunyai sembilan fungsi, yakni :
1)   mengumpulkan dan pengamanan warisan alam dan budaya; 2) dokumentasi dan penelitian ilmiah; 3) konservasi dan preparasi; 4) penyebaran dan pemerataan ilmu untuk umum; 5) pengenalan dan penghayatan kesenian; 6) pengenalan kebudayaan antardaerah  dan bangsa; 7) visualisasi warisan alam dan budaya; 8) cermin pertumbuhan peradaban umat manusia dan; 9) pembangkit rasa bertaqwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa

            Di Indonesia, sekarang sudah ada sekitar ratusan jumlah Museum khusus dan umum baik negeri maupun swasta  tersebar di seluruh Nusantara. Museum-museum yang telah berdiri di Indonesia minimal setiap propinsi memiliki Museum negeri sebagai Museum daerah. Selebihnya Museum khusus milik pemerintah dan swasta. Idealnya Museum, bukanlah suatu lembaga bisnis yang mencari keuntungan sebesar-besarnya, seperti pelayanan bisnis lainnya, melainkan lebih dominan fungsi sosial (pendidikan) dan rekreasi.
            Museum adalah media informasi, pendidikan dan rekreasi yang merupakan hasil peradaban budaya manusia/masyarakat yang pernah hidup di jagat raya ini. Dari sekian Museum khusus di Indonesia , ada beberapa yang kami sebutkan , diantaranya; Museum Perangko (Jakarta), Museum Kereta Api (Jateng), Museum Geogoli (Bandung), Museum Jamu (Semarang), Museum Negeri Provinsi Bali (Bali), Museum Istana Bima (Nusa Tenggara Barat), dan Museum Kebudayaan Asmat (Irian Jaya) dll.
            Di Bali  sudah ada puluhan Museum Khusus dan Umum tersebar di kabupaten /kota diantaranya: Museum Subak (Tabanan), Museum Semarajaya (Klungkung), Museum Sidik Jari (Denpasar), Museum Manusa Yadnya (Badung), Museum Gedung Kertya (Buleleng), Museum Seni Klasik Nyoman Gunarsa, Museum Neka Gianyar, Museum L Mayeur (Denpasar), Museum Antonio Blanco dll.

Kreteria Museum
             Permuseuman di Indonesia pada saat ini ditangani oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Untuk Museum-museum negeri propinsi  diklasifikasikan menjadi tiga tipe A, B dan C. Tipe yang disebut pertama itu adalah utama. Kreteria tipe dimaksud, dinilai dari segi luas fisik bangunan tanah lokasi, materi koleksi, dan personel pengelola.
            Benda-benda yang layak dijadikan koleksi Museum sesuai ketentuan, salah satu syarat diantaranya: (1) mempunyai nilai sejarah dan nilai ilmiah (termasuk nilai estetika). (2) dapat diidentifikasikan mengenai wujudnya (morfologi), tipe (typologi), gaya (style), fungsi, maknanya, asal secara historis dan geografis, genus (dalam orde biologi) atau perieode (dalam geologi khususnya untuk benda sejarah alam); (3) harus dapat dijadikan dokumen, dalam arti sebagai bukti kenyataan dan kehadiran (realitas dan eksistensinya) bagi penelitian ilmiah; (4) harus dapat dijadikan monumen, atau bakal jadi monumen dalam sejarah alam dan budaya;  (5) benda asli (real) replikasi atau reproduksi yang sah menurut persyaratan permuseuman.
            Sedangkan jenis dan bentuk benda-benda yang dijadikan koleksi museum umum negeri diantaranya: sejarah alam, paleotologi, prehistorika, arkeologika, historika, naskah, nimismatik, dan heraldika, keramik asing, seni rupa, karya cetak,etnografi, dan benda hasil abstraksi dll.

Harapan Masa Depan Museum Indonesia
            Mengelola sebuah Museum bukan tanpa tantangan dan kendala, mendirikan mudah tapi pemeliharaannya butuh biaya tidak sedikit. Menurut Direktur Permuseuman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Dra. Intan Mardiana yang dimuat di salah satu media cetak lokal di Bali, bahwa sekitar 150 unit atau lebih dari 60 persen dari 275 Museum di Indonesia sedang kolaps. Penyebabnya mulai kelemahan manajemen, ketiadaan anggaran, sampai tidak ada pengunjung. Dra. Intan Mardiana mengatakan hal tersebut pada acara Workshop GNCM di Museum ARMA Desa Peliatan, Ubud, Gianyar Desember  2010 lalu.
            Benar, umumnya Museum di Indonesia relativ kurang diminati pengunjung domistik kalau ada pengunjung itu umumnya anak-anak sekolah yang diintruksikan oleh gurunya saat liburan wisata. Tetapi lebih banyak mendapat apresiasi dari wisatawan asing saat berwisata ke Indonesia. Harapan kita bersama VMY 2010 dapat dijadikan tonggak sejarah mulai bangkitnya Museum di tanah air. Paket-paket tur wisatawan diharapkan lebih memberikan kesempatan untuk berkunjung ke Museum. Sekaligus sebagai media informasi dan promosi kepada wisatawan akan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Pihak sekolah saat berwisata disamping mengunjungi obyek wisata alam, hendaknya juga memprogramkan berkunjung ke Museum, karena disamping sebagai media rekreasi juga media pendidikan. Dengan demikian ”Yuk Bekunjung ke Museum” menjadi slogan khusunya pada para remaja.
            Dipihak lain juga pengelola Museum diharapkan terus membenahi kualitas pengelolaan, pelayanan/SDM yang profesional, kualitas/kuantitas koleksi dan pendukung lainnya, karena dapat memberikan rangsangan untuk mempromosikan kepada teman/keluarga untuk mencintai dan berkunjung ke Museum.. Semoga!!!

Tradisi Perang Api Massal di Desa Jasri, Karangasem: untuk Ketentraman Alam Lingkungan



Salahsatu desa di Kabupaten Karangasem mengenal tradisi budaya “perang massal”. Wahhh...perang apa itu, kapan dan dimana terjadi? Terteran nama perangnya, tempat lokasi perangnya di Desa Jasri, Kelurahan Subagan,  Kecamatan Karangasem, Kab. Karangasem, sekitar 4 km dari kota Amlapura menuju jalur arah jalan Amlapura–Denpasar. Tradisi Terteran yang digelar setiap dua tahun sekali pada tahun bilangan genap ini, terkait dengan digelarnya upacara desa Aci Muu-muu yang diselenggarakan setiap Pengurupukan rainan tilem kesanga, sehari sebelum hari Nyepi.
Saat sandykala matahari mulai terbenam di ufuk barat, persiapan Terteran segera akan dimulai. Diawali sekitar 50 orang laki-laki tua-muda dari para jero mangku, prajuru desa  den pengikut lainnya dengan mengenakan kain putih serta kepala terikat daun enau berangkat berjalan kaki menuju Pantai Jasri sekitar 500 meter di sebelah selatan desa untuk melarung caru. Sekembalinya mereka dari melarung caru ke laut malam sudah menyungkup bumi. Penulis beberapa kali menyaksikan langsung tradisi ini, tak ada bersitan lampu penerang di jalan maupun rumah. Benar-nenar kelam. Begitu  mulai memasuki perempatan jalan tepat di patung salak, mereka pembawa caru dihadang serta diter (dilempari) bobok (obor) oleh puluhan orang warga desa. Lemparan bobok itu dilakukan di tiga titik lokasi disepanjang jalan dari pantai menuju Pura Bale Agung. Pembawa caru tidak boleh melawan, hanya menangkis saja dengan obor yang mereka bawa serta terus lari bergegas-gegas menuju arah Pura Bale Agung.
Maksud melempar dengan obor, bahwa sekembalinya pembawa caru dan pengiringnya dari pantai diperkirakan masih diikuti oleh sejumlah roh jahat yang dapat mengganggu ketentraman lingkungan, karena itu ia harus dinetralisir dan tidak boleh masuk ke wilayah desa, sehingga alam lingkungan desa menjadi tentram. Suasana malam itu betul-betul kelam dan tegang, tanpa seberkas sinar lampu di rumah penduduk. Yang terlihat hanyalah pancaran sinar obor di kegelapan malam.
Setelah para pembawa caru dan pengiringnya sampai ke Pura Bale Agung, malam itu juga sekitar jam 07.00 barulah digelar ”perang tanding” Terteran massal. Terteran kali ini sebagai tambahan benar-benar lebih seru dan menegangkan karena terjadi adu saling serang dari ”pasukan” dua kelompok. Melibatkan sekitar 60 orang krama laki-laki tua-muda terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok warga lingkungan Jasri Kaler versus kelompok warga lingkungan Jasri Kelod.
Atraksi Terteran digelar di medan  di sepanjang jalan raya umum tepatnya di muka Balai Masyarakat Jasri. Akibatnya jalan raya yang menghubungkan Kota Amlapura-Denpasar sementara sempat ditutup sekitar selama hampir 2 jam. Jalan alternatif diarahkan ke jalur jalan Desa Ujung Hyang dan Desa Asak.
”Medan perang” yang boleh dijelajahi kedua kelompok berhadap-hadapan arah utara-selatan, itu terpisah oleh batas wilayah kelompok, berupa bentangan daun enau yang diikatkan di dua buah penjor yang dipancangkan di sebelah barat dan timur jalan raya.
Bobok (obor) yang dipakai ngeter (melempar) itu, terbuat dari seikat danyuh (daun kelapa kering) yang  berukuran sekitar 80 cm. Di tengah  cekalan daun kelapa itu, terdapat sebatang kayu kecil berukuran seperempat dari panjangnya obor. Hal itu dimaksudkan agar lemparan obornya lebih jauh, cepat, keras dan helain daun nyiur tidak lepas terurai. Para pemainnya, orang laki-laki tua maupun muda, tidak mengenakan baju, mereka hanya mengenakan kain atau celana.
Begitu peluit tanda mulai dibunyikan oleh petugas Terteran, mereka silih berganti menyerang, obor berseliweran menyerang lawan dari atas maupun bawah, bahkan sampai membentur tubuh teman sendiri. Semburan api yang terlempar sangat indah, seperti kunang-kunang dikegelapan malam. Gerrrrr para penonton selalu bersorak-sorai mentertawakan mereka yang terkena lemparan obor, sebab bukan tidak mungkin tubuh mereka  akan terbakar paling tidak hangus. Guessss.....plak, guesss...plak, begitu suara lemparan obor menyeruak di udara. Sementara suara riuh rendah penonton terus menggema memberikan suport. Meskipun masih saudara atau tetangga satu desa mereka tidak peduli.
Seperti penuturan I Ketut Pasek Antara dan I Wayan Suma kepada penulis saat usai mengikuti sebagai ”pasukan perang” Terteran, mereka semangat sekali melakukan peperangan keringat bercucuran membasahi badannya. Meski luka bakar, rasa senang, perih dan sakit berbaur menjadi satu, namun tak mereka rasakan serius luka itu, sebab kalau sudah memegang  secekal obor pada gejolak hati peperangan itu mereka seolah-olah tak ingat apa-apa lagi. Terkadang lemparan obor tidak memenuhi sasaran sampai membentur penonton, suara riuh penonton lainnyapun pecah menertawakan penonton yang kena sasaran lemparan.
I Ketut Pasek Antara (31 tahun) warga Banjar Semadi lingkungan Jasri Kelod yang sudah sejak umur 17 tahun sudah ikut Terteran menuturkan kepada penulis, ”ya sedikit mengerikan kena lemparan obor, apalagi kena muka dan mata, kalau badan kena, sedikit perih, ya tidak apa-apa demi tradisi”. Lanjut Pasek, setiap dirinya ikut Terteran kelompoknya selalu menggunakan strategi formasi layaknya permainan sepakbola. Keseluruhan ”peperangan” berlangsung bisa mencapai sekitar 1 jam, dan berlangsung sampai tiga babak. Berakhirnya babak ke babak ditandai dengan bunyi peluit oleh petugas. Dan peperangan berakhir apabila  habisnya bara obor tersebut.
Atraksi ”perang tanding” massal Terteran bukan hanya digelar saat malam Pengerupukan saja, tetapi lagi dua harinya, pada ngembak geni (sehari setelah Nyepi), lagi digelar ”perang tanding” Terteran di tempat yang sama. Katanya memberikan kesempatan bagi penonton atau warga desa Jasri yang belum sempat menyaksikan dan ikut ”perang tanding” Terteran. Ingin menyaksikan langsung datang sekitar bulan Maret 2014.