KOMANG PASEK ANTARA

Minggu, 05 Januari 2014

Melongok Tempat Pemerosesan Akhir Sampah Mengolah Sampah Menjadi Biogas dan Minyak


Antara pencemaran lingkungan dan upaya pelestarian alam yang diakibatkan oleh sampah-sampah dua sisi menarik untuk ditelusuri dan diketahui keberadaannya. Sebagain masyarakat banyak yang tidak mengetahui dikira sampah-sampah yang mereka buang begitu saja di tong sampah atau disembarang tempat tidak akan diapa-apakan atau dibuang begitu saja di suatu tempat, justru sebaliknya dapat diolah menjadi berkah.
Terkait dengan sampah, melongok di salahsatu desa di kabupaten ujung timur, Karangasem, Bali, tepatnya di Banjar Dinas Linggasana, Desa Bhuana Giri, Kecamatan Bebandem, ada pionir-pioner orang yang berjasa dalam pencegahan kerusakan lingkungan sekaligus menjadikan tumpuan hidup mengolah sampah menjadi berkah, meskipun dengan banyak risiko dan tantangan. Di tempat itulah sejak tahun 2002 lalu  dijadikan areal tempat mengumpulkan sampah oganik dan anorganik dari limbah rumah tangga maupun industri atau yang disebut dengan TPA (Tempat Pemerosesan Akhir). Dulu tempat itu dikenal dengan nama TPA (Tempat Pembunagan Akhir). Digantinya Kata “pembuangan” menjadi “pemerosesan”, karena kata “pembuangan”.  dalam konteks sampah berkonotasi tidak berguna dan dibuang begitu saja, sedangkan sebaliknya sampah-sampah yang dikumpulkan tersebut dipilah selanjutnya sampah organik diproses menjadi kompos sebagai penyubur tanaman. Sejatinya TPA telah berdiri tahun 2000, baru beroperasi tahun 2002.
Dari kota Amlapura menuju Banjar Dinas Linggasana berjarak 10 Km menuju arah jalan naik ke utara melewati Desa Padangkerta dan desa kawasan budaya Budakeling. Mulai memasuki wilayah ke dua desa itu, akan berpapasan dengan berjejer beriringan hampir ratusan perhari truk-truk pengangkut batu dan pasir, karena Banjar Dinas Butus, tetangga sebelah utara Banjar Dinas Linggasana adalah lokasi galian golongan C. Seluruh wilayah Desa Bhuana Giri termasuk di dalamnya Banjar Dinas Linggasana adalah aliran muntahan letusan lahar Gunung Agung tahun 1963 lalu.
Memasuki areal TPA Linggasana bertepatan dengan musim penghujan beberapa hari yang lalu, penulis disambut oleh tiga orang petugas teknis yang sehari-harinya bertugas di TPA, mereka Ni Wayan Nastri, S.Sos, I Komang Sukrena dan I Dewa Putu Yasa. Luas TPA 2.195 hektar terdiri dari 332 m2 diperuntukan tempat Instalasi Pengelolaan Limbah Tinja (IPLT) dan 1.687 m2 tempat TPA sampah. Meskipun gundukan sampah tampak basah sedikit busuk, tapi areal masih menyiiratkan kesan hijau dan asri dari rerumput dan pepohonan mengitari areal TPA. Tentu sangat terbalik apabila suasana iklim musim panas, udara cukup menyengat kulit, maklum arealnya dominan bebatuan lahar diantara semak-semak belukar penuh debu.

PENGOSEK
Meskipun saat itu siang pukul 11.00, hujan rintik-rintik mulai turun membasahi bumi TPA, masih tampak para  pengosek tua-muda laki maupun perempuan masih mengerumuni onggokan sampah yang baru saja diturunkan truk-truk pengangkat sampah miliki Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Karangasem. Sebutan pengosek adalah istilah sebutan warga Banjar Linggasana, sebutan lain dari kata pemulung, karena dilakukan dengan cara  mengorek-orek.
Meskipun wajah dan pakain kumal ciri mereka saat ngosek, tetapi mereka juga memiliki lubuk hati jujur, jujur akan eksistensinya sebagai kaum golongan miskin, mau dan berani berjuang demi sesuap nasi untuk mempertahankan hidup dirinya dan keluarga, dan bukan dengan sebagai pememinta-minta.   Mereka para pengosek dengan berbekal sarana karung plastik dan kayu pengosek, berlomba-lomba sembari bergurau diantara para senasib mengais rejeki memilah dan memilih benda-benda yang tidak lagi berguna bagi pemiliknya, sebaliknya sangat berguna bagi para pengosek.
Menurut beberapa pengosek yang penulis temui diantara kesibukannya, mereka memilih benda-banda anorganik atau barang-barang rongsokan hasil industri seperti dari bahan plastik, kaleng, besi dan sejenisnya atau barang-barang rumah tangga. Sedangkan sampah organik yang dicari untuk makanan ternak babi diantaranya nasi, sayuran, daging/ikan, kue atau makanan lainnya. Sampah anorganik yang didapat mereka kumpulkan kemudian dijual kepada pegepul rongsokan yang didatangi secara berkala oleh pengepul. Sedangkan  sampah organik ada yang dipakai sendiri untuk ternaknya, atau dijual kepada warga sekitarnya untuk makanan ternak.
 Para pengosek sehari-harinya biasa mencapai 40 orang. Mereka mulai bekerja sejak pagi-pagi sampai matahari terbenam di ufuk barat, karena setiap truk pengangkut sampah mencapai dua kali angkutan pagi dan sore. Mereka telah membentuk organisasi perkumpulan yang diberi nama “Lingga Sari” diketuai I Ketut Nama dengan jumlah anggota 40 orang.  Perkumpulannya bergerak dibidang usaha simpan-pinjam.
 PROSES PENGOLAHAN SAMPAH
 Sementara para pengosek asyik dengan aktivitasnya diantara onggokan sampah, penulis ditemani oleh petugas TPA serorang ibu paruh baya Ni Wayan Nastri, S.Sos, Kepala Seksi Pengelolaan Limbah Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Karangasem, bersama stafnya I Komang Sukrena dan I Dewa Putu Yasa  mencoba melongok dari dekat di beberapa tempat disekitar areal TPA yang ada di sebelah selatan. Terdapat sebuah gedung berukuran 106,25 m2 tempat penyimpanan sampah plastik bekas pembungkus yang keliatan meluber keluar karena gedungnya telah penuh sampah plastik. Di sebelah selatannya bagian bawah, terlihat gedung berukuran 220 m2 tempat pengomposan, alat  proses pengolahan sampah organik untuk menjadi pupuk kompos. Ni Wayan Nastri, ibu dari dua anak yang baru tahun 2012 lalu ditugaskan di TPA menjelaskan proses pengolahan dan pemilihan sampah.  Sedangkan di bagian depan areal TPA terdapat beberapa kolam Naturasi dan pengeringan berbagai ukuran yang saat itu setiap kolam terlihat berisi air keruh rata-rata 50% karena air hujan. Menurut keterangan Wayan Nastri, berfungsi sebagai saluran rembesan air tinja yang ada di hulu bagian utara. Juga tampak di areal bawah di arah barat daya, disebelah selatan gundukan sampah dibuat kolam berbagai ukuran relative kecil dan besa dinamakan kolam Lindi, katanya Komang Sukrena berfungsi sebagai rembesan saluran air dari gundukan sampah.
Pemilihannya dibagi tiga. Terdiri dari barang lapak dijual seperti kardus, kertas, kaca, plastik, aneka logam dan sejenisnya, barang yang dianggap berbahaya diamankan, sedangkan sampah organik dijadikan bahan kompos. Kemudian langkah berikutnya meliputi proses: pencacahan, pencampuran dilanjutkan dengan pemupukan di atas terowongan bamboo dan disiram dengan air secukupnya memerlukan waktu 1-2 hari. Langkah berikutnya kata Wayan Nastri, pemantauan suhu membutuhkan waktu 2-4 hari. Kemudian selama memakan waktu sekitar 1 bulan adalah perlakuan berdasarkan keadaan suhu dan keadaan air. Selanjutnya pematangan kompos diperlukan waktu 14 hari, pengayakan dan pengepakan 1-2 hari. Terakhir adalah pemasaran. Menurut Wayan Nastri hasil kompos dari TPA belum dijual ke masyarakat. “Banyak dari instansi pemerintah dan sekolah di Karangasem memanfaatkan kompos produk TPA Linggasana untuk menyubur tanaman termasuk tanaman yang dikelola DKP,” ujar Wayan Nastri. Dari psoses pengolahan sampah telah meghasilkan kompos sekitar 3,6 ton setiap bulan.

MENGOLAH SAMPAH MENJADI MINYAK
Menurut keterangan I Komang Sukrena, volume sampah yang masuk ke TPA pertahun 2012 lalu mencapai 40.601 m3, berarti rata-rata perbulan 3.338,42 m3. Lanjut Sukrena, jumlah truk pengangkut sampah di TPA perhari rata-rata 18 truk. Tentang sumber daya manusia, di TPA Linggasana sehari-harinya bertugas 18 orang dengan berbagai tugas dari administrasi sampai teknis. Bahkan menurut I Dewa Putu Yasa, beberapa petugas setiap hari masuk tanpa hari libur, kecuali hari Nyepi. Guna meminimalisasi bau sampah dan lalat yang dapat mengganggu lingkungan, digunakan sisten control landfill, yaitu penutupan sampah dengan tanah urug secara berkala dan penyemprotan cairan EM4.
Kepala DKP Kabupaten Karangasem, I Made Suama, SH, MSi, mengatakan di ruang kerjanya, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengurangi pencemaran limbah plastik, Kebijakan Pemkab Karangasem melalui DKP, jenis plastik pembungkus  yang dikumpulkan oleh masyarakat akan dibeli oleh Pemkab Karangasem melalui subsidi 1 kg seharga Rp 2000, kemudian dijual kepada pemulung seharga Rp 400. Bukti kepedulian masyarakat terhadap bahaya sampah plastik di Karangasem, ada organisasi adat di Banjar Purwayu, Kecamatan Abang, Karangasem, tepatnya di kaki Pura Bukit Lempuyang, masalah sampah masuk dalam awig-awig yang menghendaki setiap sangkepan wajib membawa sampah plastik.
Menurut Suama, berbagai upaya telah dilakukannya mengurangi dampak polusi sampah menjadikan berkah melalui program penagkapan gas metan yang dihasilkan oleh sampah menjadi bio gas. Tahun 2014 ini pihaknya, memprogramkan pengelolaan sampah plastik yang mengandung bahan almunium voil menghasilkan minyak setara dengan minyak solar, dibawah satu tingkat dari solar atau satu tingkat dari minyak tanah.

MENEMUKAN EMAS DAN TUSUK PAKU
Selain pengelolaan teknis sampah TPA, ada sisi lain yang sangat menarik untuk ditelusuri. Mereka para wanita Ni Wayan Merta (40), Ni Luh Tama (70) adalah pionir-pionir pengosek yang tidak boleh termarginalkan, dia sejak ada TPA turut andil membantu mencegah kerusakan lingkungan. Diantara mereka adalah sosok laki-laki I Nengah Merta 40 tahun. Berbincang-bincang dengan penulis di sela-sela kesibukannya. Dia adalah salah seorang dari puluhan pengosek di TPA Linggasana, sejak pagi sampai matahari membenamkan matanya di ufuk barat mengais rejeki mencari sesuap nasi diantara gundukan bau amis berbagai jenis kotoran sampah. Hujan dan terik panasnya alam Linggasana tak menyurutkan perjuangan Mertha, mereka  berpacu mengadu nasib. Mertha melakoni profesi pengosek sejak lima tahun lalu bersama  putri semata wayangnya Ni Wayan Susanti yang kini masih duduk dibangku kelas I SMK Pariwisata di salah satu sekolah swasta di Karangasem. Sejak ditinggal istri karena cerai beberapa tahun lalu, Mertha harus kerja keras mempertahankan hidup untuk makan dan meyekolahkan anak sampai tamat. Pulang sekolah Susanti ikut berbaur dengan wanita pengosek-pengosek lainnya. Menurut ceritera Mertha, dulu semasih dirinya muda sekitar tahun 1990-an, dia adalah seorang pekerja keras, pernah  bekerja diperusahaan pengiriman sapi sampai ke ibu kota Jakarta. “Sekarang tidak ada pekerjaan lain yang saya bisa kerjakan karena tidak ada sawah-ladang yang dikerjakan,” katanya Mertha pasrah. Rata-rata perhari dari hasil ngosek  Mertha hanya mendapatkan penghasilan 20 ribu rupiah dari jualan rongsokan dan sisa-sisa makanan ternak. Suka-duka menjadi pengosek di gundukan sampah, Mertha pernah mendapatkan uang  100 ribu rupiah di dalam amplop dan emas 3,5 gram. Dukanya sudah menjadi risiko bagi Mertha dkk pengosek lainnya. Dia pernah kakinya tertusuk paku dan katik sate meskipun pakai sepatu. “Tiang sempat dua bulan istirahat sakit tidak bekerja,” katanya Mertha sembari mengisap rokoknya dalam-dalam mengenang nasibnya. Bagi Mertha dkk adalah dengan kesederhanaannya pengabdi untuk lingkungan. Dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah Karangasem, akan diharapkan kebersihan, keasrian lingkungan alamnya menuai prestasi Adipura Kencana tahun 2014, dimana sebelumnya baru memperoleh Adipura enam kali berturut-turut  tahun 2007-2012. (Pasek Antara)

Ni Ketut Ayu Mertha Sari, Berprestasi Bidang Sastra Dikira Orang Gila


Bagi Ni Ketut Ayu Mertha Sari, kelahiran Desa Jasri, Kecamatan Karangasem, 12 Agustus 1991 mengegeluti seni sastra dan bahasa Bali adalah kegemarannya sejak masih kanak-kanak umur sembilan tahun. Dari hobinya dan kepiawainnya itu, akhirnya mendulang beberapa predikat juara dari lomba yang diikuti baik di tingkat lokal regional maupun nasional. Prestasi yang telah digondolnya itu sampai memasuki usia dewasa seperti sekarang ini. Maklum kepiawainnya bidang sastra Bali, Tut Ayu, demikian sapaan akrabnya, anak keempat dari lima bersaudara, mengalir dari  kedua orang taunya.  Ayahnya I Ketut Labek (alm), dulu adalah guru bahasa Bali dan Kepala sekolah SMPN 1 Amlapura, sedangkan ibunya Ida Ayu Nyoman Oka Murniasih, kini guru SDN 1 Subagan, Kecamatan Karangasem.  Guna mendalami hobinya lebih jauh, Tut Ayu melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Agama Hindu Amlapura jurusan Bahasa Bali, dan kini sudah menduduki bangku kuliah semester VIII. Dan lag-lagi di bangku kuliah prestasinya kembali terajut beberapa kali meraih juara tingkat propinsi bahkan sampai nasional.
            Apa saja prestasinya hingga di pergurun tinggi sekarang? Menurut penuturan Tut Ayu ditemui di tempat tugasnya di Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Karangasem. Di mulai meraih juara I Lomba membaca sloka tahun 2010 lalu dalam kegiatan Temu Karya Ilmiah (TKI) yang diselenggarakan di Ibukota Jakarta tepatnya di Hotel Red Top. Juga kegiatan yang sama TKI lomba Palewakya tingkat perguruan tinggi agama Hindu se-Indonesia tahun 2013 diselenggarakan di Palangkaraya, Kalimantan, dirinya hanya meraih juara II. Diajang tahunan Pesta Kesenian Bali tahun 2011 lalu.  Tut Ayu menyabet juara I. Dengan beberapa predikat juara  tingkat nasional itu, mengantar dirinya selama kuliah sampai tamat tanpa biaya alias gratis, memperoleh beasiswa dari Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI dan Kopertis Wilayah VIII Bali, NTB dan NTT.
            Dan menurut Tut Ayu,  tahun 2014 mendatang rencananya dirinya lagi akan ikut dikirim oleh almamaternya mengikuti lomba Palewakye tingkat nasional berpasangan dengan kakak kandungnya Ni Kadek Ayu Paramandani yang sama-sama kuliah di STKIP Agama Hindu Amlapura.
            Kilas balik prestasi  telah direnggutnya sejak masih duduk di bangku  sekolah dasar. Diawali umur 9 tahun sudah mampu mendapatkan juara I lomba Geguritan dan baca puisi tingkat Kecamatan Karangasem. Selanjutnya ketika sekolah di tingkat SMP, alumnus SMPN 2 Amlapura dan SMAN 1 Amlapura itu, menuturkan saat lomba di tingkat sekolah SMPN 2 Amlapura tahun 2006, dirinya merengkuh juara I Mesatua Bali dalam rangka Bulan Bahasa. Juga, saat dirinya menjadi siswa SMAN  kembali meraih juara I dibidang Baca Puisi Bali dalam rangka HUT SMAN 1 Selat, Kecamatan selat.
            Katanya Tut Ayu, meskipun kini telah berkeluarga sejak Oktober beberapa bulan lalu dipersunting pemuda pujaannya, I Gusti Ngurah Gd. Aryawan, STT Par, tinggal di Jalan Sudirman Amlapura, Kelurahan Subagan, Kecamatan Karangasem, dirinya akan terus melakoni dan meningkatkan hobinya tersebut, apalagi keluarga suami saya juga banyak yang menggeluti seni. “kelak nanti tamat kuliah saya ingin menjadi guru bahasa dan sastra Bali, karena dalam sastra Bali, banyak terkandung nilai-nilai filosofi, agama/spiritual, pendidikan, ilmu pengetahuan, etika sor singgih dan pengetahuan lainnya,” ujar Tut Ayu. Sementara ini, dirinya hanya baru mengajar bahasa dan sastra bali di Pasraman Dukuh, Desa Padangkerta, Kecamatan Karangasem.
            Ditanya tentang animo anak-anak belajar bahasa dan sastra Bali, “seiring dengan maraknya perkembangan teknologi media sekarang ini, ana-anak sekarang perlu diimbangi diberikan penambahan pendidikan bahasa dan satra Bali agar bahasa Bali tidak lenyap, karena anak-anak lebih senang beralih menikmati asyiknya media modern,” tambah Tut Ayu.
            Keberhasilan menuai prestasi Tut Ayu dibidang sastra dan bahasa Bali, bukan saja mengalir begitu saja dari orang tua, tetapi dia harus kerja keras belajar dan belajar. Khusus melatih kualitas vocal suara, dirinya tak segan-segan berlatih dengan terapi di tempat lapang yang luas di pinggir pantai dan perbukitan, katanya agar suaranya lepas dan bebas. Karena kesendiriannya apalagi seorang gadis waktu itu belajar melatih vocal di tepi pantai Jasri dekat rumah masih wilayah desanya, para nelayan di pantai mengira Tut Ayu orang gila. “saya dikira orang gila ngomong keras-keras sendiri, tetapi setelah diberi penjelasan bapak nelayan malah ketawa,” kenang Tut Ayu ketawa cekikikan. Selain belajar nyastra dari orang tua dan kampus, Tut Ayu juga banyak belajar dari seniornya  Ibu Ida Ayu Ebayanti dari Desa Kubu, Kecamatan Kubu. Dengan sepeda motor dirinya kerap menyambangi sang guru Ibu Ida Ayu Ebayanti untuk belajar, meskipun jarak antara rumahnya di Desa Jasri  dengan Desa Kubu sekitar 30 km. Tak pelak  pengalaman pahit pernah dirasakan saat meluncur ke rumah Ibu Dayu, ban sepeda motornya pecah di jalan dan motornya juga mengalami kehabisan bensin. Dengan ketawa Tut Ayu mengenang perjalananya, “masih ada untung tukang tambal ban dan kios bensin dekat tempat kejadian”. (Komang Pasek Antara)
           

Ni Nyoman Budiartini, Penyebar Informasi Keliling di Jalan


Mobil informasi keliling berwarna putih jenis mini bus yang dikenal dengan nama Mobil Koling di Karangasem sering kelihatan lalu-lalang di jalan di Karangasem diiringi suara musik melalui pengeras suara dan pesan-pesan yang disampaikan oleh seseorang.
            Siapa sosok yang berbicara menyampaikan pesan  dibalik mobil koling itu?. Dia adalah sosok wanita bernama Ni Nyoman Budiartini, S.Sos, MAP, namun ia oleh teman-temannya kerap dipanggil dengan  nama Geseng. Ditemui di tempat tugasnya, Kepala Seksi Pengolahan Informasi Publik pada Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Karangasem itu, sehari-hari tugasnya keliling bicara di jalan dengan mobil kolingnya dari satu tempat ke tempat lainnya menyebarluaskan informasi kegiatan pembangunan publik yang hendak diketahui masyarakat.
            Melalui mobil koling yang dikelola Diskominfo Kabupaten Karangasem itu, berbagai pesan pembangunan dapat disampaikan ke seluruh wilayah Karangasem termasuk ke pelosok-pelosok desa terpencil. Diantaranya informasi yang disampaikan tentang kesehatan, bahaya sampah plastik, kegiatan upacara agama dan informasi pembangunan lainnya. Ketika wabah penyakit demam berdarah dan jenis penyakit lainnya melanda sebagian masyarakat Indonesia, mobil koling cepat turun tampil menyampaikan pesan bagaimana sikap masyarakat dalam mencegah dan menaggulangi penyakit tersebut. Juga akhir-akhir ini memasuki musim penghujan  dengan mobil kolingnya, Budiartini sibuk terus turun ke jalan  mensosialisasikan simulasi penanggulangan bencana alam kepada masyarakat di beberapa wilayah pesisir pantai di Karangasem.
            Apa yang diperankan olehnya bagian implementasi dari pendidikan yang disandangnya S1 jurusan komunikasi. Materi informasi yang disampaikan umumnya permintaan dari berbagai instansi pemerintah/swasta.             Menurut Budiartini, dirinya telah melakoni tugas bercuap-cuap di mobil sejak 2011 lalu sejak mulai pertama bertugas di instansi tersebut.
            Vocal suara keras nan menggelagar adalah cirinya. Ibu muda dari dua anak  suami dari I Ketut Wira Sukarwa, karyawan PT PLN (Persero) P3B Jawa Bali APP Bali, Budiartini mengaku, sangat senang dan puas apabila materi informasi yang disampaikan diterima dan ditindaklanjuti oleh masyarakat yang mendengar. “Banyak pendengar menyampaikan ucapan terima kasih kepada dirinya atas informasi yang disampaikan, karena melalui mobil koling mereka tahu berbagai informasi,” kata Budiartini. Dia harus mempersiapkan minimal sehari sebelumnya membaca dan memahami materi informasi yang akan disampaikan ke publik, agar tidak kaku dan terkesan membaca naskah.
            Selain bertugas koling, ia kerap ditugaskan pimpinannya ikut menjadi presenter dialog interaktif dengan beberapa narasumber di beberapa stasiun  radio di Amlapura. Ibu kelahiran 1976 lalu, karier PNS-nya diawali sebagai staf Bagian Humas Protokol Setda Karangasem tahun 2006, dan kini telah menyandang gelar S2 Magister Administrasi Publik.
            Dibalik suara Budiartini menyampaikan pesan-pesan positif sudah sejak dua tahun lalu kepada masyarakat melalui mobil koling, bukan tanpa pengalaman pahit pernah dimaki dan dilempari oleh oknum. Ceritera Budiartini, kejadian tidak mengenakan ketika beberapa bulan lalu koling menyampaikan informasi kepada para pedagang Pasar Amlapura yang sedang direnovasi agar mau pindah ke Pasar Karang Sokong, Subagan, karena para pedagang meluber ke terminal mengganggu tempat parkir kendaraan. Saat itu dia ada dalam mobil koling dilempari sayur-sayuran oleh pedagang yang kesal diminta pindah. Melihat peristiwa itu,  buru-buru dia bersama sang sopir menutup kaca pintu mobil menghindari amukan pedagang. Ceritera pahit lain lagi, saat menyampaikan informasi tertib lalu-lintas, dia dimaki-maki oleh para pengendara yang sedang memarkir kendaraan sepeda motornya di trotoar. Selain lemparan dan makian yang pernah dialami Budiartini, pernah suatu saat koling di wilayah pedesaan yang rumah masyarakatnya jauh dari jalan dan terpencar-pencar, ketika itu dia kehabisan air minum, pedagang nyaris tidak ada, kerongkongan kering, sedangkan dia harus ngomong sedikit keras agar pesan-pesan yang disampaikan didengar oleh warga masyarakat dari kejauhan. “Pengalaman itu mesti pahit namun manis untuk dikenang, dan saya ejoy saja melakukan tugas hingga sekarang meski ada tantangan”, tutur Budiartini sebari tertawa mengenang kisahnya. “Saya belum apa-apa, masih banyak harus dipelajari, instansi/masyarakat menginginkan informasi disebarkan ke masyarakat dan masyarakat butuh informasi saya layani,” katanya Budiartini.
            Kilas balik perjalanan hidupnya, Budiartini lahir di Desa Tumbu Kelod, Kecamatan Karangasem dan kini tinggal di wilayah Perumnas Amlapura. Tamat SMAN 1 Amlapura tahun 1994, kemudian melanjutkan kuliah S1 di Fakultas Komunikasi jurusan komunikasi Universitas Dwijendra Denpasar tamat tahun 1999, sedangkan S2 tamat tahun 2010 di Universias Ngurah Rai Denpasar. Sejak masa sekolah dan kuliah dirinya sudah aktif organisasi, akrif di senat mahasiswa, menjadi anggota PMR, Pramuka, pembaca puisi dan pemain basket. Di organisasi kewanitaan tempat suaminya kini bekerja, Budiartini pernah dipercayakan sebagai Ketua Bidang Pendidikan PIP (Persatuan Ibu-ibu PLN). (Pasek Antara)