KOMANG PASEK ANTARA

Senin, 28 Februari 2011

PURI AGUNG KARANGASEM SEBAGAI PUSAT BUDAYA KERAJAAN KARANGASEM

Bale Kambang Puri Agung Karangasem
Puri Agung Karangasem yang juga disebut Puri Kanginan  sudah sejak lama dijadikan sebagai daya tarik wisata budaya, banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung ketempat itu, karena terdapat beberapa produk budaya peninggalan para Raja Karangasem, cuma masih diperlukan rancangan pembenahan dan penambahan benda– benda koleksi peninggalan para raja budaya agar lebih menarik.
Apa yang menarik Puri Agung Karangasem?
            Memasuki gerbang di jaba pisan (halaman pertama/depan)  kori agung Puri Agung Karangasem, aroma suasana magis-religius masih terasa tampak. Tembok-tembok tebal tinggi masih tampak kokoh dan utuh,  tanaman dan pohon-pohon besar seperti pohon tua leci memberikan nuansa sejuk nan nyaman.
            Puri Agung Karangasem  yang terletak di Jalan Sultan Agung Amlapura, dari aspek sejarahnya adalah pusat pemerintahan Kerajaan Karangasem sejak abad ke–19 dibawah pemerintahan Raja I Anak Agung Gede Jelantik. Tercatat raja terakhir pemegang tahta kerajaan Karangasem adalah Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem.
Kerajaan Karangasem pernah memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Pulau Lombok, sehingga banyak masyarakat Karangasem sampai kini masih bermukim di Lombok.
Demikian halnya dengan bangunan–bangunan tempat peristirahatan Raja Karangasem di lombok yang kini telah dijadikan obyek wisata terkenal.
 Dengan demikian tidak mengherankan di Puri Agung Karangasem banyak memiliki catatan–catatan sejarah budaya emas yang sampai kini dapat kita nikmati meskipun tidak secara utuh, yakni berupa bangunan, peralatan rumah tangga dan dokumen sejarah.
            Kini, di Puri Agung Karangasem oleh para pewarisnya sejak beberapa tahun lalu tempat tersebut telah dicanangkan sebagai museum hidup (life museum) yang berisi segala aktivitas kehidupan keluarga puri.
            Dijadikannya Puri Agung Karangasem sebagai life museum, kiranya dapat dibangkitkan lagi sejalan dengan program pemerintah tahun 2010 dibidang museum melalui Visit  Museum Year  (Tahun Kunjungan Museum)

Bali, Eropa dan Cina
          Di Puri Agung Karangasem terdapat beberapa bangunannya berarsitek kombinasi antara Bali dan Eropa yang masih terlihat utuh. Dan yang menarik nama–nama kota yang ada di Eropah, dijadikan nama beberapa tempat di Puri yakni: Maskerdam dan Londen (Amsterdam dan London).
Pemberian nama itu, oleh sesepuh puri anak agung Ketut Karang diberikan oleh raja Belanda, Wilhelmina yang pernah berkunjung ke puri sebagai bukti pernah terjalin hubungan antara kedua raja.


            Sebagai sebuah museum dan obyek wisata, keluarga puri perlahan–lahan menata puri Maskerdam baik kelestarian tamannya maupun pengumpulan kembali benda–benda peninggalan milik raja dulu. Sampai kini benda tersebut telah tertata rapi di beberapa ruangan untuk dinikmati oleh para pengunjung, antara lain: ranjang tempat tidur, almari pakaian, satu set kursi tamu spon warna putih dengan meja beralaskan marmer pemberian dari Raja Wilhelmina, meja/cermin hias, foto-foto: keluarga raja puri, raja dari Jawa dan Belanda, lukisan, dan beberapa benda sejarah lainnya.
            Di dalam areal puri Agung terdapat beberapa bangunan dan pemandangan yang indah dan menyejukkan antara lain Balai Kambang (Gili) berada di tengah-tengah kolam yang dihubungkan dengan jembatan dibuat oleh orang Cina dengan gaya arsitektur Cina. Dulu tempat itu berfungsi sebagai tempat rapat keluarga dan upacara adat. Di bagian timur terdapat Balai Ekalange, tempat tinggal penganten baru, dan masih banyak lagi bangunan lain tempat kegiatan para keluarga raja.

            Puri Gede Karangasem
            Selain Puri Agung Karangasem, di Puri Gede Karangasem masih dalam satu keluarga besar puri yang lokasinya bersebarangan (di depan/sebelah baratnya) Puri Agung, juga masih menyimpan banda-benda budaya pusaka.
Pengelingsir Puri Gede Karangasem Anak Agung Bagus Ngurah Agung, S.H. MH. menjadikannya Puri Gede juga sebagai obeyek wisata dan wadah aktivitas budaya masyarakat. Pihaknya membuka seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menggunakan puri sebagai tempat aktivitas soaial budaya. Kini masyarakat dapat menyaksikan langsung latihan/aktivitas budaya yakni: Yoga Ananda Marga (Selasa, Kamis dan Minggu), seni tari, senin tabuh wanita,  fashion show, olah vocal dan kegiatan budaya insidentil lainnya seperti: ceramah agama/budaya, pameran keris dan permata, pengobatan gratis, pembagian kaca mata gratis.
Kini Puri Gede sudah menjadi obyek daya tarik wisatawan, Banyak wisatawan domistik/asing memanfaatkan pasilitas Puri Gede untuk keperluan resepsi/upacara. Anak Agung Bagus Ngurah Agung, S.H. MH. sebagai pewaris tahta Puri Gede banyak menyimpan benda-benda adi luhung peninggalan warisan budaya dari penglingsir Puri Gede jaman kerajaan dulu, diantaranya koleksi yang paling menonjol adalah keris pusaka. Beberapa keris bertuah yang dikeramatkan disimpan disana dan sewaktu-waktu dipamerkan kepada publik.
Bahkan sebagai fungsi sosial di Puri Gede Karangasem telah mendirikan Pasraman membina 13 orang anak ramaja dari beberapa desa di Kabupaten Karangasem. Mereka sambil sekolah di SMA wajib belajar agama, spritual dan budaya yang dibimbing seorang pembimbing spritual.
           
Pusat Budaya
            Tentu kita bersyukur dengan telah dicanagkannya Puri Agung Karangasem sebagai museum hidup sekaligus sebagai pusat sejarah budaya Karangasem, meskipun masih memerlukan pembenahan disana-sini dengan dana yang besar, karena membangun sebuah museum tidak seperti mendirikan sebuah rumah tempat tinggal.
Mendirikan museum harus dilengkapi gedung yang memadai, petugas jaga/pengelola, perawatan dan yang paling penting materi koleksi yang tidak murah harganya bahkan sangat sulit mencari.
            Jika benda koleksi dari peninggalan Raja sulit di dapat untuk melengkapi museum tersebut, solusinya mungkin dapat diisi dengan benda-benda sejarah budaya lainnya khas Karangasem dengan cara melibatkan pihak lain, pemerintah atau swasta yang peduli terhadap benda bernilai budaya.
            Pemerintah Kabupaten Karangasem dengan semangat otonomi daerah tampaknya bisa diajak menjalin mitra kerja untuk pelestarian nilai-nilai budaya bangsa mengingat terdapat lembaga yang menangani soal budaya (sejarah purbakala) yaitu Dinas Budaya Pariwisata Karangasem. Lembaga inilah dapat diharapkan bisa membina sekaligus membantu secara bertahap dalam pengisian materi koleksi museum.
            Jika mitra kerja ini terjalin adalah sebuah kebangkitan kembali nilai-nilai budaya sejarah lokal Karangasem ratusan tahun lalu muncul kembali kepermukaan. Bagaimana pun baik buruknya sebuah sejarah sangat perlu diketahui oleh masyarakat pendukungnya.
            Dengan adanya museum di Puri Agung dengan koleksi yang memadai, para generasi muda Karangasem khususnya, tahu cara nyata perjalanan sejarah di Karangasem, dan bukan melihat sejarah Karangasem dari luar, serta tidak lagi mendengar satwa (ceritera) dari orang tuanya saja mengingat rata-rata generasi muda Karangasem belum tahu banyak sejarah daerahnya.
            Dengan demikian Puri Agung Karangasem akan lebih ramai dikunjungi oleh masyarakat budaya pendukungnya (Karangasem) baik pelajar maupun masyarakat umum, mengingat kunjungan ke puri agung lebih banyak wisatawan mancanegara.
Dan nantinya diharapkan para guru disekolah mengajak anak didiknya berkunjung ke Museum Puri Agung. Sampai sesepuh Puri Kanginan yang juga  Prof dr Anak Agung Putra  dalam suatu kesempatan mengatakan, pihaknya membuka diri selebar-lebarnya kepada masyarakat agar Puri Agung dipakai sebagai tempat aktivitas budaya.
            Mendirikan museum bukan semata-mata untuk menyimpan benda-benda purbakala seperti dugaan masyarakat awam, tetapi lebih dari itu memiliki peranan seperti: a) pusat dokumentasi, b) pusat penyaluran ilmu untuk umum, c) pusat peningkatan apresiasi budaya, d) pusat perkenalan budaya antar daerah dan antar bangsa, e) sumber inspirasi, f) obyek pariwisata, g) media pendidikan / pembinaan sejarah alam dan ilmu pengetahuan budaya, i) cermin sejarah dan alam kebudayaan.
            Dissi lain diharapkan adanya museum, benda-benda budaya warisan nenek moyang kita tidak salah lagi jatuh ketangan kolektor asing berduit. Sebaliknya bisa bergerak hatinya menyerahkan benda-benda purbakala miliknya kemuseum melalui titipan hibah, maupun ganti rugi.
            Memang, menyelamatkan benda-benda sejarah tidak harus mendirikan museum. Tetapi menyelamatkan benda dengan cara menyimpan dirumah tidaklah menjamin seratus persen terhindar dari kerusakan fisik dan pencurian, mengingat akhir-akhir ini di bali sering terjadi pencurian barang-barang sejarah.
 Jika disimpan di museum akan terhindar dari segala keamanan, karena tempat itu sudah tersedia sarana keamanannya. Semoga.

Penulis tinggal di Amlapura

MENGENAL ANEKA TARIKH DALAM PENYUSUNAN KALENDER BALI


       Oleh I Komang Pasek Antara

            Setiap menjelang pergantian tahun, khususnya bagi umat Hindu di Bali, kalender menjadi suatu kebutuhan, karena semua aktivitas hidup sehari–hari sekala (dunia yata) dan niskala (upacara agama) berpedoman pada kalender Bali.     Berbicara lebih dalam tentang kalender (penanggalan), tentu akan menemukan istilah Tarikh (bahasa arab), yaitu perhitungan tentang tanggal, bulan dan tahun. Dan istilah tersebut banyak orang belum mengenal.
Menurut penyusunan kalender  Bali, I Wayan Gina, asal Desa Galiran, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Bali, secara garis besar Tarikh dapat dibedakan menjadi dua jenis : Trikh surya (matahari) yang disebut solar system, dan satu tahunnya berumur 365/366 hari, sesuai dengan waktu yang diperlukan bumi untuk sekali mengedari matahari (365 hari + 5jam + 48 menit + 46 detik).
            Tarikh Candra (bulan), disebut juga lunar system yang dalam setahun umurnya 354/355 hari terdiri dari 12 bulan yang umur bulan–bulannya sesuai dengan waktu yang diperlukan bulan untuk sekali mengedari bumi (29 hari+12 jam+44 menit+9 detik).
Satu tahun candra adalah 354 hari+8 jam+49 menit+48 detik). Tarikh yang dikenal terdiri dari berbagai macam yakni: Tarikh Saka (Bali), Tarikh Tenganan (Desa Tenganan), Tarik Masehi, Tarikh Arab, Tarikh Jawa dan Tarikh Imlek.
 Tarikh tersebut kata Wayan Gina, dapat digunakan sebagai bahan dalam penyusunan Kalender.
Tahun Saka (Bali)
            Setiap Hari Raya Nyepi di Bali mengalami pergantian tahun Saka, atau dengan kata lain Tahun Saka (Bali) berakhir pada Tilem Kesanga atau bulan kesembilan, dan tahun barunya dimulai penanggalan 1 sasih Kadasa atau bulan kesepuluh.         Bulan Pebruari ini terhitung Saka 1931.
I Wayan Gina yang telah menyusun kalender sejak tahun 1950 dalam bukunya ”Aneka Tarik” menyebutkan, Tarikh Saka (Isakawarsa) diciptakan pada tahun 78 M oleh Maharaja Kaneskha dari suku bangsa Saka atau Scyth, berasal dari utara negara Iran dan Afganistan, yaitu raja terkenal yang pernah menguasai sebagian besar India Utara dan India Barat.
 Isakawarsa diciptakan untuk memperingati kejayaan dan kebesaran Maharaja Kaneskha, sebagaimana halnya Kaisar Glorius pada zaman keemasan Romawi menciptakan Tarikh Masehi untuk memperingati pengobatannya.
            Dalam Kala Warta.No 1/KW/1961, awalnya perhitungan Tarikh Saka dibawa ke jawa (Indonesia) oleh Sri Aji Saka. Tarikh itu digunakan di Jawa dengan Kedatangan Agama Islam pada tahun 1555 Saka, tepatnya tanggal 8 Juli 1633, kemudian dirubah/diteruskan dengan perhitungan Tarikh Candra seperti Tarikh Jawa yang ada sekarang. Di Bali Tarikh Saka tidak dilakukan perubahan, tetap berpedoman dengan Tarikh Surya.
            Majalah ”Sinar Agama” Juli 195, hal 17, menyebutkan lain, tahun Saka itu menjadi peringatan bagi kita,waktu Sri Aji Saka mulai menyebarkan ajaran Agama Hindu di Indonesia setekah tahun 78 M berakhir.
            I Wayan Gina, pensiunan pegawai Departemen Pendidikan Kebudayaan Kabupaten Karangasem, sekarang Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Karangasem ,berpendapat lain. Ia lebih cenderung mengatakan, bahwa Tarikh Saka dimulai setelah tahun 78 M, sebab kata Gina, selisih bilangan tahun saka adalah 78 (tanggal 1 Kadasa sampai dengan 31 Desember) dan atau 79 (1 Januari sampai Tilem Kesanga).
Wayan Gina, mengutip kalender Wuku Dwadasi Saka Warsa, halaman 3, menyebutkan pada hari Minggu tanggal 21 Maret 1979, Purnama Vaisakha mengumumkan, tarikh baru yang diberi nama Saka untuk mengenang kejayaannya. Tarikh ini berlaku mulai pukul 00.00 tanggal 22 Maret 1979. 
            Tarikh Saka yang berkembang di Bali samapai sekarang adalah tarikh Candra yang disesuaikan dengan Tarikh surya, terdiri dari 12 jenis bulan (sasih) dari Desta sampai Sada. Umur bulan–bulanannya tidak tetap, berkisar antara 29 dan 30 hari, berdasarkan tabel pengalihan Purnama – Tilem.
            Tahun Saka (Bali) berakhir pada Tilem Kesanga atau bulan ke–9, karena angka 9 (Kesanga) tersebut bernilai paling tinggi dan telah mencapai akhir .dan ada bulan ke–9 matahari berkedudukan di atas garis khatulistiwa (Iswayana) dalam perjalanan menuju utara (Utarayana).

Purnama Temu Tilem
            Desa Tenganan Pegringsingan, salah satu Desa Bali Age yang ada di Kabupaten Karangasem, Bali memiliki penanggalan (Tarikh Tenganan) tersendiri, karena terkait dengan kegiatan upacara keagamaan di desa yang memiliki keunikan budaya itu.
            Tarikh Tenganan memiliki ’keanehan”, karena pada suatu saat terjadi purnama (bulan terang) nemu (bertemu) tilem (bulan mati), atau sebaliknya tilem nemu purnama. Kejadian tersebut dapat terjadi namun waktunya sangat lama, paling cepat setelah kurang lebih 18 tahun.
 Menurut  I Wayan Gina yang kini usianya telah sepuh, kejadian Purnama nemu Tilem atau sebaliknya tidak aneh. Beda antara bulan (candra) sebagai satelit bumi dengan bulan sebagai bagian dari tahun. Purnama yang dimaksud disini, bulan sebagai bagian dari tahun sudah sempurrna keadaannya atau disebut nedeng. Bukan berarti bulan (candra) sebagai satelit bumi itu nampaknya sempurna (bulat penuh). Kenapa Purnama (nedeng) dinyatakan setiap tanggal 15, sebab umur bulannya pada umumnya 30 hari.

Penulis  PNS Diskominfo Kab. Karangasem, Bali

MENGENAL ANEKA TARIKH DALAM PENYUSUNAN KALENDER BALI

PELAKSANAAN UPACARA USABA SAMBAH DI SENGKIDU UMAT TIGA HARI TIDAK BOLEH MEMAKAI ALAS KAKI

Upacara Sambah di Desa Sengkidu
 Oleh Komang Pasek Antara

Masyarakat di Desa Pekraman Sengkidu, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem dalam melaksanakan kegiatan ritual rutin setiap tahun yaitu upacara Usaba Sambah dilaksanakan setiap rainan (hari raya) Purnama Sasih Kelima di Pura Puseh Desa Sengkidu, yaitu salah satu upacara terbesar di Desa Sengkidu. Upacaranya cukup unik dan menarik.  Semua kramanya (anggota) penyungsung (pendukung) upacara tersebut tidak diperkenankan memakai alas kaki, baik sandal maupun sepatu saat masuk areal Pura Puseh tempat terselenggaranya upacara, kecuali anak kecil yang masih dalam gendongan orangtuanya.

  Larangan pemakaian alas kaki tersebut menurut Prajuru Desa Pakraman Sengkidu I Nyoman Rintha,    berlangsung selama tiga hari dari enam prosesi upacara yang digelar yakni pada  upacara Penampahan, Pengeramen dan Penyuud. Enam prosesi upacara tersebut adalah Usaba Melis, Penyujukan, Penampahan, Pengeramen, Penyuud dan Nyimpen. Tahun 2011 ini upacara Usaba Sambah akan digelar pada tanggal 10 Nopember mendatang.

Pantangan pemakaian alas kaki itu berlaku terkait dengan acara Daratan. Daratan atau dikenal dengan istilah Wewalen yaitu seorang laki-laki tua-muda mengenakan kain dengan saput poleng (warna hitam putih) mesingset ginting (ujung kain terbalut ke belakang) tanpa mengenakan baju, mengalami kesurupan sekuat tenaga menusuk-nusuk dan menebas-nebas badannya dengan sebilah keris sembari mondar-mandir di areal Pura. Suasananya sedikit tegang, ngeri, melihat keris ditusukkan ke badannya sendiri tanpa rasa takut dan ragu. Aneh, unik dan ajaibnya badan yang ditusuk-tusuk berkali-kali tidak mengalami luka sedikitpun.

Ngurek dilakukan oleh sekitar 30-an orang laki-laki tua maupun muda.  Pada saat itu, apabila ada para pemedek (umat) yang memakai alas kaki masuk ke Pura Puseh meskipun tersembunyi, akan diketahui dan dicari oleh Wewalen.  Pemedek yang dicari itu, merasa takut diumpreng oleh Wewalen, dan ditertawai/disoraki oleh pemedek lainnya.  Tidak ada sangsi atau hukuman bagi yang mengenakan alas kaki,  hanya yang bersangkutan harus menanggung malu menjadi sorotan pemedek lainnya.

            Saat acara ritual Wewalen dimulai, Pura Puseh yang luas arelnya sekitar 20–an are itu dipenuhi para pemedek wilayah Desa Pakraman Sengkidu dan pemedek luar Desa Sengkidu yakni penyugsung Ida Betara di Pura Petung (Desa Pesedahan), Pura Mandira dan Pura Dause Desa Padangkerta. 

            Meskipun larangan pemakaian alas kaki hanya berlaku saat masuk Pura Puseh, tetapi para pemedek lebih banyak tidak mengenakan alas kaki dari rumah. Para kaum wanitanya, ibu-ibu dan para gadisnya khusunya masyarakat Sengkidu yang biasanya mengenakan berbagai jenis sandal hak tinggi saat sembahyang, terpaksa harus rela tanpa alas kaki.  Sebaliknya, bagi pemedek yang tidak biasa jalan kaki tanpa alas kaki atau rumahnya relatif jauh dari Pura, mereka akan menitipkan alas kakinya di rumah warga di lingkungan pura.
           
            Kenapa dilarang mengenakan ala kaki?  Menurut I Ketut Lipet Widiantara,S.Ag. Prajuru Desa Pekraman Sengkidu yang juga Kepala Sekolah SMP Dharma Kirti Sengkidu, larangan tersebut telah dilaksanakan sejak dulu, dan tidak ada yang tahu kapan mulai larangan itu berlaku.  Mungkin filosofinya adalah simbol bentuk bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa mohon kesehatan dan keselamatan.       Yaitu telapak kaki langsung menyatu dengan unsur pertiwi (tanah) yang merupakan bagian dari unsur Panca Maha Butha untuk memperoleh kesehatan dan keselamatan, karena tanah mengandung muatan listrik atau seperti pijat refleksi.

            Lokasi Pura Puseh Desa Sengkidu cukup strategis dipinggir jalan raya Amlapura – Klungkung dan berada di areal kawasan Candidasa dan sekitar 5 Km dari obeyak wisata Tenganan Pegringsingan.  Banyak wisatawan mancanegara yang kebetulan mengunjungi Candidasa menikmati proses ritual unik itu. Wisatawan-pun tidak diperkenankan memakai alas kaki.

            Pekarangan Rumah Menghadap ke Selatan.
            Lagi uniknya di Desa Sengkidu yang didukung tiga Banjar Pakraman itu, menurut penuturan I Ketut Lipet, mengutip ceritera orang-tua-tua jaman dulu di desanya, konon jaman dahulu pintu pekarangan rumah penduduk desa Sengkidu umumnya menghadap ke arah Selatan (laut), sehingga desa tersebut diberi nama Sengkidu. Sengkidu terdiri dari dua suku kata Seng dan KiduSeng asal kata Song (pintu pekarangan rumah) dan Kidu asal kata Kidul (arah selatan). Filosofinya pekarangan menghadap ke teben (selatan)  otomatis hulu ada di arah utara tempat Gunung Agung gunung tertinggi yang di sucikan oleh Umat Hindu.
            Kini sesuai perkembangan penduduk yang semakin pesat di Desa Sengkidu struktur pola pekarangannya ikut berubah sesuai keadaan tempat yang tersedia.
                                                            Penulis, Pegawai Diskominfo Kab. Karangasem