KOMANG PASEK ANTARA

Senin, 28 Februari 2011

PELAKSANAAN UPACARA USABA SAMBAH DI SENGKIDU UMAT TIGA HARI TIDAK BOLEH MEMAKAI ALAS KAKI

Upacara Sambah di Desa Sengkidu
 Oleh Komang Pasek Antara

Masyarakat di Desa Pekraman Sengkidu, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem dalam melaksanakan kegiatan ritual rutin setiap tahun yaitu upacara Usaba Sambah dilaksanakan setiap rainan (hari raya) Purnama Sasih Kelima di Pura Puseh Desa Sengkidu, yaitu salah satu upacara terbesar di Desa Sengkidu. Upacaranya cukup unik dan menarik.  Semua kramanya (anggota) penyungsung (pendukung) upacara tersebut tidak diperkenankan memakai alas kaki, baik sandal maupun sepatu saat masuk areal Pura Puseh tempat terselenggaranya upacara, kecuali anak kecil yang masih dalam gendongan orangtuanya.

  Larangan pemakaian alas kaki tersebut menurut Prajuru Desa Pakraman Sengkidu I Nyoman Rintha,    berlangsung selama tiga hari dari enam prosesi upacara yang digelar yakni pada  upacara Penampahan, Pengeramen dan Penyuud. Enam prosesi upacara tersebut adalah Usaba Melis, Penyujukan, Penampahan, Pengeramen, Penyuud dan Nyimpen. Tahun 2011 ini upacara Usaba Sambah akan digelar pada tanggal 10 Nopember mendatang.

Pantangan pemakaian alas kaki itu berlaku terkait dengan acara Daratan. Daratan atau dikenal dengan istilah Wewalen yaitu seorang laki-laki tua-muda mengenakan kain dengan saput poleng (warna hitam putih) mesingset ginting (ujung kain terbalut ke belakang) tanpa mengenakan baju, mengalami kesurupan sekuat tenaga menusuk-nusuk dan menebas-nebas badannya dengan sebilah keris sembari mondar-mandir di areal Pura. Suasananya sedikit tegang, ngeri, melihat keris ditusukkan ke badannya sendiri tanpa rasa takut dan ragu. Aneh, unik dan ajaibnya badan yang ditusuk-tusuk berkali-kali tidak mengalami luka sedikitpun.

Ngurek dilakukan oleh sekitar 30-an orang laki-laki tua maupun muda.  Pada saat itu, apabila ada para pemedek (umat) yang memakai alas kaki masuk ke Pura Puseh meskipun tersembunyi, akan diketahui dan dicari oleh Wewalen.  Pemedek yang dicari itu, merasa takut diumpreng oleh Wewalen, dan ditertawai/disoraki oleh pemedek lainnya.  Tidak ada sangsi atau hukuman bagi yang mengenakan alas kaki,  hanya yang bersangkutan harus menanggung malu menjadi sorotan pemedek lainnya.

            Saat acara ritual Wewalen dimulai, Pura Puseh yang luas arelnya sekitar 20–an are itu dipenuhi para pemedek wilayah Desa Pakraman Sengkidu dan pemedek luar Desa Sengkidu yakni penyugsung Ida Betara di Pura Petung (Desa Pesedahan), Pura Mandira dan Pura Dause Desa Padangkerta. 

            Meskipun larangan pemakaian alas kaki hanya berlaku saat masuk Pura Puseh, tetapi para pemedek lebih banyak tidak mengenakan alas kaki dari rumah. Para kaum wanitanya, ibu-ibu dan para gadisnya khusunya masyarakat Sengkidu yang biasanya mengenakan berbagai jenis sandal hak tinggi saat sembahyang, terpaksa harus rela tanpa alas kaki.  Sebaliknya, bagi pemedek yang tidak biasa jalan kaki tanpa alas kaki atau rumahnya relatif jauh dari Pura, mereka akan menitipkan alas kakinya di rumah warga di lingkungan pura.
           
            Kenapa dilarang mengenakan ala kaki?  Menurut I Ketut Lipet Widiantara,S.Ag. Prajuru Desa Pekraman Sengkidu yang juga Kepala Sekolah SMP Dharma Kirti Sengkidu, larangan tersebut telah dilaksanakan sejak dulu, dan tidak ada yang tahu kapan mulai larangan itu berlaku.  Mungkin filosofinya adalah simbol bentuk bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa mohon kesehatan dan keselamatan.       Yaitu telapak kaki langsung menyatu dengan unsur pertiwi (tanah) yang merupakan bagian dari unsur Panca Maha Butha untuk memperoleh kesehatan dan keselamatan, karena tanah mengandung muatan listrik atau seperti pijat refleksi.

            Lokasi Pura Puseh Desa Sengkidu cukup strategis dipinggir jalan raya Amlapura – Klungkung dan berada di areal kawasan Candidasa dan sekitar 5 Km dari obeyak wisata Tenganan Pegringsingan.  Banyak wisatawan mancanegara yang kebetulan mengunjungi Candidasa menikmati proses ritual unik itu. Wisatawan-pun tidak diperkenankan memakai alas kaki.

            Pekarangan Rumah Menghadap ke Selatan.
            Lagi uniknya di Desa Sengkidu yang didukung tiga Banjar Pakraman itu, menurut penuturan I Ketut Lipet, mengutip ceritera orang-tua-tua jaman dulu di desanya, konon jaman dahulu pintu pekarangan rumah penduduk desa Sengkidu umumnya menghadap ke arah Selatan (laut), sehingga desa tersebut diberi nama Sengkidu. Sengkidu terdiri dari dua suku kata Seng dan KiduSeng asal kata Song (pintu pekarangan rumah) dan Kidu asal kata Kidul (arah selatan). Filosofinya pekarangan menghadap ke teben (selatan)  otomatis hulu ada di arah utara tempat Gunung Agung gunung tertinggi yang di sucikan oleh Umat Hindu.
            Kini sesuai perkembangan penduduk yang semakin pesat di Desa Sengkidu struktur pola pekarangannya ikut berubah sesuai keadaan tempat yang tersedia.
                                                            Penulis, Pegawai Diskominfo Kab. Karangasem

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda