KOMANG PASEK ANTARA

Kamis, 09 Juli 2020

Perpustakaan sebagai Pusat Budaya Bagsa Mewujudkan “SDM Unggul, Indonesia Maju” Penulis, I Komang Pasek Antara


 
Tanggal 17 Mei 2020 belum lama ini, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Jakarta genap berusia 40 tahun atau 5 windu. Ada sisi menarik perlu dicernati dari tema hari ulang tahun Perpusnas tahun ini, “Perpustakaan sebagai Pusat Budaya Bangsa”. Melihat realitas perkembangan bangsa Indonesia memasuki era globalisasi, tema ini cukup relevan.
 Tampaknya, ada empat unsur yang menjadi fokus landasan menghilhami makna tema yang baru muncul tahun itu, yakni kondisi sosial badai Covid-19 yang melanda dunia, dan dua produk hukum meliputi Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan dan produk hukum masih anyar, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Mengapa tema ini baru muncul?
 Kesatu, nuansa tema tersebut, pemerintah dalam hal ini Perpusnas, mengajak semua masyarakat ditengah badai sosial tidak menyenagkan karena badai Covid-19, masyarakat tetap dapat beraktivitas, salah satunya belajar di rumah. Masyarakat diimbau tidak boleh keluar rumah jika tidak terlalu urgen sekali. Jika masyarakat membutuhkan media informasi melalui cetakan buku, tidak perlu harus ke luar rumah menuju toko buku. Kini, telah benyak perpusatakaan pemerintah/swasta menyediakan perpustakaan digital, layanan baca buku melalui daring/online, misal iPusnas milik Perpusnas.
Berbagai jenis/klasifikasi koleksi buku hasil produk budaya bangsa ada di perpustakaan, diantarnya filsafat/psikologi, agama, ilmu soial, bahasa, pengetahuan sains, teknologi, kesenian/rekreasi, sastra, dan sejarah/geografi. Artinya, tepat perpustakaan sebagai pusat budaya bangsa. Hal itu diperkuat lagi sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 13 Tahun 2018, tentang Serah Simpan karya Cetak dan Karya Rekam, yaitu, perpustakaan memiliki tugas dan fungsi untuk menghimpun dan melestarikan khazanah intelektual bangsa, berupa berbagai karya cetak dan karya rekam.
Kedua. Nuansa tema tersebut mengingatkan kepada masyarakat Indonesia, jujur, bahwa, selama ini sebagain besar masyarakat kita di Indonesia lebih banyak mengenal perpustakaan lembaga tempat layanan baca dan pinjam koleksi karya cetak berupa buku saja, padahal bukan jenis itu saja yang dilayankan, masih ada produk layanan lainnya, yakni karya rekam, sarana teknologi informasi dan layanan edukasi non formal lainnya.
Jenis koleksi lainnya yang dimaksud belum banyak publik tahu, salahsatunya karya rekam, seperti tersebut di atas. Mengacu Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, Pasal 1, menyatakan, perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Sedangkan, koleksi perpustakaan adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan yang dihimpun, diolah dan dilayankan.
Hampir semua jenis perpustakaan di Indonesia memiliki selain koleksi karya cetak, juga  koleksi karya rekam dari berbagai jenis bidang tertentu, diantaranya seni sastra dan budaya daerah setempat, tekonologi, pendidikan dan dispilin ilmu ainnya. Hal tersebut mengacu Keputusan Kepala Perpustakaan RI tentang Standar Perpustakaan sesuai jenisnya. Namun, lagi sekali, masyarakat belum banyak tahu perpustakaan menyediakan layanan koleksi  karya rekam.
Juga, diperjelas lagi, “Perpustakaan sebagai Budaya Bangsa” mengacu undang-undang yang baru lahir, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, bahwa, karya cetak dan karya rekam yang merupakan hasil produk budaya bangsa, memiliki peran penting sebagai salah satu tolok ukur kemajuan intelektual bangsa, referensi dalam bidang pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan penyebaran informasi, dan pelestarian kebudayaan nasional, serta merupakan alat telusur terhadap catatan sejarah, jejak perubahan, dan perkembangan bangsa untuk pembangunan dan kepentingan nasional. Dengan tema ini, mengingatkan kembali masyarakat, bahwa, perpustakaan sebagi pusat budaya bangsa.
Uraian di atas memberikan gambaran, bahwa tema 40 tahun Perpusnas RI ‘Perpustakaan sebagai Pusat Budaya” telah memiliki landasan hukum formal mendasar dan kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.  Hal tersebut, lebih mudah mewjudkan harapan Pemerintah Republik Indonesia “SDM Unggul, Indonesia Maju”. Kini dan kedepan perpustakaan menjadi instrumen suatu negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsanya.
Permasalahan di lapangan, masih banyak masyarakat kita belum mengetahui undang-undang anyar teresebut. Juga, masyarakat masih banyak belum mengetahui, bahwa perpustakaan memiliki koleksi karya rekam. Karena itu, “pekerjaan rumah” bagi pemerintah utamanya dan dibantu steakholder dan masyarakat, turutserta mensosialisasikan undang-undang tersebut kepada seluruh lapisan masyarakat. Melalui momentum 40 tahun Perpusnas, sekaligus mensosialisasikan menjadikan masyarakat memahami kembali perpustakaan sebagai pusat budaya bangsa.
Ketiga. Ada persoalan menarik mencermati Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Menariknya, dalam pasal 4 dan 5 undang-undang tersebut menyatakan, bahwa setiap penerbit dan produsen, wajib menyerahkan 1-2 hasil  karya cetak dan rekam kepada Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Provinsi setempat disimpan sebagai koleksi.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam tersebut, belum melibatkan peranserta Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota milik pemerintah daerah setempat sebagai tempat menyimpan karya rekam produk budaya bangsa.
Argumentasinya, mungkin Perpusnas berfungsi diantaranya sebagai perpustakaan deposit, sedangkan, Perpustakaan Provinsi mengacu struktur pemerintahan, pemerintah provinsi adalah perwakilan pemerintah pusat.
Sebuah renungan bersama!. Hendakmya, Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota yang ada di wilayah tempat karya cetak/rekam itu diproduksi juga dilibatkan dalam kewajiban serah terima karya cetak/rekam dari penerbit/produsen ke Perpustakaan Kabupaten/Kota setempat, sehingga eksistensi Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota akan lebih eksis dikenal oleh masyarakat. Masyarakat/pemustaka di daerah tidak lagi jauh-jauh mendatangi Perpustakaan Provinsi melihat/mendengar karya cetak/rekam dimaksud. Ironi, bukan tidak mungkin, bahwa ada anggapan masyarakat, produk cetak/rekam seni budaya daerahnya sendiri (local genius) yang diproduksi di wilayah kabupaten/kotanya, tidak disimpan di Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota, justru ada di Perpustakaan Nasional/Provinsi saja.
Belum diakomodirnya Perpustakaan Kabupaten/Kota dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Solusinya, kebijakan pimpinan daerah kabupaten/kota, mengimbau melalui tertulis, agar penerbit/produser atau perseorangan yang ada di wilayahnya, agar meyerahkan 1-2 hasil karya cetak/rekamnya di Perpustakaan Kabupaten/Kota di wilayahnya.
Harapan, Perpustakaan Kabupaten/Kota termasuk didalamnya ikut sebagai pusat budaya bangsa sesuai tema 40 tahun Perpusnas, sejalan dengan dan sambutan Kepala Perpusnas RI, Muhammad Syarif Bando dalam agenda 40 tahun Perpustakaan Nasional RI: “Peran Perpustakaan Sebagai Pusat Budaya Bangsa, berdiri di atas dua pijakan kokoh. Pijakan pertama, perpustakaan memiliki tugas dan fungsi untuk menghimpun dan melestarikan khazanah intelektual bangsa, berupa berbagai karya cetak dan karya rekam, sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 13 Tahun 2018, tentang Serah Simpan karya Cetak dan Karya Rekam. Pijakan kedua, perpustakaan memliki tugas dan fungsi dalam rangka pemanfaatan berbagai karya cetak dan karya rekam sebagai khazanah intelektual bangsa, melalui diseminasi, transformasi, layanan baca, pengkajian, pengemasan informasi dan penyediaan akses secara luas bagi masyarakat, sesuai amanat Undang-undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan.”
Keempat. Terbitnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, dan ditetapkannya tema “Perpustakaan sebagai Pusat Budaya Bangsa”, akan memperoleh vibrasi positif terhadap khususnya lembaga perpustakaan Indonesia dimasa depan, dan bangsa Indonesia pada umumnya. Artinya, perpustakaan menjadi idola, refrensi bagi masyarakat/pemustaka ketika mereka membutuhkan dalam mengisi proses kehidupan jasmani dan rohaninya. Di perpustakaan menjadi sentra media penyimpan, informasi, pelestari, penelitian, pengkajian budaya bangsa.
Juga, regulasi karya serah terima karya cetak/rekam memberikan motivasi bagi penggiat literasi budaya perseorangan mapun organisasi menyerahkan sebagain salinan hasil karyanya di perpustakaan. Bagi mereka,  menyerahkan salinan karya/produknya ke perpustakaan, menjamin karyanya tersimpan dan dilestarikan dengan baikdan daapat diakses oleh masyarakat.
Kini, mejandi perhatian semua pemangku kepentingan, adanya politik anggaran dari pimpinan pusat dan daerah serta masyarakat untuk mengiplementasikan kedua  undang-undang teresebut di atas, Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.
Perpustakaan di kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan dan sekolah, masih butuh perjuangan agar memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Kepususan Kepala Perepustakaan Nasional RI. Dengan demikian, “SDM Unggul, Indonesia Maju” yang menjadi harapan Pemerintah Indonesia, semoga cepat terwujud. Dirgahayu Perpusnas RI!
Penulis, Pustakawan pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kab. Karangasem