Perpustakaan sebagai Pusat Budaya Bagsa Mewujudkan “SDM Unggul, Indonesia Maju” Penulis, I Komang Pasek Antara
Tanggal
17 Mei 2020 belum lama ini, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Jakarta genap
berusia 40 tahun atau 5 windu. Ada sisi menarik perlu dicernati dari tema hari
ulang tahun Perpusnas tahun ini, “Perpustakaan sebagai Pusat Budaya Bangsa”.
Melihat realitas perkembangan bangsa Indonesia memasuki era globalisasi, tema
ini cukup relevan.
Tampaknya, ada empat unsur yang menjadi fokus
landasan menghilhami makna tema yang baru muncul tahun itu, yakni kondisi
sosial badai Covid-19 yang melanda dunia, dan dua produk hukum meliputi
Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan dan produk hukum masih anyar,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya
Cetak dan Karya Rekam. Mengapa tema ini baru muncul?
Kesatu, nuansa tema tersebut,
pemerintah dalam hal ini Perpusnas, mengajak semua masyarakat ditengah badai
sosial tidak menyenagkan karena badai Covid-19, masyarakat tetap dapat beraktivitas,
salah satunya belajar di rumah. Masyarakat diimbau tidak boleh keluar rumah
jika tidak terlalu urgen sekali. Jika masyarakat membutuhkan media informasi
melalui cetakan buku, tidak perlu harus ke luar rumah menuju toko buku. Kini, telah
benyak perpusatakaan pemerintah/swasta menyediakan perpustakaan digital, layanan
baca buku melalui daring/online, misal iPusnas milik Perpusnas.
Berbagai
jenis/klasifikasi koleksi buku hasil produk budaya bangsa ada di perpustakaan,
diantarnya filsafat/psikologi, agama, ilmu soial, bahasa, pengetahuan sains,
teknologi, kesenian/rekreasi, sastra, dan sejarah/geografi. Artinya, tepat
perpustakaan sebagai pusat budaya bangsa. Hal itu diperkuat lagi sesuai dengan
amanat Undang-undang Nomor 13 Tahun 2018, tentang Serah Simpan karya Cetak dan
Karya Rekam, yaitu, perpustakaan memiliki tugas dan fungsi untuk menghimpun dan
melestarikan khazanah intelektual bangsa, berupa berbagai karya cetak dan karya
rekam.
Kedua. Nuansa tema tersebut mengingatkan
kepada masyarakat Indonesia, jujur, bahwa, selama ini sebagain besar masyarakat
kita di Indonesia lebih banyak mengenal perpustakaan lembaga tempat layanan
baca dan pinjam koleksi karya cetak berupa buku saja, padahal bukan jenis itu
saja yang dilayankan, masih ada produk layanan lainnya, yakni karya rekam,
sarana teknologi informasi dan layanan edukasi non formal lainnya.
Jenis
koleksi lainnya yang dimaksud belum banyak publik tahu, salahsatunya karya
rekam, seperti tersebut di atas. Mengacu Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007
tentang Perpustakaan, Pasal 1, menyatakan, perpustakaan adalah institusi
pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional
dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian,
pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Sedangkan, koleksi
perpustakaan adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak,
dan/atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan yang
dihimpun, diolah dan dilayankan.
Hampir
semua jenis perpustakaan di Indonesia memiliki selain koleksi karya cetak,
juga koleksi karya rekam dari berbagai
jenis bidang tertentu, diantaranya seni sastra dan budaya daerah setempat,
tekonologi, pendidikan dan dispilin ilmu ainnya. Hal tersebut mengacu Keputusan
Kepala Perpustakaan RI tentang Standar Perpustakaan sesuai jenisnya. Namun,
lagi sekali, masyarakat belum banyak tahu perpustakaan menyediakan layanan
koleksi karya rekam.
Juga,
diperjelas lagi, “Perpustakaan sebagai Budaya Bangsa” mengacu undang-undang
yang baru lahir, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang
Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, bahwa, karya cetak dan karya rekam
yang merupakan hasil produk budaya bangsa, memiliki peran penting sebagai salah
satu tolok ukur kemajuan intelektual bangsa, referensi dalam bidang pendidikan,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan penyebaran
informasi, dan pelestarian kebudayaan nasional, serta merupakan alat telusur
terhadap catatan sejarah, jejak perubahan, dan perkembangan bangsa untuk
pembangunan dan kepentingan nasional. Dengan tema ini, mengingatkan kembali
masyarakat, bahwa, perpustakaan sebagi pusat budaya bangsa.
Uraian
di atas memberikan gambaran, bahwa tema 40 tahun Perpusnas RI ‘Perpustakaan
sebagai Pusat Budaya” telah memiliki landasan hukum formal mendasar dan kuat,
yaitu Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan dan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan
Karya Rekam. Hal tersebut, lebih mudah mewjudkan
harapan Pemerintah Republik Indonesia “SDM Unggul, Indonesia Maju”. Kini dan
kedepan perpustakaan menjadi instrumen suatu negara dalam mencerdaskan kehidupan
bangsanya.
Permasalahan
di lapangan, masih banyak masyarakat kita belum mengetahui undang-undang anyar
teresebut. Juga, masyarakat masih banyak belum mengetahui, bahwa perpustakaan
memiliki koleksi karya rekam. Karena itu, “pekerjaan rumah” bagi pemerintah
utamanya dan dibantu steakholder dan masyarakat, turutserta
mensosialisasikan undang-undang tersebut kepada seluruh lapisan masyarakat.
Melalui momentum 40 tahun Perpusnas, sekaligus mensosialisasikan menjadikan
masyarakat memahami kembali perpustakaan sebagai pusat budaya bangsa.
Ketiga.
Ada persoalan
menarik mencermati Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.
Menariknya, dalam pasal 4 dan 5 undang-undang tersebut menyatakan, bahwa setiap
penerbit dan produsen, wajib menyerahkan 1-2 hasil karya cetak dan rekam kepada Perpustakaan
Nasional dan Perpustakaan Provinsi setempat disimpan sebagai koleksi.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan
Karya Rekam tersebut, belum melibatkan peranserta Perpustakaan Umum
Kabupaten/Kota milik pemerintah daerah setempat sebagai tempat menyimpan karya
rekam produk budaya bangsa.
Argumentasinya,
mungkin Perpusnas berfungsi diantaranya sebagai perpustakaan deposit,
sedangkan, Perpustakaan Provinsi mengacu struktur pemerintahan, pemerintah
provinsi adalah perwakilan pemerintah pusat.
Sebuah
renungan bersama!. Hendakmya, Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota yang ada di wilayah
tempat karya cetak/rekam itu diproduksi juga dilibatkan dalam kewajiban serah
terima karya cetak/rekam dari penerbit/produsen ke Perpustakaan Kabupaten/Kota
setempat, sehingga eksistensi Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota akan lebih eksis
dikenal oleh masyarakat. Masyarakat/pemustaka di daerah tidak lagi jauh-jauh
mendatangi Perpustakaan Provinsi melihat/mendengar karya cetak/rekam dimaksud.
Ironi, bukan tidak mungkin, bahwa ada anggapan masyarakat, produk cetak/rekam
seni budaya daerahnya sendiri (local genius) yang diproduksi di wilayah
kabupaten/kotanya, tidak disimpan di Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota, justru
ada di Perpustakaan Nasional/Provinsi saja.
Belum
diakomodirnya Perpustakaan Kabupaten/Kota dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.
Solusinya, kebijakan pimpinan daerah kabupaten/kota, mengimbau melalui
tertulis, agar penerbit/produser atau perseorangan yang ada di wilayahnya, agar
meyerahkan 1-2 hasil karya cetak/rekamnya di Perpustakaan Kabupaten/Kota di
wilayahnya.
Harapan,
Perpustakaan Kabupaten/Kota termasuk didalamnya ikut sebagai pusat budaya
bangsa sesuai tema 40 tahun Perpusnas, sejalan dengan dan sambutan Kepala
Perpusnas RI, Muhammad Syarif Bando dalam agenda 40 tahun Perpustakaan Nasional
RI: “Peran Perpustakaan Sebagai Pusat Budaya Bangsa, berdiri di atas dua
pijakan kokoh. Pijakan pertama, perpustakaan memiliki tugas dan fungsi untuk
menghimpun dan melestarikan khazanah intelektual bangsa, berupa berbagai karya
cetak dan karya rekam, sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 13 Tahun 2018,
tentang Serah Simpan karya Cetak dan Karya Rekam. Pijakan kedua, perpustakaan
memliki tugas dan fungsi dalam rangka pemanfaatan berbagai karya cetak dan karya
rekam sebagai khazanah intelektual bangsa, melalui diseminasi, transformasi,
layanan baca, pengkajian, pengemasan informasi dan penyediaan akses secara luas
bagi masyarakat, sesuai amanat Undang-undang Nomor 43 tahun 2007 tentang
Perpustakaan.”
Keempat.
Terbitnya Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan
Karya Rekam, dan ditetapkannya tema “Perpustakaan sebagai Pusat Budaya Bangsa”,
akan memperoleh vibrasi positif terhadap khususnya lembaga perpustakaan Indonesia
dimasa depan, dan bangsa Indonesia pada umumnya. Artinya, perpustakaan menjadi idola,
refrensi bagi masyarakat/pemustaka ketika mereka membutuhkan dalam mengisi proses
kehidupan jasmani dan rohaninya. Di perpustakaan menjadi sentra media
penyimpan, informasi, pelestari, penelitian, pengkajian budaya bangsa.
Juga, regulasi
karya serah terima karya cetak/rekam memberikan motivasi bagi penggiat literasi
budaya perseorangan mapun organisasi menyerahkan sebagain salinan hasil
karyanya di perpustakaan. Bagi mereka, menyerahkan salinan karya/produknya ke
perpustakaan, menjamin karyanya tersimpan dan dilestarikan dengan baikdan
daapat diakses oleh masyarakat.
Kini, mejandi
perhatian semua pemangku kepentingan, adanya politik anggaran dari pimpinan
pusat dan daerah serta masyarakat untuk mengiplementasikan kedua undang-undang teresebut di atas,
Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan dan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.
Perpustakaan
di kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan dan sekolah, masih butuh perjuangan
agar memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Kepususan Kepala Perepustakaan
Nasional RI. Dengan demikian, “SDM Unggul, Indonesia Maju” yang menjadi harapan
Pemerintah Indonesia, semoga cepat terwujud. Dirgahayu Perpusnas RI!
Penulis,
Pustakawan pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kab. Karangasem