Parade Budaya Karangasem Seribu Peserta dari Delapan Kecamatan Tampil Memukau Penonton Penulis: I Komang Pasek Antara
Kabupaten Karangasem meskipun berada di sebagian wilayah
geografisnya kering, tapi aktivitas potensi agama/budayanya tak pernah kering, justru sebaliknya
hidup subur di seluruh pelosok desa. Karena hampir setiap ritual kegamaan Hindu
masyarakatnya selalu menampilkan seni budaya sebagai pendukung ritual keagamaan
tersebut. Seni budaya tersebut kini masih hidup dan telah menjadi tradisi
masyarakat turun-temurun meskipun era moderenisasi dan globalisasi sudah
menyeruak melanda hampir kesemua lini kehidupan masyarakat Bali. Kekayaan dan kesuburan seni budaya yang
dimiliki dan hidup di seantero wilayah Kabupaten Karangasem ditampilkan
langsung dihadapan masyarakatnya yang dikemas dalam kegiatan Parade Budaya
Karangasem beberapa hari yang lalu, Selasa, 6 Agustus 2013 di Amlapura dalam
rangka memeriahkan HUT Kemerdekaan RI ke-68, HUT Propinsi Bali ke-55, dan HUT
Kota Amlapura ke-43.
Parade Budaya Karangasem sangat
memukau penonton, menampilkan seribu orang peserta/pendamping, memperagakan potensi seni budaya yang tumbuh
dan menjadi milik warga masyarakat di
seluruh (8) kecamatan yang ada di Kabupaten Karangasem. Berbagai wujud seni
budaya ditampilkannya yang satu dengan lainnya memiliki ciri khas berbeda-beda:
unik/khas dan inovatif.
Penonton masyarakat Karangasem antusias
tumpah ruah sepanjang jalan Kota Amlapura menyaksikan Parade Budaya Karangasem.
Parade tesebut tak bedanya seperti Pawai Pesta Kesenian Bali yang setiap tahun
digelar.
Panggung kehormatan yang didirikan di sisi timur
lapangan Yowana Wijaya Amlapura, Jalan Untung Surapati, penuh penonton
berdesak-desakan, karena di tempat itu
peserta parade wajib menampilkan prosesi seni budaya yang ditampilkan. Dan
terasa lebih marak dan merasuk lagi dikalbu para penonton ketika
narator yang begitu semangat membacakan narasi Parade Budaya dari masing-masing peserta
kecamatan yang sebagian penulis kutif dalam tulisan ini.
Hadir menyaksikan di panggung
kehormatan pejabat Pemkab Karangasem yakni Bupati Karangasem I Wayan Geredeg,
SH, M.AP dan Wakil Bupati Karangasem I Made Sukerana, SH, masing-masing
berserta Ibu, Ketua DPRD Karangasem I Gede Dana, SPd, MSi. FKPD dan jajaran Pemkab Karangasem.
Satu jam sebelum Parade Budaya
digelar tepatnya pkul 13.00 Wita, masyarakat penonton sudah memadati sepanjang
jalan rute parade yang telah steril
dari kendaraan di Jalan Untung Surapati (Start
GOR Gunung Agung Amlapura) sampai ke Jalan Sudirman (depan SMPN 2 Amlapura) dan
Jalan Gatot Subroto (finish depan SDN
1 Karangasem). Berikut jalannya Parade Budaya Karangasem.
Marching Band Universitas Udayana
Denpasar di bawah Ketua Unitnya, Windusadu Anantaya sebagai peserta partisipasi
mengawali parade budaya mendapat antusias penonton dengan gerakan-gerakan dan
lagu-lagunya yang menggema. Marching Band dengan personil 54 orang itu mempersembahkan
beberapa lagu: Mars Karangasem, Lembayung Bali dan Satu Nusa Satu Bangsa
Mapekanal
(Pernikahan)
Kecamatan Rendang yang menjadi
wilayah terjauh dari kota Amlapura menjadi awal pembuka prosesi peserta parade
dengan kekuatan menampilkan pesertanya
88 orang dalam wujud tradisi Mepekanal
(Pernikahan).
Mepekanal
merupakan salah satu bagian dari upacara pawiwahan (perkawinan)
terdapat di Desa Pakraman Pemuteran, Desa Pempatan Kecamatan
Rendang. Rangkaiannya
ritualnya, setiap upacara pawiwahan
dilakukan upacara pebiyehkaonan dan mekalalaan. Wajib orang yang melaksanakan pawiwahan tersebut menyiapkan atau menyerahkan seekor sapi atau
banteng sebagai tanda pembayaran mepekanal
kepada Bendesa Adat yang disaksikan oleh seluruh krama
desa dan prajuru desa.
Dampak
uniknya ritual ini, apabila penyerahan banteng
tersebut tidak dilaksanakan maka cemer
atau sebel pada sang mawiwahe (sang mempelai).
Sang mawiwaha
dan akan dikucilkan oleh krama desa adat dan tidak boleh atau dilarang melakukan bakti atau persembahyangan ke Pura Tri Kayangan (Puseh, Dalem
dan Bale Agung).
Sapi tersebut dipotong di Pura Desa sebagai persembahan serta di bagi-bagi kepada seluruh
anggota/warga Desa Pakraman Pemuteran. Setelah itu barulah sang mawiwaha boleh melakukan aktivitas atau ngayah
serta melakukan persembahyangan ke Pura Tri Kayangan.
Ngelawang
Disusul kemudian parade peserta
berkekuatan 64 seniman dari Kecamatan Sidemen, wilayah yang terkenal dengan
kain songketnya menampilkan pragmen aktivitas ritual Ngelawang:
“Nyomeo Sang Durga Bucari”.
Diceriterakan: Raja Astina Pura (Sang Rama) akan menggelar yadnya: Meupa Ayu Bumi, dengan dasar yadnya:
Upacara Caru Brumbunan.
Dikisahkan: Kapi Raja Sugriwa
telah menerima perintah dari Raja Rama, agar mempersiapkan semua peralatan
upakara. Maka Sugriwa mengangkat Hanoman menjadi manggalaning pelaksanaan yadnya,
yang dibantu oleh para were beserta
segenap rakyat Astina Pura. Tiba waktunya pelaksanaan yadnya akan dilaksanakan.
Wetugangga diiringi punakawan Werdah datang mempersiapkan dan langsung
menata tatanan upekara pecaruan, dan
yang lainnya telah siap kiranya digelar. Tiba-tiba datang tamu yang tak dikenal
berwujud angker dan beringas mendekati upakara pecaruan, Wetugangga tersentak
lalu mencegatnya, karena Wetugangga berfikir raksasa tersebut akan merusak
tatanan upacara, raksasa tersebut tersinggung, perkelahian pun
terjadi antara Wetugangga dengan sang tamu yang berwujud raksasa tersebut.
Mereka sama digjaya sama kuatnya yang membuat punakanwan Werdah terheran siapa
tamu yang datang ini, Werdah langsung lari bertemu dengan sang Hanoman,
melaporkan kejadian tersebut. Mendengar laporan Werdah, Hanoman beserta para
Punggawa Astina Pura termasuk Kapi Raja Sugriwa turun ketempat digelarnya upacara yadnya yang mana sedang ada keributan antara Wetugangga dengan tamu
yang tak dikenalnya, yang diiringi dua punakawannya, Delem dan Sangut.
Setiba
Hanoman di tempat peperangan, langsung mengamati gerak gerik raksasa tersebut,
tersamar-samar di dengar Sabda dari
Betari Durga oleh Hanoman, bahwa yang berkelahi dengan Wetugangga adalah utusan
Betari Durga, bernama Sang Durga Bucari, agar datang ke pegelaran yadnya,
sebagai upesaksi Betari. Dengan adanya sabda Betari Durga, Hanoman bergegas
melerai peperangan mereka, dan mengajak Sang Durga Bucari menghadap Kapi Raja
Sugriwa, mendengar penjelasan Hanoman, bahwa Sang Durga Bucari utusan Betari
Durga, Kapi Raja Sugriwa mempersilahkan Durga Bucari menyantap pecaruan
tersebut, dan sudikiranya Someo agar keadaan alam semesta damai, tentram, dan
sejahtera.
Perang Tulamben
Tari Baris Gede dan kisah peperangan
“Biyote Tulamben” yang dikemas dalam wujud gerak tari di tampilkan oleh Kecamatan
Kubu, wilayah kering bebatuan bagian utara Karangasem berkekuatan 85 orang
seniman dengan peñata tari Jero Mangku Ketut Bingin Berikut ringkasan ceritera
“Biyote Tulamben”.
Disuatu hari warga Desa Tulamben mengusung upacara Dewa Yadnya di pesisir pantai setempat.Ketika
rangkaian upacara telah usai mereka menggelar sebuah acara yang lazim disebut
“Tabuh Rah” dalam bentuk sabungan ayam yang bermuatan toh atau taruhan menang
dan kalah.
Kebetulan saat itu para pelaut dari pulau Makasar
tepatnya juragan Kampung Bugis sedang berlayar melewati tapal batas laut
Tulamben.
Bersama gulungan ombak yang memecah ditepian, pandangan
mata para juragan terbawa oleh riak gelombang untuk mendapat secercah hiburan. Pucuk dicinta ulampun tiba, ketika pandangan mereka
bersandar di
satu tempat mereka melihat acara adu ayam yang memang
menjadi permainan idolanya.
Lalu juragan kampung Bugis membeli ayam aduan pada warga
setempat sembari mengadunya dengan taruhan sebagai berikut: apabila ayam aduan warga Tulamben yang menang, maka seisi
kapal milik juragan (emas, intan, berlian dan harta benda lainnya) menjadi
milik warga Tulamben. Tetapi kalau
ayam aduan milik juragan yang menang maka warga Tulamben rela menyerahkan
sebuah batu besar yang bercokol ditempat upacara digelar.
Ternyata ayam aduan milik juragan yang menang, akan
tetapi dasar untung tak dapat diraih, malangpun tak bisa di tolak, warga Tulamben mengelak dan mengingkari
janjinya.Seperti mencari serpihan mutiara yang retak dari seorang pande besi,
kedua belah pihak tidak mendapatkan apa-apa bahkan terjadi tindakan arnarkis
diantara mereka.
Juragan kampung Bugis meletup letupkan laras senapannya
dan membelah batu besar yang seharusnya telah menjadi miliknya.
Suasana
menjadi sangat gaduh, banyak korban yang berjatuhan, dari warga desa Tulamben
banyak yang mengungsikan dirinya meninggalkan puing-puing yang tersisa hanyalah
sebuah
batu belah ditanah kering bebatuan.
Ngusaba
Dodol Selat
Kecamatan Selat menyuguhkan
peragaan rangkaian ritual Upacara Ngusaba di Mel/Carik. Tahapannya setelah usai upacara Usaba Gede yang dilaksanakan di Pura Besakih yang lazim disebut Ngusaba Besakih. Setelah itu barulah Desa Pakraman Selat memulai
upacara ngusaba di Mel atau yang
disebut dengan
Ngusaba
Dodol. Seluruh
upacaranya diawali dengan rangkaian Upacara Ngepitu. Upacara tersebut bernamakan memohon kepada Ida Bhatara Sakti Gunung Agung, bahwasannya
seluruh krama Desa Selat akan siap menyongsong pelaksanaan Usaba di
Mel. Kemudian dilanjutkan dengan Upacara Nyaga Nyungsung, upacara ini bermakna ngaturang piuning kehadapan Tuhan bahwa krama yang memiliki kegiatan/mata pencaharian sebagai petani, di sawah, kebun dan usaha lainnya siap untuk mulai bekerja
dan tetap memohon wara nugraha.
Upacara berikutnya adalah Nguit Toya, upacara ini bermakna ngaturang angayu bagia dan memohon agar semua kegiatan yang digelar
memperoleh kesuburan dengan memperoleh air, sinar dan memperoleh kebaikan dan
keselamatan. Dilanjutkan dengan Upacara Meboros/Medugul dengan sarana bodag
jaring bermakna bahwa memohon wara
nugraha kehadapan Tuhan agar semua yang ditanam di sawah maupun di kebun,
mulai dari menanam, memelihara, sampai dengan memanen tidak diserang oleh hama penyakit.
Sementara tradisi yang juga diwariskan oleh leluhur di Desa Selat berlangsung rutin setiap akan menyongsong upacara usaba
di
Mel adalah tradisi Ngoncang dengan menggunakan
sarana kulkul dari bambu.
Tradisi ini merupakan kegiatan/pergelaran kesenian yang dilaksanakan
oleh masing-masing banjar adat di wilayah Desa Pakraman Selat yaitu dengan
saling tukar pergelaran disetiap banjar atau saling mengunjungi dengan
menampilkan kesenian-kesenian atau pergelaran kreasi seni. Makna dari ngoncang
tersebut adalah bertujuan untuk menyampaikan rasa
terima kasih kehadapan Ida Sanghyang Widi agar diberikan kesuburan dari hasil
pertanian di sawah atau di tegalan sehingga hasil bumi meningkat. Trdaisi ngoncang ini merupakan luapan kegembiaraan bagi para petani.
Kegiatan tersebut berlangsung selama 12 hari, dan kesibukan di masing-masing rumah warga sudah mulai terlihat dengan
seperti ada pemasangan tenge. Sarana yang dipakai membuat tenge ini adalah daun aba yang ditulisi gambar-gambar seram seperti
Bhuta Kala, daun bambu, daun gegirang, dijadikan satu (diikat) yang akan dipasang
pada bangunan dan pintu masuk rumah sebelah kiri. Tengen digambar dengan wujud Bhuta Kala yang terpasang dipekarangan dimohonkan untuk berkumpul ke Bale Agung akan diberikan
lelabaan sehingga Bhuta Kala agar tidak mengganggu perayaan usaba di Mel (usaba dodol) ini. Katanya Tenge ini tidak dapat ditampilkan tampilkan karena keskralannya.
Dilanjutkan
lagi rangkaian menyongsong usaba di Mel adalah
upacara petabuhan
yaitu upacara yang maknanya adalah agar diberikan keseimbangan antara alam
makrokosmos (bhuana agung) dengan mikrokosmos (bhuana alit). Pada saat inilah
dilaksanakan pagelaran siat sarang
menggunakan bahan sesarang dari daun enau yang dianyam dan dipakai alas untuk membuat jajan khas jaja uli Desa Selat. Sarang itu adalah tempat mengumpulkan Tenge yang telah
dipasang sehari sebelum upacara petabuhan ini.
Setelah Tenge di kumpulkan yang ditempatkan pada sarang lalu
diupacarai dengan segehan di depan rumah/pintu gerbang/lebuh dilengkapi dengan api takep
dari serabut kelapa yang ditakep berbentuk Swastika. Sarang inilah yang digunakan untuk melakukan siat (perang) sarang dengan
makna memerangi segala sifat dan prilaku menyerupai bhuta kala dan juga dapat
mengusir atau menyomiakan bhuta kala
dari masing-masing rumah tangga agar mau datang ke Bale Agung untuk caru penyomia (kata-katanya: pesu-pesu ke bale
agung ngalih tulang dedungkul) sasapan pada waktu
ngayabang upacara cari
dimasing-masing rumahtangga. Selanjutnya semua mamulat sarira (introspeksi) dan siap
menyatukan pikiran untuk mempersiapkan melaksanakan usaba di Mel. Upacara diakhiri dengan membunyikan atau nyuarayang Ida Bhatara Suara. Setelah
acara siat sarang ini maka keesokan
harinya dilanjutkan dengan upacara potong babi, membuat sate, dan perlengkapan
upacara lainnya
hampir sama dengan
rangkaian upacara seperti
hari raya Galungan.
Pada hari usaba
dilakukan persembahyangan di Pura Dalem, dilaksanakan mulai dari pagi hari dengan
membawa upakara biasa atau banten
pepranian. Pada pagi hari nya dipersembahkan kepada Ida Bhatara Sakti di dalem Pura Dalem sekalin memohon tirta amertha yang akan dipakai melaksanakan upacara di
masing-masing rumah:
Pura/Merajan Dadia dan
lainnya.
Siang hari banten yang dibawa adalah seedan (12 jenis banten
di atas dulang) merupakan banten para
leluhur yang dipersembahkan kepada Bhatara Pura Dalem. Bagi
masyarakat yang mempunyai sesangi/sosot (kaul). Kaul ini ada yang
berupa bebanten-bebanten soroan dan
yang paling terkenal adalah kaul yang dihaturkan oleh masyarakat berupa
kumpulan jajan uli yang dijadikan satu memjadi jajan uli yang cukup
besar yang di sebut dengan buntilan diusung oleh beberapa orang menuju Pura Dalem diiringi gong baleganjur.
Buntilan ini dibuat dari bambu dan
anyaman menyerupai keranjang setinggi sesuai isi kaul dihias, dan ditengah keranjang
itulah dimasukkan jajan uli sesuai
dengan jumlah kaul/sesangi misalnya timbungan 25 (25 catu), timbungan 50 (50 catu) dan seterusnya. Upakara ini
dipersembahkan kepada Ida Bhetara Dalem atas permohonan dan janji yang diucapkan, permohonan intinya adalah memohon kesembuhan, keselamatan dan
kesehatan.
Waktu terus berjalan sampai menjelang sore hingga malam hari maka upacara bebanten yang dihaturkan terakhir pada rangkaian
upacara usaba dodol adalah dengan menghaturkan banten Sokan.
Isi dari Sokan sesuai dengan tandingan banten biasa beragam kue: jajan uli, satuh
tempani, krupuk, buah dan sebagainya, dan semua bahan-bahan itu berjumlah ganjil bilangan 3,5,7,9. Sokannya tidak tertutup dan dihiasi berupa pelawa seperti daun cemara, pidpid,
janur, daun
pisang, bunga kasna dan yang lainnya, dan di atasnya ditutup dengan sampian besar. Banten ini ditujukan kepada
Ida Bhetara Sakti Gunung Agung. Sambil berlari membawa pulang yang membawa
banten tersebut berteriak-teriak dengan mengucapkan: oborin-oborin, papagin-papagin. Setelah sampai di depan pintu gerbang rumah disambut dengan upacara segehan, dan barulah boleh dibawa masuk ke rumah. Penampilan Kec.
Selat didukung 150 orang personil.
“Perang Biyu”
Didukung oleh personil 178 orang Kec.
Babandem tampil dengan tradisinya yang sangat unik. Diawali dengan Peed Gebogan
Kreasi. Gebogan kreasi ini terinspirasi oleh gebong tradisi yang disebut dengan
sumbu biasanya dihaturkan pada saat upacara Usaba Sambah di Desa Pakraman Yeh
Poh, Kec. Manggis. Pelaksanaan upacara tersebut sebagai wujud ungkapan syukur
dan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas hasil bumi yang
dilimpahkan kepada umat manusia. Proses Usaba Sambah ini di barengi dengan
pementasan Wayang Wong yang diiringi dengan iringan musik Bebonangan.
Seni gamelan tua yang dimainkan
anak-anak muda, satu-satunya yang titampilkan Manggis memberikan nuansa kental
ritual. Selonding di Bali ditabuh
sebagai pengiring rangkaian upacara keagamaan. Di Kec. Manggis, Selonding
terdapat di Desa Baliaga Tenganan Pegringsingan dan Desa Pakraman Tenganan Dauh
Tukad.
Selanjutnya parade lain ditampilkan Kec.
Manggis adalah tradisi budaya yang belum banyak dikenal oleh masyarakat.
Tradisi budaya apa itu? Mesabat-sabat
Biyu (lempar-lemparan pisang) namanya. Tradisi itu terkait dengan rangkaian
upacara keagamaan Usaba Ketiga dan Metruna
(remaja) yang ada di Desa Pakraman Tenganan Dauh Tukad. Tradisi ini diawali
dengan ditunjuknya dua orang sebagai Sayehe dan Penampih yang diambil dari truna
yang sudah senior dan bertanggung jawab atas penyediaan sarana upakara dan
upacara. Kedua orang ini akan ditunjuk menjadi Pemimpin Sekeha jika yang baru jika pemimpin sebelumnya telah menikah.
Sarana yang digunakan dalam mesab-sabatan biyu adalah buah pisang
dan kelapa. Buah kelapa untuk upacara ini dipanjat dan serabutnya dikupas
sendiri oleh truna sebelum dibawa
kelokasi upacara. Tempat mengupasnya-pun dibawah pohon kelapa yang dipanjat
dengan sarana linggis dibawa sendiri, kemudian serabutnya ditempatkan di bawah
pohon kelapa yang dipanjat sebagai bukti sudah dirampag dan kelapa tersebut tidak dirampag lagi oleh teruna lainnya.
Atraksi prosesi mesab-sabatan biyu yang diiringi gamelan baleganjur dalam parade
budaya ini diawali dengan Sayehe dan Penampih tanpa menggunakan baju hanya yang
mengenakan kain dan destra saja memikul kelengkapan upacara seperti buah pisang
dan buah kelapa hasil rerampagan.
Jumlah kelapa hasil rampagan yang
dipikul oleh masing-masing teruna
adalah 20 buah. Dilain pihak sekaha
teruna lainnya juga memikul buah
kelapa dan pisang hasil rerampagan
mencegat mereka. Sampai disuatu tempat yang ditentukan, mereka dicegat, dikejar
dan dilempari pisang mentah. Karena merasa diserang Sayahe dan Penampih
membalas sehingga tejadi saling mesabat-sabatan
biyu sebagai wujud perlawan dan sekaligus pertahanan diri. Maknanya adalah
ujian mental dan fisik awak kepada kedua orang lain dalam rangka persiapan
menjadi pemimpin yang berwibawa.
Mesabat-sabatan
biyu
dapat dihentikan setelah dilerai serta mengamankan kedua orang yang terlibat dari
perang pisang. Setelah terjadi negoisasi kedua belah pihak, akhirnya mereka
berdamai dan sepakat duduk melingkar bersama untuk menikmati pisang bersama
yang disebut Megibung Biyu, sebagai
wujud kebersamaan, solidaritas, kekeluargaan serta saling memaafaatkan agar
tidak ada unsur dendam dalam menyongsong upacara berikutya.
Tampilan lain sebagai pendukung Kec.
Manggis menyuguhkan: pembawa bendera merah putih, tambur, kober, umbul-umbul,
wayang wong beserta penabuhnya.
Nangluk Mrana Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat
Kosep Tri Hita Karana ditampilkan
oleh Kecamatan Abang diapilikasikan dalam bentuk peragaan ritual Nangluk Mrana di Subak Kertawara, Desa Tiyingtali. Personil memerankan berbagai
peran terkait dengan suasana di sawah dan peran pendukung seni lainnya dengan
kekuatan 106 orang.
Nangluk
Mrana dipentaskan mengawali dari Pura Ulun Sawi dan selanjutnya dipentaskan
di penjuru sawah di awali dari batas sebelah timur selanjutnya, perbatasan
sawah bagian selatan, barat, utara, dan berakhir di Perempatan Agung (Catus
Pata).
Upacara Nangluk
Mrana di Subak Kertawarah
mempergunakan sarana bebanten dan juga penari pajeg lawang yang berbusana seperti taris baris, yakni tangan kanan
memegang cambuk, dan tangan kiri memegang panyung dan dikelilingi oleh pasukan
yang membawa keris yang dihiasi dengan bakang-bakang. Tari Pajeg Lawang sangat
menyeramkan dan menakutkan. Tarian ini diiringi dengan Tambur yang suaranya dag dag pur. Upacara ini diawali pada
saat rahine Kajeng Kliwon Sasih ke
enam atau pada bulan Nopember. Waktu pelaksanaan upacara Nangluk
Mrana menghabiskan waktu sekitar 1 bulan, karena pada bulan tersebut saat
mulainya turun hujan atau disebut peralihan musim dari musim kemarau ke musim
penghujan, dan pada musim itu biasanya banyak turun hama merusak tanaman.
Upacara Nangluk Mrana di Subak Kertawara bertujuan untuk nyomia Bhuta Kala artinya para Bhuta
Kala diberikan sesajen berupa caru di Perempatan Agung (Catus Pata) agar para Bhuta
Kala kembali ketempatnya semula, sehingga tidak lagi mengganggu kehidupan yang
ada di Bumi. Juga segala mrana (penyakit)
sirna, dan semua tanaman dapat tumbuh
subur, hasilnya meningkat, serta masyarakat di Subak Kertawara hidup damai dan
sejahtera Moksartam Jagaditha.
Upacara Nangluk Mrana di Subak Kertawarah dilaksanakan secara turun
menurun. Katanya dahulu pernah krama
Subak Kertawarah tidak melaksanakan upacara Nangluk
Mrana. Waktu itu, hampir semua tanaman di Subak Kertawarah rusak diserang
hama, sehingga sejak itu, masyarakat Subak Ketawarah tidak berani tidak
melaksanakan upacara tersebut karena sudah dianggap warisan leluhur.
Konsepsi Medeha-Teruna
Penampilan seniman Kecamatan
Bebandem cukup padat didukung personil 150 orang memperagakan 5 kegiatan/ritual
seni budaya yakni: Usaba Dangsil (konsepsi medeha-teruna),
tarian Gandrung, Raden Galuh Kahiberang Capung, Trate Bang dan Topeng
Sidakarya.
Tentang konsepsi upacara Madeha dan Materuna (taruna-taruni) dikatakan dapat dilaksanakan pada saat
Usaba Aya. Usaba tersebut merupakan salah satu wahana pencetakan awal dari pada
struktur kepengurusan desa adat mulai dari Madeha
dan Materuna. Tatanan berbusana
terhadap desa pakraman sesuai dengan ketentuan sukerta (ketentuan) desa adat setempat.
Desa Adat Bunygaya dikategorikan
desa tua, hal ini dapat dilihat dari kewajiban desa untuk melaksanakan beberapa
jenis usaba yang tidak ada memiliki oleh desa-desa tua lainya. Masing-masing
pelaksanaan usaba memiliki makna tersendiri untuk menuju kesejahteraan dunia
dan masyarakat. Jenis-jenisnya usaba yang dilaksanakan selama satu tahun antara
lain sasih kasa/srawana. Melaksanakan
pengaci-aci terhadap plaba pura di Uman Desa.
Sasih Karo/Badrawada, melaksanakan
Usaba Aya/Usaba Gede/Usaba Dangsil. Kata Aya sama dengan gede atau besar dengan
sarana memakai Dangsil. Usaba ini tidak dapat dilaksanakan secara rutrin karena
memerlukan biaya yang cukup besar.
Usaba Aya merupakan salah satu jenis
aci yang dilaksanakan di Desa Adat
Bungaya dengan corak dan karakteristik tersendiri bila dibandingkan dengan
desa-desa lain. Bahkan, sangan sulit dicari (satu-satunya). Saba Aya ini lebih
pupoler desebut Usaba Dangsil karena
dalam pelaksanaannya melaksanakan sarana upakara yang berupa dangsil.
Upacara ini sering disebut Usaba
Gede oleh masyarakat Bungaya. Hal ini dapat diterima secara rasional dimana
kata aya berarti besar. Dengan digunakanya sarana upakara dangsil inilah
merupakan kekhasan daru Usaba Aya.
Diawali proses melaksanakannya
melasti ke segara dimana pakaian yang dipakai calon deha dan teruna adalah
calon deha memakai pakaian klesetan dengan beberapa bunga menghiasi
kepala dan calon teruna saput ropa tanpa menggunakan baju dengan nyungklik keris.
Selesai melaksanakan melasti ke
segara para calon deha dan teruna ini akan mendapatkan pawitenan yang dilaksanakan di depan
pelinggih Ida Bhatara Gede Puseh yang dilakukan oleh dadong mangku puseh
dibantu oleh pemangku lainnya. Pewitenan ini menggunakan sarana dengan kekuatan
permohonan oleh pengelingsir Desa Adat Bungaya.
Selesai mewiten Barulah para deha-teruna ini dapat menggunakan
pakaian yaitu bagi deha: Pakaian
saput karah dengan onggar-onggar dan pakaian sampet, sedangkan para teruna
memakai saput karah dengan nyungklik
keris dan memakai busana panugraha Ida Bhetara Bagus Selonding.
Setelah ngaturang ayah selama 12
hari barulah mereka resmi menjadi deha
dan teruna Desa Adat Bungaya.
Tari
Gandrung
Selain beberapa daerah di Indonesia
mengenal Tari Gandrung, wilayah Kecamatan Bebandem tepatnya di Banjar
Linggasana, Desa Bhuana Giri juga mengenal Tari Gandrung yang nyaris punah. Tari
Gandrung versi Bebandem merupakan salah
satu kesenian tradisnional yang pernah berkembang pada zaman penjajahan sekitar tahun 1940 an.
Tari Gandrung merupakan tari
pergaulan yang mirip tari joged bungbung pada saat ini, hanya saja penarinya
seorang laki-laki yang dirias layaknya seorang perempuan. Pada zaman penjajahan
dahulu masyarakat sangat sulit mendapatkan hiburan, apalagi yang melibatkan
kaum perempuan, sehingga pada saat itu di Banjar Linggasana, tepatnya di
lingkungan Cemara Tebel munculah inisiatif para pemuda untuk mendirikan
kesenian Gandrung. Kesenian Gandrung ini terdiri dari penari-penari pria yang
dirias seperti penari jogged bungbung dan diiringi dengan seperangkat gamelan
yang sederhana.
Gandrung ini biasanya melakukan
aktivitas/kegiatan menari pada saat ada acara tertentu yang menghadirkan banyak
orang, dan setiap penari nepek/nyawat
beberapa orang pengibing dan setiap pengibing
biasanya akan memberi upah kepada penari gandrung berupa uang kepeng atau uang
perak yang berlaku saat itu. Upah yang diberikan itu disebut dengan istilah
“saweran”. Seiiring dengan perkembangan zaman, maka kesenian gandrung ini
semakin memudar dan hampir punah. Kesenian Gandrung ini dibangkitkan kembali
dari tidur panjangnya karna ada dorongan atau permintaan dari beberapa
masyarakat terutama yang memiliki sesangi (kaul) untuk menarikan Gandrung
disuatu Pura tertentu. Itulah yang mendasari bangkitnya kembali kesenian
Gandrung di banjar linggasana, Desa Bhuana Giri dan secara kebetulan pula
pelaku kesenian Gandrung terdahulu masih ada hidup walaupun usianya sudah uzur,
dan beliaulah yang membina penari dan penabuh gandrung yang baru dibangkitkan
kembali.
Kemudian Kecamatan Bebandem juga
menampilkan fragmen tari “Raden Galuh Kahiberang Capung” dan “Trate Bang”. Ceritera
“Raden Galuh Kahiberang Capung”, bahwa Raden Galuh di Alengkesari sedang
bermain ditaman bersama Dayang, tiba-tiba Raden Galuh melihat seekor capung
berterbangan dihadapannya. Timbullah niat Raden galuh untuk bisa menangkap
capung itu. Bersama dayang, Raden Galuh berusahan menangkap capung itu, namun
ketika berhasil ditangkap tiba-tiba capung itu berubah besar dan banyak seraya
menerbangkan raden galuh bersama dayangnya. Jauh raden galuh dibawa terbang
oleh capung-capung itu hingga sampai dan diturunkan di Kerajaan Metaun.
Sedangkan fragmen tari “Trate Bang”
bercerita, Diah Langkesaru sedih menanti kedatangan Panji Anusapati yang
diharapkan bisa membantunya keluar dari kerajaan kerajaan Trate Bang. Sementara
itu Raden Panji Anusa Pati bersama abdinya sedang dalam perjalanan mencari Diah
Langkesari. Dalam perjalanan bertemulah Panji Anusapati dengan Prabu Trate Bang
yang sedang mencari dan ingin membunuh Panji Anusapati. Terjadilah perkelahian
antara Panji Anusapati dengan Prabu Trate Bang yang berakhir dengan kekalahan
Prabu Trate Bang. Selanjutnya Panji Anusapati melanjutkan perjalanan mencari
Diah Langkesari ke Kerajaan Trate Bang, dan bertemulah Panji Anusapati dengan
Diah Langkesari yang dicarinya.
Penampilan lain Kecamatan Bebandem
adalah Topeng Sidakarya yang menggambarkan aktifitas sosial kemasyarakatan yang
melekat sebagai media hubungan alam skala
niskala. Dia bermakna dan berfungsi sebagai pengukuhan sistem Dewa Yadnya
dan sistem kepercayaan, simbolis siklus kehidupan yang tidak pernah lepas dari
proses utpeti, stiti, dan prelina.
Hakekat upacara merupakan perwujudan hati seseorang atau kelompok kehadapan Hyang
maha pencipta dengan menghaturkan kembali kehidupan dan kesejahteraan yang
telah diterima berupa persembahan ritual keagamaan. Juga Topeng Sidakarya merupakan manifestasi saksi
yang sejati sebagai tokoh sakral yang
dapat menghubungkan secara aktual ditunjukkan untuk semua komponen.
Kehadirannya diharapkan dapat menetralisir unsur-unsur yang menjadi kekurangan
dalam pelaksanaan yadnya dengan
persembahan rasa tentram damai dan perbedaan pemaknaan tentang alam Bhur, Bwah, Swah.
“Perang”
Api untuk Menteralisir Alam
Kecamatan Karangasem sebagai tuan
rumah menjadi pemungkas Parade Budaya dengan menampilkan kekuatan penuh 132
orang. Kecamatan paling ujung timur ini tampil paling lain, unik dan menarik.
Apa gerangan yang unik dan menarik? Kecamatan Karangasem diwakili oleh Desa
Pakraman Jasri, Kelurahan Subagan. Salahsatu ritual agama/budaya Desa Jasri
yang paling dikenal adalah tradisi budaya bernuansa “perang” yang disebutnya Ter-teran (lempar-lempar api). Tradisi Ter-teran ini terkait dengan Upacara Aci Muu-muu. Mereka yang terlibat dalam Ter-teran adalah dua kelompok pemuda
dengan mengenakan kain tanpa memakai baju, terlibat langsung saling lempar
menggunakan sarana nyala api bobok (obor)
yang terbuat dari dayuh (kelapa kering).
Bobok (obor) yang
dipakai ngeter (melempar) itu,
terbuat dari seikat danyuh berukuran
sekitar 80 cm. Di tengah cekalan daun
kelapa itu, terdapat sebatang kayu kecil berukuran seperempat dari panjangnya
obor. Hal itu dimaksudkan agar lemparan obornya lebih jauh, cepat dan keras.
Begitu mulai
tanda mulai Ter-teran, mereka silih
berganti menyerang, obor berseliweran menyerang lawan dari atas maupun bawah,
bahkan sampai membentur tubuh teman sendiri. Kalau saja Ter-teran ini digelar malam hari seperti digelar di Jasri saat
upcara Muu-muu tentu semburan api
yang terlempar sangat indah, seperti kunang-kunang. Gerrrrr para penonton Parade Budaya bersorak-sorai mentertawakan mereka yang
terkena lemparan obor, sebab bukan tidak mungkin tubuh mereka akan terbakar paling tidak hangus. Guessss.....plak, guesss...plak, begitu suara lemparan obor di
udara. Sementara suara riuh rendah penonton terus menggema memberikan suport. Karena ini dalam bentuk Parade
Budaya, tentu ”perang” ini tidak seseru aslinya.
Ter-teran
berlangsung setiap 2 tahun sekali pada tahun ganjil saat uapacara Pengerupukan pada Tawur Kesanga sehari sebelum hari Nyepi. Proses upacara Ter-teran ini diawali dengan prosesi
mendak Jero Mangku Dalem dan Jero Mangku Desa dan pengerembak caru oleh
Badan Desa Istri dan Lanang. Ketika Ida Bhatara Dalem tedun atau turun dari pesimpenan menuju Pura Bale Agung untuk
selanjutnya menuju tempat ngaturang caru. Datang dari ngaturang caru Ida Bhatara katuran
uapcara pemendak. Tujuan upacara Ter-teran
dengan ngaturang pamendak dengan bobok
untuk menetralisir bhuta kala
agar kembali ke tempatnya masing-masing atau somia, dari Bhuta Kala menjadi
Dewa sehingga Bhuta Kala tidak
mengganggu ketentraman Bhuana Agung
dan Bhuana Alit.
Selengkapnya dalam Parade Budaya
Kec. Karangasem menampilkan personil sebagai peran: pengerambat caru, pemendak, pengusung bebandrangan, Jero Mangku,
pengiring Batara Dalem, Pecalang, Rejang Lilit, Pendet Lanang, gamelan Tambur,
gamelan baleganjur, pengusung gebogan, pembawa kulkul.
Promosi Potensi Budaya Lokal
Apa tema parade Budaya Karangasem?
menurut Ketua Seksi Parade Budaya Karangasem, Ir. Gde Ngurah Yudiantara,
MM, yang juga Kepala Dinas Komunikasi
dan Informatika Kab. Karangasem, “Dengan
Semangat Parade Budaya, Kita Tingkatkan Penggalian, Pelestarian, Pengembangan dan
Promosi Potensi Budaya Lokal Untuk
Memperkokoh Budaya Bali”.
Dijelaskan
Yudiantara, tema tersebut mengandung makna, bahwa semangat parade seni budaya tersebut
diharapkan masyarakat Bali sebagai pendukung dan penikmat seni budaya mampu
meningkatkan melalui cara: menggali, melestarikan, mengembangkan dan
mempromosikan potensi seni budaya lokal (kearipan lokal) yang ada di
wilayahnya. Cara itu dilakukan untuk turutserta mengajegkan (memperkokoh) jati diri seni budaya tradisional Bali guna mendukung/memperkaya seni
budaya Indonesia yang semakin lama dapat
terpinggirkan oleh budaya modern akibat
globalisasi. Masyarakat pendukung dan penikmat seni budaya akan mendapatkan
vibrasi positif terhadap berbagai aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi
masyarakat, karena disamping aktivitas seni budaya masyarakat Bali terkait
dengan ritual Hindu juga ada seni budaya yang profane.
Penulis,
Pegawai Diskominfo Kab. Karangasem