KOMANG PASEK ANTARA

Rabu, 26 Februari 2014

Parade Budaya Karangasem Seribu Peserta dari Delapan Kecamatan Tampil Memukau Penonton Penulis: I Komang Pasek Antara



Kabupaten Karangasem meskipun berada di sebagian wilayah geografisnya kering, tapi aktivitas potensi agama/budayanya tak pernah kering, justru sebaliknya hidup subur di seluruh pelosok desa. Karena hampir setiap ritual kegamaan Hindu masyarakatnya selalu menampilkan seni budaya sebagai pendukung ritual keagamaan tersebut. Seni budaya tersebut kini masih hidup dan telah menjadi tradisi masyarakat turun-temurun meskipun era moderenisasi dan globalisasi sudah menyeruak melanda hampir kesemua lini kehidupan masyarakat Bali.         Kekayaan dan kesuburan seni budaya yang dimiliki dan hidup di seantero wilayah Kabupaten Karangasem ditampilkan langsung dihadapan masyarakatnya yang dikemas dalam kegiatan Parade Budaya Karangasem beberapa hari yang lalu, Selasa, 6 Agustus 2013 di Amlapura dalam rangka memeriahkan HUT Kemerdekaan RI ke-68, HUT Propinsi Bali ke-55, dan HUT Kota Amlapura ke-43.
            Parade Budaya Karangasem sangat memukau penonton, menampilkan seribu orang peserta/pendamping,   memperagakan potensi seni budaya yang tumbuh dan menjadi milik warga masyarakat  di seluruh (8) kecamatan yang ada di Kabupaten Karangasem. Berbagai wujud seni budaya ditampilkannya yang satu dengan lainnya memiliki ciri khas berbeda-beda: unik/khas dan inovatif.
            Penonton masyarakat Karangasem antusias tumpah ruah sepanjang jalan Kota Amlapura menyaksikan Parade Budaya Karangasem. Parade tesebut tak bedanya seperti Pawai Pesta Kesenian Bali yang setiap tahun digelar.
             Panggung kehormatan yang didirikan di sisi timur lapangan Yowana Wijaya Amlapura, Jalan Untung Surapati, penuh penonton berdesak-desakan, karena di tempat itu  peserta parade wajib menampilkan prosesi seni budaya yang ditampilkan. Dan terasa lebih marak dan merasuk lagi dikalbu para penonton  ketika  narator yang begitu semangat membacakan narasi  Parade Budaya dari masing-masing peserta kecamatan yang sebagian penulis kutif dalam tulisan ini.
            Hadir menyaksikan di panggung kehormatan pejabat Pemkab Karangasem yakni Bupati Karangasem I Wayan Geredeg, SH, M.AP dan Wakil Bupati Karangasem I Made Sukerana, SH, masing-masing berserta Ibu, Ketua DPRD Karangasem I Gede Dana, SPd, MSi.  FKPD dan jajaran Pemkab Karangasem.        
            Satu jam sebelum Parade Budaya digelar tepatnya pkul 13.00 Wita, masyarakat penonton sudah memadati sepanjang jalan rute parade yang telah steril dari kendaraan di Jalan Untung Surapati (Start GOR Gunung Agung Amlapura) sampai ke Jalan Sudirman (depan SMPN 2 Amlapura) dan Jalan Gatot Subroto (finish depan SDN 1 Karangasem). Berikut jalannya Parade Budaya Karangasem.
            Marching Band Universitas Udayana Denpasar di bawah Ketua Unitnya, Windusadu Anantaya sebagai peserta partisipasi mengawali parade budaya mendapat antusias penonton dengan gerakan-gerakan dan lagu-lagunya yang menggema. Marching Band dengan personil 54 orang itu mempersembahkan beberapa lagu: Mars Karangasem, Lembayung Bali dan Satu Nusa Satu Bangsa
           
            Mapekanal (Pernikahan)
            Kecamatan Rendang yang menjadi wilayah terjauh dari kota Amlapura menjadi awal pembuka prosesi peserta parade dengan kekuatan menampilkan pesertanya  88 orang dalam wujud tradisi Mepekanal (Pernikahan).
            Mepekanal merupakan salah satu bagian dari upacara pawiwahan (perkawinan) terdapat di Desa Pakraman Pemuteran, Desa Pempatan Kecamatan Rendang. Rangkaiannya ritualnya, setiap upacara pawiwahan dilakukan upacara pebiyehkaonan dan mekalalaan. Wajib orang yang melaksanakan pawiwahan tersebut menyiapkan atau menyerahkan seekor sapi atau banteng sebagai tanda pembayaran mepekanal kepada Bendesa Adat yang disaksikan oleh seluruh krama desa dan prajuru desa.
            Dampak uniknya ritual ini, apabila penyerahan banteng tersebut tidak dilaksanakan maka cemer atau sebel pada sang mawiwahe (sang mempelai). Sang mawiwaha dan akan dikucilkan oleh krama desa adat dan tidak boleh atau dilarang melakukan bakti atau persembahyangan ke Pura Tri Kayangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung).
            Sapi tersebut dipotong di Pura Desa sebagai persembahan serta di bagi-bagi kepada seluruh anggota/warga Desa Pakraman Pemuteran. Setelah itu barulah sang mawiwaha boleh melakukan aktivitas atau ngayah serta melakukan persembahyangan ke Pura Tri Kayangan.



            Ngelawang
            Disusul kemudian parade peserta berkekuatan 64 seniman dari Kecamatan Sidemen, wilayah yang terkenal dengan kain songketnya menampilkan pragmen aktivitas  ritual Ngelawang: “Nyomeo Sang Durga Bucari”.
            Diceriterakan: Raja Astina Pura (Sang Rama) akan menggelar yadnya: Meupa Ayu Bumi, dengan dasar yadnya: Upacara Caru Brumbunan.
Dikisahkan: Kapi Raja Sugriwa telah menerima perintah dari Raja Rama, agar mempersiapkan semua peralatan upakara. Maka Sugriwa mengangkat Hanoman menjadi manggalaning pelaksanaan yadnya, yang dibantu oleh para were beserta segenap rakyat Astina Pura. Tiba waktunya pelaksanaan yadnya akan dilaksanakan.
            Wetugangga diiringi punakawan Werdah datang mempersiapkan dan langsung menata tatanan upekara pecaruan, dan yang lainnya telah siap kiranya digelar. Tiba-tiba datang tamu yang tak dikenal berwujud angker dan beringas mendekati upakara pecaruan, Wetugangga tersentak lalu mencegatnya, karena Wetugangga berfikir raksasa tersebut akan merusak tatanan upacara, raksasa tersebut tersinggung, perkelahian pun terjadi antara Wetugangga dengan sang tamu yang berwujud raksasa tersebut. Mereka sama digjaya sama kuatnya yang membuat punakanwan Werdah terheran siapa tamu yang datang ini, Werdah langsung lari bertemu dengan sang Hanoman, melaporkan kejadian tersebut. Mendengar laporan Werdah, Hanoman beserta para Punggawa Astina Pura termasuk Kapi Raja Sugriwa turun ketempat  digelarnya upacara yadnya yang mana sedang ada keributan antara Wetugangga dengan tamu yang tak dikenalnya, yang diiringi dua punakawannya, Delem dan Sangut.
Setiba Hanoman di tempat peperangan, langsung mengamati gerak gerik raksasa tersebut, tersamar-samar di dengar Sabda dari Betari Durga oleh Hanoman, bahwa yang berkelahi dengan Wetugangga adalah utusan Betari Durga, bernama Sang Durga Bucari, agar datang ke pegelaran yadnya, sebagai upesaksi Betari. Dengan adanya sabda Betari Durga, Hanoman bergegas melerai peperangan mereka, dan mengajak Sang Durga Bucari menghadap Kapi Raja Sugriwa, mendengar penjelasan Hanoman, bahwa Sang Durga Bucari utusan Betari Durga, Kapi Raja Sugriwa mempersilahkan Durga Bucari menyantap pecaruan tersebut, dan sudikiranya Someo agar keadaan alam semesta damai, tentram, dan sejahtera.

Perang Tulamben
            Tari Baris Gede dan kisah peperangan “Biyote Tulamben” yang dikemas dalam wujud gerak tari di tampilkan oleh Kecamatan Kubu, wilayah kering bebatuan bagian utara Karangasem berkekuatan 85 orang seniman dengan peñata tari Jero Mangku Ketut Bingin Berikut ringkasan ceritera “Biyote Tulamben”.
      Disuatu hari warga Desa Tulamben mengusung upacara Dewa Yadnya di pesisir pantai setempat.Ketika rangkaian upacara telah usai mereka menggelar sebuah acara yang lazim disebut “Tabuh Rah” dalam bentuk sabungan ayam yang bermuatan toh atau taruhan menang dan kalah. Kebetulan saat itu para pelaut dari pulau Makasar tepatnya juragan Kampung Bugis sedang berlayar melewati tapal batas laut Tulamben.
      Bersama gulungan ombak yang memecah ditepian, pandangan mata para juragan terbawa oleh riak gelombang untuk mendapat secercah hiburan. Pucuk dicinta ulampun tiba, ketika pandangan mereka bersandar di satu tempat mereka melihat acara adu ayam yang memang menjadi permainan idolanya.
      Lalu juragan kampung Bugis membeli ayam aduan pada warga setempat sembari mengadunya dengan taruhan sebagai berikut: apabila ayam aduan warga Tulamben yang menang, maka seisi kapal milik juragan (emas, intan, berlian dan harta benda lainnya) menjadi milik warga Tulamben. Tetapi kalau ayam aduan milik juragan yang menang maka warga Tulamben rela menyerahkan sebuah batu besar yang bercokol ditempat upacara digelar.
      Ternyata ayam aduan milik juragan yang menang, akan tetapi dasar untung tak dapat diraih, malangpun tak bisa di tolak, warga Tulamben mengelak dan mengingkari janjinya.Seperti mencari serpihan mutiara yang retak dari seorang pande besi, kedua belah pihak tidak mendapatkan apa-apa bahkan terjadi tindakan arnarkis diantara mereka. Juragan kampung Bugis meletup letupkan laras senapannya dan membelah batu besar yang seharusnya telah menjadi miliknya.
Suasana menjadi sangat gaduh, banyak korban yang berjatuhan, dari warga desa Tulamben banyak yang mengungsikan dirinya meninggalkan puing-puing yang tersisa hanyalah sebuah batu belah ditanah kering bebatuan.

Ngusaba Dodol Selat
            Kecamatan Selat menyuguhkan peragaan rangkaian ritual Upacara Ngusaba di Mel/Carik. Tahapannya setelah usai upacara Usaba Gede yang dilaksanakan di Pura Besakih yang lazim disebut Ngusaba Besakih. Setelah itu barulah Desa Pakraman Selat memulai  upacara ngusaba di Mel atau yang disebut dengan Ngusaba Dodol. Seluruh upacaranya diawali dengan rangkaian Upacara Ngepitu. Upacara tersebut bernamakan memohon kepada Ida Bhatara Sakti Gunung Agung, bahwasannya seluruh krama Desa Selat akan siap menyongsong pelaksanaan Usaba di Mel. Kemudian dilanjutkan dengan Upacara Nyaga Nyungsung, upacara ini bermakna ngaturang piuning kehadapan Tuhan bahwa krama yang memiliki kegiatan/mata pencaharian sebagai petani, di sawah, kebun dan usaha lainnya siap untuk mulai bekerja dan tetap memohon wara nugraha.
             Upacara berikutnya adalah Nguit Toya, upacara ini bermakna ngaturang angayu bagia dan memohon agar semua kegiatan yang digelar memperoleh kesuburan dengan memperoleh air, sinar dan memperoleh kebaikan dan keselamatan. Dilanjutkan dengan Upacara Meboros/Medugul dengan sarana bodag jaring bermakna bahwa memohon wara nugraha kehadapan Tuhan agar semua yang ditanam di sawah maupun di kebun, mulai dari menanam, memelihara, sampai dengan memanen tidak diserang oleh hama penyakit.     
            Sementara tradisi yang juga diwariskan oleh leluhur di Desa Selat berlangsung rutin setiap akan menyongsong upacara usaba di Mel adalah tradisi Ngoncang dengan menggunakan sarana kulkul dari bambu. Tradisi ini merupakan kegiatan/pergelaran kesenian yang dilaksanakan oleh masing-masing banjar adat di wilayah Desa Pakraman Selat yaitu dengan saling tukar pergelaran disetiap banjar atau saling mengunjungi dengan menampilkan kesenian-kesenian atau pergelaran kreasi seni. Makna dari ngoncang tersebut adalah bertujuan untuk menyampaikan rasa terima kasih kehadapan Ida Sanghyang Widi agar diberikan kesuburan dari hasil pertanian di sawah atau di tegalan sehingga hasil bumi meningkat. Trdaisi ngoncang ini merupakan luapan kegembiaraan bagi para petani.
            Kegiatan tersebut berlangsung selama 12 hari, dan kesibukan di masing-masing rumah warga sudah mulai terlihat dengan seperti ada pemasangan tenge. Sarana yang dipakai membuat tenge ini adalah daun aba yang ditulisi gambar-gambar seram seperti Bhuta Kala, daun bambu, daun gegirang, dijadikan satu (diikat) yang akan dipasang pada bangunan dan pintu masuk rumah sebelah kiri. Tengen digambar dengan wujud Bhuta Kala yang terpasang dipekarangan dimohonkan untuk berkumpul ke Bale Agung akan diberikan lelabaan sehingga Bhuta Kala agar tidak mengganggu perayaan usaba di Mel (usaba dodol) ini. Katanya Tenge ini tidak dapat ditampilkan tampilkan karena keskralannya.
            Dilanjutkan lagi rangkaian menyongsong usaba di Mel adalah upacara petabuhan yaitu upacara yang maknanya adalah agar diberikan keseimbangan antara alam makrokosmos (bhuana agung) dengan mikrokosmos (bhuana alit). Pada saat inilah dilaksanakan pagelaran siat sarang menggunakan bahan sesarang dari daun enau yang dianyam dan dipakai alas untuk membuat jajan khas jaja uli Desa Selat. Sarang itu adalah tempat mengumpulkan Tenge yang telah dipasang sehari sebelum upacara petabuhan ini.
            Setelah Tenge di kumpulkan yang ditempatkan pada sarang lalu diupacarai dengan segehan di depan rumah/pintu gerbang/lebuh dilengkapi dengan api takep dari serabut kelapa yang ditakep berbentuk Swastika. Sarang inilah yang digunakan untuk melakukan siat (perang)  sarang dengan makna memerangi segala sifat dan prilaku menyerupai bhuta kala dan juga dapat mengusir atau menyomiakan bhuta kala dari masing-masing rumah tangga agar mau datang ke Bale Agung untuk caru penyomia (kata-katanya: pesu-pesu ke bale agung ngalih tulang dedungkul) sasapan pada waktu ngayabang upacara cari dimasing-masing rumahtangga. Selanjutnya semua mamulat sarira (introspeksi) dan siap menyatukan pikiran untuk mempersiapkan melaksanakan usaba di Mel. Upacara diakhiri dengan membunyikan atau nyuarayang Ida Bhatara Suara. Setelah acara siat sarang ini maka keesokan harinya dilanjutkan dengan upacara potong babi, membuat sate, dan perlengkapan upacara lainnya hampir sama dengan rangkaian upacara seperti hari raya Galungan.
            Pada hari usaba dilakukan persembahyangan di Pura Dalem,   dilaksanakan mulai dari pagi hari dengan membawa upakara biasa atau banten pepranian. Pada pagi hari nya dipersembahkan kepada Ida Bhatara Sakti di dalem Pura Dalem sekalin memohon tirta amertha yang akan dipakai melaksanakan upacara di masing-masing rumah: Pura/Merajan Dadia dan lainnya.
            Siang hari banten yang dibawa adalah seedan (12 jenis banten di atas dulang) merupakan banten  para leluhur yang dipersembahkan kepada Bhatara Pura Dalem. Bagi masyarakat yang mempunyai sesangi/sosot (kaul). Kaul ini ada yang berupa bebanten-bebanten soroan dan yang paling terkenal adalah kaul yang dihaturkan oleh masyarakat berupa kumpulan jajan uli yang dijadikan satu memjadi jajan uli yang cukup besar yang di sebut dengan buntilan diusung oleh beberapa orang menuju  Pura Dalem diiringi gong  baleganjur.
             Buntilan ini dibuat dari bambu dan anyaman menyerupai keranjang  setinggi sesuai isi kaul dihias, dan ditengah keranjang itulah dimasukkan jajan uli sesuai dengan jumlah kaul/sesangi misalnya timbungan 25 (25 catu), timbungan 50 (50 catu) dan seterusnya. Upakara ini dipersembahkan kepada Ida Bhetara Dalem atas permohonan dan janji yang diucapkan, permohonan intinya adalah memohon kesembuhan, keselamatan dan kesehatan.
            Waktu terus berjalan sampai menjelang sore hingga malam hari maka upacara bebanten yang dihaturkan terakhir pada rangkaian upacara usaba dodol adalah dengan menghaturkan banten Sokan.
            Isi dari Sokan sesuai dengan tandingan banten biasa beragam kue: jajan uli, satuh tempani, krupuk, buah dan sebagainya, dan semua bahan-bahan itu berjumlah ganjil bilangan 3,5,7,9. Sokannya tidak tertutup dan dihiasi berupa pelawa seperti daun cemara, pidpid, janur, daun pisang, bunga kasna dan yang lainnya, dan di atasnya ditutup dengan sampian besar. Banten ini ditujukan kepada Ida Bhetara Sakti Gunung Agung. Sambil berlari membawa pulang yang membawa banten tersebut berteriak-teriak dengan mengucapkan:  oborin-oborin, papagin-papagin. Setelah sampai di depan pintu gerbang rumah disambut dengan upacara segehan, dan barulah boleh dibawa masuk ke rumah. Penampilan Kec. Selat didukung 150 orang personil.

“Perang Biyu”
Didukung oleh personil 178 orang Kec. Babandem tampil dengan tradisinya yang sangat unik. Diawali dengan Peed Gebogan Kreasi. Gebogan kreasi ini terinspirasi oleh gebong tradisi yang disebut dengan sumbu biasanya dihaturkan pada saat upacara Usaba Sambah di Desa Pakraman Yeh Poh, Kec. Manggis. Pelaksanaan upacara tersebut sebagai wujud ungkapan syukur dan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas hasil bumi yang dilimpahkan kepada umat manusia. Proses Usaba Sambah ini di barengi dengan pementasan Wayang Wong yang diiringi dengan iringan musik Bebonangan.
Seni gamelan tua yang dimainkan anak-anak muda, satu-satunya yang titampilkan Manggis memberikan nuansa kental ritual.  Selonding di Bali ditabuh sebagai pengiring rangkaian upacara keagamaan. Di Kec. Manggis, Selonding terdapat di Desa Baliaga Tenganan Pegringsingan dan Desa Pakraman Tenganan Dauh Tukad.
Selanjutnya parade lain ditampilkan Kec. Manggis adalah tradisi budaya yang belum banyak dikenal oleh masyarakat. Tradisi budaya apa itu? Mesabat-sabat Biyu (lempar-lemparan pisang) namanya. Tradisi itu terkait dengan rangkaian upacara keagamaan Usaba Ketiga dan Metruna (remaja) yang ada di Desa Pakraman Tenganan Dauh Tukad. Tradisi ini diawali dengan ditunjuknya  dua orang sebagai Sayehe dan Penampih yang diambil dari truna yang sudah senior dan bertanggung jawab atas penyediaan sarana upakara dan upacara. Kedua orang ini akan ditunjuk menjadi Pemimpin Sekeha jika yang baru jika pemimpin sebelumnya telah menikah.
Sarana yang digunakan dalam mesab-sabatan biyu adalah buah pisang dan kelapa. Buah kelapa untuk upacara ini dipanjat dan serabutnya dikupas sendiri oleh truna sebelum dibawa kelokasi upacara. Tempat mengupasnya-pun dibawah pohon kelapa yang dipanjat dengan sarana linggis dibawa sendiri, kemudian serabutnya ditempatkan di bawah pohon kelapa yang dipanjat sebagai bukti sudah dirampag dan kelapa tersebut tidak dirampag lagi oleh teruna lainnya.
Atraksi prosesi mesab-sabatan biyu yang diiringi gamelan baleganjur dalam parade budaya ini diawali dengan Sayehe dan Penampih tanpa menggunakan baju hanya yang mengenakan kain dan destra saja memikul kelengkapan upacara seperti buah pisang dan buah kelapa hasil rerampagan. Jumlah kelapa hasil rampagan yang dipikul oleh masing-masing teruna adalah 20 buah. Dilain pihak sekaha teruna lainnya  juga memikul buah kelapa dan pisang hasil rerampagan mencegat mereka. Sampai disuatu tempat yang ditentukan, mereka dicegat, dikejar dan dilempari pisang mentah. Karena merasa diserang Sayahe dan Penampih membalas sehingga tejadi saling mesabat-sabatan biyu sebagai wujud perlawan dan sekaligus pertahanan diri. Maknanya adalah ujian mental dan fisik awak kepada kedua orang lain dalam rangka persiapan menjadi pemimpin yang berwibawa.
Mesabat-sabatan biyu dapat dihentikan setelah dilerai serta mengamankan kedua orang yang terlibat dari perang pisang. Setelah terjadi negoisasi kedua belah pihak, akhirnya mereka berdamai dan sepakat duduk melingkar bersama untuk menikmati pisang bersama yang disebut Megibung Biyu, sebagai wujud kebersamaan, solidaritas, kekeluargaan serta saling memaafaatkan agar tidak ada unsur dendam dalam menyongsong upacara berikutya.
Tampilan lain sebagai pendukung Kec. Manggis menyuguhkan: pembawa bendera merah putih, tambur, kober, umbul-umbul, wayang wong beserta penabuhnya.

Nangluk Mrana Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat                  
            Kosep Tri Hita Karana ditampilkan oleh Kecamatan Abang diapilikasikan dalam bentuk peragaan ritual Nangluk Mrana di Subak Kertawara, Desa Tiyingtali. Personil memerankan berbagai peran terkait dengan suasana di sawah dan peran pendukung seni lainnya dengan kekuatan 106 orang.
            Nangluk Mrana dipentaskan mengawali dari Pura Ulun Sawi dan selanjutnya dipentaskan di penjuru sawah di awali dari batas sebelah timur selanjutnya, perbatasan sawah bagian selatan, barat, utara, dan berakhir di Perempatan Agung (Catus Pata).
             Upacara Nangluk Mrana di Subak Kertawarah  mempergunakan sarana bebanten dan juga penari pajeg lawang yang berbusana seperti taris baris, yakni tangan kanan memegang cambuk, dan tangan kiri memegang panyung dan dikelilingi oleh pasukan yang membawa keris yang dihiasi  dengan bakang-bakang. Tari Pajeg Lawang sangat menyeramkan dan menakutkan. Tarian ini diiringi dengan Tambur yang suaranya dag dag pur. Upacara ini diawali pada saat rahine Kajeng Kliwon Sasih ke enam atau pada bulan Nopember. Waktu pelaksanaan  upacara Nangluk Mrana menghabiskan waktu sekitar 1 bulan, karena pada bulan tersebut saat mulainya turun hujan atau disebut peralihan musim dari musim kemarau ke musim penghujan, dan pada musim itu biasanya banyak turun hama merusak tanaman.
            Upacara Nangluk Mrana di Subak Kertawara bertujuan untuk nyomia Bhuta Kala artinya para Bhuta Kala diberikan sesajen berupa caru di Perempatan Agung (Catus Pata) agar para Bhuta Kala kembali ketempatnya semula, sehingga tidak lagi mengganggu kehidupan yang ada di Bumi. Juga segala mrana (penyakit) sirna, dan semua tanaman dapat  tumbuh subur, hasilnya meningkat, serta masyarakat di Subak Kertawara hidup damai dan sejahtera Moksartam Jagaditha.
            Upacara Nangluk Mrana di Subak Kertawarah dilaksanakan secara turun menurun. Katanya dahulu pernah krama Subak Kertawarah tidak melaksanakan upacara Nangluk Mrana. Waktu itu, hampir semua tanaman di Subak Kertawarah rusak diserang hama, sehingga sejak itu, masyarakat Subak Ketawarah tidak berani tidak melaksanakan upacara tersebut karena sudah dianggap warisan leluhur.

            Konsepsi Medeha-Teruna
            Penampilan seniman Kecamatan Bebandem cukup padat didukung personil 150 orang memperagakan 5 kegiatan/ritual seni budaya yakni: Usaba Dangsil (konsepsi medeha-teruna), tarian Gandrung, Raden Galuh Kahiberang Capung, Trate Bang dan Topeng Sidakarya.
            Tentang konsepsi upacara Madeha dan Materuna (taruna-taruni) dikatakan dapat dilaksanakan pada saat Usaba Aya. Usaba tersebut merupakan salah satu wahana pencetakan awal dari pada struktur kepengurusan desa adat mulai dari Madeha dan Materuna. Tatanan berbusana terhadap desa pakraman sesuai dengan ketentuan sukerta (ketentuan) desa adat setempat.
            Desa Adat Bunygaya dikategorikan desa tua, hal ini dapat dilihat dari kewajiban desa untuk melaksanakan beberapa jenis usaba yang tidak ada memiliki oleh desa-desa tua lainya. Masing-masing pelaksanaan usaba memiliki makna tersendiri untuk menuju kesejahteraan dunia dan masyarakat. Jenis-jenisnya usaba yang dilaksanakan selama satu tahun antara lain sasih kasa/srawana. Melaksanakan pengaci-aci terhadap plaba pura di Uman Desa.
            Sasih Karo/Badrawada, melaksanakan Usaba Aya/Usaba Gede/Usaba Dangsil. Kata Aya sama dengan gede atau besar dengan sarana memakai Dangsil. Usaba ini tidak dapat dilaksanakan secara rutrin karena memerlukan biaya yang cukup besar.
            Usaba Aya merupakan salah satu jenis aci yang dilaksanakan di Desa Adat Bungaya dengan corak dan karakteristik tersendiri bila dibandingkan dengan desa-desa lain. Bahkan, sangan sulit dicari (satu-satunya). Saba Aya ini lebih pupoler desebut  Usaba Dangsil karena dalam pelaksanaannya melaksanakan sarana upakara yang berupa dangsil.
            Upacara ini sering disebut Usaba Gede oleh masyarakat Bungaya. Hal ini dapat diterima secara rasional dimana kata aya berarti besar. Dengan digunakanya sarana upakara dangsil inilah merupakan kekhasan daru Usaba Aya.
            Diawali proses melaksanakannya melasti ke segara dimana pakaian yang dipakai calon deha dan teruna adalah calon deha memakai pakaian klesetan dengan beberapa bunga menghiasi kepala dan calon teruna saput ropa tanpa menggunakan baju dengan nyungklik keris.
            Selesai melaksanakan melasti ke segara para calon deha dan teruna ini akan mendapatkan pawitenan yang dilaksanakan di depan pelinggih Ida Bhatara Gede Puseh yang dilakukan oleh dadong mangku puseh dibantu oleh pemangku lainnya. Pewitenan ini menggunakan sarana dengan kekuatan permohonan oleh pengelingsir Desa Adat Bungaya.
            Selesai mewiten Barulah para deha-teruna ini dapat menggunakan pakaian yaitu bagi deha: Pakaian saput karah dengan onggar-onggar dan pakaian sampet, sedangkan para teruna memakai saput karah dengan nyungklik keris dan memakai busana panugraha Ida Bhetara Bagus Selonding.
            Setelah ngaturang ayah selama 12 hari barulah mereka resmi menjadi deha dan teruna Desa Adat Bungaya.


            Tari Gandrung
            Selain beberapa daerah di Indonesia mengenal Tari Gandrung, wilayah Kecamatan Bebandem tepatnya di Banjar Linggasana, Desa Bhuana Giri juga mengenal Tari Gandrung yang nyaris punah. Tari Gandrung versi Bebandem  merupakan salah satu kesenian tradisnional yang pernah berkembang pada zaman penjajahan  sekitar tahun 1940 an.
            Tari Gandrung merupakan tari pergaulan yang mirip tari joged bungbung pada saat ini, hanya saja penarinya seorang laki-laki yang dirias layaknya seorang perempuan. Pada zaman penjajahan dahulu masyarakat sangat sulit mendapatkan hiburan, apalagi yang melibatkan kaum perempuan, sehingga pada saat itu di Banjar Linggasana, tepatnya di lingkungan Cemara Tebel munculah inisiatif para pemuda untuk mendirikan kesenian Gandrung. Kesenian Gandrung ini terdiri dari penari-penari pria yang dirias seperti penari jogged bungbung dan diiringi dengan seperangkat gamelan yang sederhana.
             Gandrung ini biasanya melakukan aktivitas/kegiatan menari pada saat ada acara tertentu yang menghadirkan banyak orang, dan setiap penari nepek/nyawat beberapa orang pengibing dan setiap pengibing biasanya akan memberi upah kepada penari gandrung berupa uang kepeng atau uang perak yang berlaku saat itu. Upah yang diberikan itu disebut dengan istilah “saweran”.      Seiiring dengan perkembangan zaman, maka kesenian gandrung ini semakin memudar dan hampir punah. Kesenian Gandrung ini dibangkitkan kembali dari tidur panjangnya karna ada dorongan atau permintaan dari beberapa masyarakat terutama yang memiliki sesangi (kaul) untuk menarikan Gandrung disuatu Pura tertentu. Itulah yang mendasari bangkitnya kembali kesenian Gandrung di banjar linggasana, Desa Bhuana Giri dan secara kebetulan pula pelaku kesenian Gandrung terdahulu masih ada hidup walaupun usianya sudah uzur, dan beliaulah yang membina penari dan penabuh gandrung yang baru dibangkitkan kembali.
            Kemudian Kecamatan Bebandem juga menampilkan fragmen tari “Raden Galuh Kahiberang Capung” dan “Trate Bang”. Ceritera “Raden Galuh Kahiberang Capung”, bahwa Raden Galuh di Alengkesari sedang bermain ditaman bersama Dayang, tiba-tiba Raden Galuh melihat seekor capung berterbangan dihadapannya. Timbullah niat Raden galuh untuk bisa menangkap capung itu. Bersama dayang, Raden Galuh berusahan menangkap capung itu, namun ketika berhasil ditangkap tiba-tiba capung itu berubah besar dan banyak seraya menerbangkan raden galuh bersama dayangnya. Jauh raden galuh dibawa terbang oleh capung-capung itu hingga sampai dan diturunkan di Kerajaan Metaun.
            Sedangkan fragmen tari “Trate Bang” bercerita, Diah Langkesaru sedih menanti kedatangan Panji Anusapati yang diharapkan bisa membantunya keluar dari kerajaan kerajaan Trate Bang. Sementara itu Raden Panji Anusa Pati bersama abdinya sedang dalam perjalanan mencari Diah Langkesari. Dalam perjalanan bertemulah Panji Anusapati dengan Prabu Trate Bang yang sedang mencari dan ingin membunuh Panji Anusapati. Terjadilah perkelahian antara Panji Anusapati dengan Prabu Trate Bang yang berakhir dengan kekalahan Prabu Trate Bang. Selanjutnya Panji Anusapati melanjutkan perjalanan mencari Diah Langkesari ke Kerajaan Trate Bang, dan bertemulah Panji Anusapati dengan Diah Langkesari yang dicarinya.
            Penampilan lain Kecamatan Bebandem adalah Topeng Sidakarya yang menggambarkan aktifitas sosial kemasyarakatan yang melekat sebagai media hubungan alam skala niskala. Dia bermakna dan berfungsi sebagai pengukuhan sistem Dewa Yadnya dan sistem kepercayaan, simbolis siklus kehidupan yang tidak pernah lepas dari proses utpeti, stiti, dan prelina. Hakekat upacara merupakan perwujudan hati seseorang atau kelompok kehadapan Hyang maha pencipta dengan menghaturkan kembali kehidupan dan kesejahteraan yang telah diterima berupa persembahan ritual keagamaan. Juga    Topeng Sidakarya merupakan manifestasi saksi yang sejati sebagai tokoh  sakral yang dapat menghubungkan secara aktual ditunjukkan untuk semua komponen. Kehadirannya diharapkan dapat menetralisir unsur-unsur yang menjadi kekurangan dalam pelaksanaan yadnya dengan persembahan rasa tentram damai dan perbedaan pemaknaan tentang alam Bhur, Bwah, Swah.
           
            “Perang” Api untuk Menteralisir Alam
            Kecamatan Karangasem sebagai tuan rumah menjadi pemungkas Parade Budaya dengan menampilkan kekuatan penuh 132 orang. Kecamatan paling ujung timur ini tampil paling lain, unik dan menarik. Apa gerangan yang unik dan menarik? Kecamatan Karangasem diwakili oleh Desa Pakraman Jasri, Kelurahan Subagan. Salahsatu ritual agama/budaya Desa Jasri yang paling dikenal adalah tradisi budaya bernuansa “perang” yang disebutnya Ter-teran (lempar-lempar api). Tradisi Ter-teran ini terkait dengan Upacara Aci Muu-muu. Mereka yang terlibat dalam Ter-teran adalah dua kelompok pemuda dengan mengenakan kain tanpa memakai baju, terlibat langsung saling lempar menggunakan sarana nyala api bobok (obor) yang terbuat dari dayuh (kelapa kering).
Bobok (obor) yang dipakai ngeter (melempar) itu, terbuat dari seikat danyuh berukuran sekitar 80 cm. Di tengah  cekalan daun kelapa itu, terdapat sebatang kayu kecil berukuran seperempat dari panjangnya obor. Hal itu dimaksudkan agar lemparan obornya lebih jauh, cepat dan keras.
Begitu mulai tanda mulai Ter-teran, mereka silih berganti menyerang, obor berseliweran menyerang lawan dari atas maupun bawah, bahkan sampai membentur tubuh teman sendiri. Kalau saja Ter-teran ini digelar malam hari seperti digelar di Jasri saat upcara Muu-muu tentu semburan api yang terlempar sangat indah, seperti kunang-kunang. Gerrrrr para penonton Parade Budaya  bersorak-sorai mentertawakan mereka yang terkena lemparan obor, sebab bukan tidak mungkin tubuh mereka  akan terbakar paling tidak hangus. Guessss.....plak, guesss...plak, begitu suara lemparan obor di udara. Sementara suara riuh rendah penonton terus menggema memberikan suport. Karena ini dalam bentuk Parade Budaya, tentu ”perang” ini tidak seseru aslinya.
            Ter-teran berlangsung setiap 2 tahun sekali pada tahun ganjil saat uapacara Pengerupukan pada Tawur Kesanga sehari sebelum hari Nyepi. Proses upacara Ter-teran ini diawali dengan prosesi mendak Jero Mangku Dalem dan Jero Mangku Desa dan pengerembak caru oleh Badan Desa Istri dan Lanang. Ketika Ida Bhatara Dalem tedun atau turun dari pesimpenan menuju Pura Bale Agung untuk selanjutnya menuju tempat ngaturang caru. Datang dari ngaturang caru Ida Bhatara katuran uapcara pemendak. Tujuan upacara Ter-teran dengan ngaturang pamendak dengan bobok  untuk menetralisir bhuta kala agar kembali ke tempatnya masing-masing atau somia, dari Bhuta Kala menjadi Dewa sehingga Bhuta Kala tidak mengganggu ketentraman Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
            Selengkapnya dalam Parade Budaya Kec. Karangasem menampilkan personil sebagai peran: pengerambat caru, pemendak, pengusung bebandrangan, Jero Mangku, pengiring Batara Dalem, Pecalang, Rejang Lilit, Pendet Lanang, gamelan Tambur, gamelan baleganjur, pengusung gebogan, pembawa kulkul.

         Promosi Potensi Budaya Lokal
         Apa tema parade Budaya Karangasem? menurut Ketua Seksi Parade Budaya Karangasem, Ir. Gde Ngurah Yudiantara, MM,  yang juga Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kab. Karangasem, “Dengan Semangat Parade Budaya, Kita Tingkatkan Penggalian, Pelestarian, Pengembangan dan Promosi Potensi  Budaya Lokal Untuk Memperkokoh Budaya Bali”.
         Dijelaskan Yudiantara, tema tersebut mengandung makna, bahwa  semangat parade seni budaya tersebut diharapkan masyarakat Bali sebagai pendukung dan penikmat seni budaya mampu meningkatkan melalui cara: menggali, melestarikan, mengembangkan dan mempromosikan potensi seni budaya lokal (kearipan lokal) yang ada di wilayahnya. Cara itu dilakukan untuk turutserta mengajegkan (memperkokoh) jati diri seni budaya tradisional  Bali guna mendukung/memperkaya seni budaya  Indonesia yang semakin lama dapat terpinggirkan oleh  budaya modern akibat globalisasi. Masyarakat pendukung dan penikmat seni budaya akan mendapatkan vibrasi positif terhadap berbagai aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi masyarakat, karena disamping aktivitas seni budaya masyarakat Bali terkait dengan ritual Hindu juga ada seni budaya yang profane.

                                                                        Penulis, Pegawai Diskominfo Kab. Karangasem