KOMANG PASEK ANTARA

Minggu, 25 September 2011

Terjadi di Desa Ababi, Karangasem SETAHUN TIGA KALI MENYELENGGARAKAN HARI NYEPI

Oleh: I Komang Pasek Antara           
           Pelaksanaan keagamaan yang sangat unik Nyepi bagi umat Hindu khusunya di Bali, umumnya dilaksanakan hanya sekali yaitu sehari penuh selama 24 jam dalam setahun. Tetapi ada yang  lebih unik lagi di wilayah ujung timur pulau Bali tepatnya di sebuah desa bernama Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Pelaksanaan Nyepi di wilayah desa tersebut malah berlangsung lebih dari sekali, sampai tiga kali dalam setahun. Lokasi Desa  Ababi berada disebelah utara objek wisata Taman Tirta Gangga, sekitar 15 km dari kota Amlapura menuju arah utara jalan menuju Kota Singaraja. Mengapa dan bagaimana hari Nyepi ala  Desa Ababi?
           
Pelaksanaan Nyepi nasional bagi seluruh  umat Hindu di Indonesia dilaksanakan pada pergantian tahun Baru Icaka setiap tahun sekali setiap bulan Maret/April. Umat Hindu selama 24 jam penuh melaksanakan brata penyepian. Umat Hindu tidak diperkenankan/larangan melakukan empat jenis  kegiatan/aktivitas yang biasanya dilakukannya sehari-hari. Empat jenis larangan kegiatan/aktivitas tersebut meliputi: Amati Geni (tidak menyalakan api/lampu dan tidak boleh mengobarkan hawa nafsu); Amati Karya (tidak melakukan kegiatan/kerja pisik, melainkan tekun melakukan penyucian rohani; Amati Lelungan (tidak bepergian kemana-mana, melainkan senantiasa mulat sarira/atau mawas diri di rumah serta melakukan pemusatan pikiran bhakti kehadapan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam berbagai manifestasinya dan Amati Lelungan (tidak mengadakan hiburan/rekreasi atau bersenang-bersenang lainnya). Pada saat Hari Nyepi itulah umat Hindu telah memasuki tahun baru Icaka.
 Tiga Kali Melaksanakan Nyepi
Dua hari Nyepi tambahan lagi yang wajib dilaksanakannya oleh warga Ababi adalah Nyepi Purusa dan Nyepi Luh. Purusa sinonim dari laki dan Luh berarti perempuan. Pelaksanaan kedua Nyepi Purusa dan Nyepi Luh juga berlangsung setiap tahun sekali, tetapi waktu pelaksanaannya berbeda. Pelaksanaan  Nyepi Purusa dan Nyepi Luh mendahului dengan hari Nyepi dalam pergantian tahun baru Icaka. Demikian halnya pelaksanaan antara Nyepi Luh dan Nyepi Muani waktunya berbeda. Nyepi Luh dilaksanakan pada hari kajeng tilem sasih kapitu (bulan mati ketujuh perhitungan Bali) terkait dengan digelarnya upacara agama piodalan di Pura Kedaton Desa Adat Ababi, sedangkan hari Nyepi Muani dilaksanakan dalam tempo waktu sebulannya lagi tepatnya pada hari tilem sasih kaulu (bulan mati kedelapan perhitungan Bali).
            Tidak Boleh Bekerja
Pelaksanaan hari Nyepi Luh baru di berlakukan keesokan harinya setelah puncak upacara piodalan di Pura Kedaton Desa Ababi. Pelaksanaan Nyepi hanya diberlakukan kepada kaum wanitanya saja semua golongan umur. Kaum wanitanya wajib melakukan brata penyepian (larangan–larangan) tetapi tidak diberlakukan seperti larangan Nyepi pada umumnya di Bali, hanya dilaksankan amati karya saja yaitu: tidak boleh bekerja baik itu keperluan ekonomi atau kerja sehari–hari dirumah, tidak berpergian diluar wilayah desa dan  dilarang mengendarai kendaraan bermotor. Larangan tersebut hanya berlaku sehari (24 jam) sama seperti Nyepi pergantian tahun Icaka, dimulai pada pagi hari saat mata hari mulai terbit sampai keesokan  harinya saat matahari mulai terbit kembali sekitar pukul 06.00. Pelaksanaan Nyepi ditandai dengan suara kulkul (kentongan) desa dan sembahyang bersama di Pura Kedaton.
Saat itu bagi kaum wanita warga Desa Adat Ababi  yang baru menempuh mahligai rumah tangga, bertempat di Pura tersebut mereka  langsung dikukuhkan oleh pengurus desa adat sebagai krama pengarep (anggota utama) baru Desa Adat Ababi.
Berbeda dengan Nyepi Luh, Nyepi Muani dilaksanakan terkait dengan digelarnya upacara agama Usaba di Pura  Dalem. Pelaksanaan Brata (larangan) Nyepi Muani sama seperti Nyepi Luh, hanya Nyepi ini berlaku bagi kaum prianya saja dari semua golongan umur. Mereka melakukan brata penyepian sehari setelah puncak upacara di Pura Dalem, dan setelah melaksanakan persembahyangan bersama di Pura tersebut.
Mengenai sangsi hukum bagi masyarakat yang melakukann pelanggaran brata penyepian, menurut Drs. I Made Adnyana tokoh masyarakat Ababi yang ditemui penulis, sampai saat ini belum ada sangsi hukumanya yang tertuang dalam awig–awig (peraturan desa), karena memang belum pernah ada yang melanggar, kalaupun ada masyarakat yang terbukti melanggar hanyalah kena sangsi sosial saja.
Masyarakat Desa Adat Ababi dalam mengapresiasikan brata penyepian diekpresikan dalam berbagai cara kegiatan sesuai dengan ajaran agama Hindu dan tradisi, Berdiam diri masing-masing di rumah merenung mengintropeksi diri apa yang pernah dilakukan sebelumnya yang perlu diperbaiki untuk masa depan yang lebih baik lagi.     Sehari setelah Nyepi aktivitas upacara di masing–masing Pura Kedaton dan Pura Dalem juga berakhir. Waktu tersebut digunakan oleh Warga Desa Ababi  saling mengunjungi antar keluarga/kerabat untuk mempererat tali persaudaraan.
          Perkawinan Antar Ida Betara
Drs. I Made Adnyana mengatakan kepada penulis di rumah kediamannya di Desa ababai tradisi budaya Nyepi Luh dan Nyepi Muani sudah berlangsung sejak desa itu berdiri sekitar abad ke–11. Kata Adnyana yang Ketua Parisadha Kecamatan Abang dan guru SD itu, sampai saat ini belum ditemukan bukti tertulis berupa lontar atau bentuk tulisan lainnya, hanya ada mitologi yang berkembang di masyarakat Desa Adat Ababi, bahwa adanya hubungan perkawinan suami–istri) antara Ida Bathara yang berstana di Pura Dalem (pihak suami) dan Ida Bathara yang berstana di Pura Kedaton (pihak istri).
Lanjut dikatakan Bapak Adnyana, filosofi Nyepi di Desa Adat Ababi sama dengan Nyepi pada umumnya di Bali, yaitu sebagai momentum untuk sujud bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan) dan sekaligus intropeksi diri apa yang dibuat sebelumnya akan menjadi lebih baik di masa mendatang.
Sedangkan Kepala Desa Ababi, Drs. I Made Dipta menambahkan Nyepi Luh dan Nyepi Muani adalah wujud emanisipasi wanita, para wanitanya memperoleh hak yang sama dengan prianya.
Desa Ababi selain memiliki budaya Nyepi yang unik itu, juga memiliki aktivitas upacara agama disebut ngaben jero ketut (suatu upacara terhadap hama tikus sawah yang telah dibunuh).
 Penulis, pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kab. Karangasem
                                              Oleh: I Komang Pasek Antara

Label:

TRADISI “PERANG” DI KARANGASEM, BALI (II): Lempar-lemparan Api Obor Menetralisir Roh Jahat

                                                            Oleh: I Komang Pasek Antara

Setelah pembaca menikmati gambaran kerasnya gebugan rotan dalam tradisi pertunjukkan “perang rotan” di Desa Seraya, pembaca lagi dapat menikmati  jenis “perang” lain, yaitu tradisi ”perang api” yang oleh masyarakat setempat disebut Terteran. Terteran artinya sama dengan lempar-lemparan.
Terteran dapat saksikan di Desa Jasri lokasinya menuju arah barat masih dalam satu kecamatan Karangasem, tidak jauh sekitar 10 km dari Desa Seraya tempat digelarnya tradisi Gebug.  Perang seperti senjata api? bukan! perang api dengan bola bakar? juga bukan! lantas apa? Berikut liputan penulis langsung dari lokasi ”perang.
Tradisi Terteran  bersifat ”perang” massal melibatkan sekitar 60 orang ”pasukan” terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok warga Jasri yang  rumah tinggalnya di wilayah sebelah utara balai masyarakat Jasri. Sedangkan pihak kelompok lawannya warga yang rumah tinggalnya di sebelah selatan balai masyarakat tersebut.
Terteran digelar saat sore menjelang petang hari di medan  sepanjang jalan raya uumum di muka Balai Masyarakat Jasri. Akibatnya jalan raya yang menghubungkan Kota Amlapura-Denpasar sementara ditutup selama hampir 3 jam.
”Medan perang” yang boleh dijelajahi kedua kelompok itu terpisah oleh batas wilayah kelompok, berupa bentangan daun enau yang diikatkan di dua buah penjor yang dipancangkan di sebelah barat dan timur jalan raya.
Bobok (obor) yang dipakai ngeter (melempar) itu, terbuat dari seikat danyuh (daun kelapa kering) yang  berukuran 80 cm. Di tengah  cekalan daun kelapa itu, terdapat sebatang kayu kecil berukuran seperempat dari panjangnya obor. Hal itu dimaksudkan agar lemparan obornya lebih jauh, cepat dan keras.
Para pemainnya, yaitu orang laki-laki tua maupun muda, tidak mengenakan baju, mereka hanya mengenakan kain atau celana.
Begitu peluit tanda mulai dibunyikan, mereka silih berganti menyerang, obor berseliweran menyerang lawan dari atas maupun bawah, bahkan sampai membentur tubuh teman sendiri. Semburan api yang terlempar sangat indah, seperti kunang-kunang. Gerrrrr para penonton selalu bersorak-sorai mentertawakan mereka yang terkena lemparan obor, sebab bukan tidak mungkin tubuh mereka  akan terbakar paling tidak hangus. Guessss.....plak, guesss...plak, begitu suara lemparan obor di udara. Sementara suara riuh rendah penonton terus menggema memberikan suport. Meskipun masih saudara atau tetangga satu desa mereka tidak peduli.

Senang, Perih dan Sakit Berbaur Menjadi Satu
Seperti penuturan I Ketut Pasek Antara dan I Wayan Suma kepada penulis saat usai mengikuti Terteran, mereka semangat sekali melakukan ”peperangan” keringat bercucuran membasahi badannya yang luka bakar. Rasanya senang, perih dan sakit berbaur menjadi satu, namun tak mereka rasakan serius luka itu, sebab kalau sudah memegang  secekal obor pada gejolak hati peperangan itu mereka seolah-olah tak ingat apa-apa lagi. Terkadang lemparan obor tidak memenuhi sasaran sampai membentur penonton, suara riuh penonton lainnyapun pecah menertawakan penonton yang kena sasaran lemparan.
Uniknya lagi apabila salah satu pemainnya mengalami kecelakaan, karena jatuh terpeleset maupun kulitnya mengalami luka bakar, mereka tidak perlu repot-repot harus pergi ke  medis. Luka itu akan sembuh hanya dengan diolesi atau diperciki air tirta (air suci) yang dimohonkan kehadapan Ida Betara (Tuhan)  bersemayamkan di Pura Balai Agung yang sedang diupacarakan. Nantinya luka itu akan beraangsur-angsur sembuh.
Keseluruhan ”peperangan” berlangsung sekitar 1 jam. Pertandingan berlangsung beberapa babak dan setiap babak ditandai dengan matinya api obor. Peperangan berakhir apabila  habisnya danyuh tersebut.

Menetralisir  Roh Jahat
Gambaran suasana ”perang” di atas adalah tambahan dari rangkaian utama Tereteran yang dilaukan terkait dengan kegiatan Upacara Agama Usaba Aci Muu-Muu di Desa Pakraman Jasri  setiap rainan tilem kesanga (satu hari sebelum Nyepi).
Terteran yang utama digelar pada raya tilem kesanga (bulan mati, satu hari sebelum hari Nyepi) terkait dengan rentetan upacara nebekin sampi (membunuh sapi) di muka Pura Puseh guna perlengkapan mecaru (korban suci) terhadap Bhutakala (roh jahat). Baru kemudian sore harinya Terteran dimulai. Sekitar 50 orang laki-laki tua-muda dengan mengenakan kain putih tanpa baju serta kepala terikat daun enau berangkat menuju Pantai Jasri sekitar 500 meter di sebelah selatan Desa. Sekembalinya mereka dari melarung caru ke laut malam sudah menyungkup bumi, dan tepat di muka balai masyarakat Jasri tempat atraksi Terteran  biasanya dilangsungkan, mereka dihadang serta dilempari oleh puluhan orang warga desa dengan bobok (obor).
 Pembawa caru yang disebut dengan Wong Bedolot itu, tidak boleh melawan, hanya menangkis saja dengan obor yang mereka bawa. Apabila obor yang dipakai melempar itu habis, maka Wong Bedolot sudah lepas dari cengkeraman lemparan, dan terus lari bergegas-gegas menuju arah Pura Balai Agung.
Maksud melempar Wong Bedolot dengan obor di dasari oleh suatu mitos, bahwa Wong Bedolot itu sekembalinya dari pantai diperkirakan masih diikuti oleh sejumlah roh jahat yang dapat mengganggu ketentraman lingkungan, karena itu ia harus dinetralisir dan tidak boleh masuk ke wilayah desa. Suasana malam itu betul-betul kelam dan tegang, tanpa seberkas sinar lampu di rumah penduduk. Yang terlihat hanyalah pancaran sinar obor dikegelapan malam.

Setiap Dua Tahu Sekali
Menurut tokoh masyarakat Jasri, I Wayan Oreg, tradisi Terteran ini berlangsung setiap dua tahun sekali (hitungan tahun genap), tepatnya pada hari raya tilem kesanga (bulan mati), pada saat itu pula umat Hindu di Indonesia melangsungkan upacara mecaru (korban suci) kehadapan Bhutakala (makhluk jahat) yang dapat mengganggu kehidupan alam sekitarnya. Keesokan harinya baru diberlakukan hari Nyepi nasional Hari Nyepi dilakasanakan setiap tahun sekali setiap bulan Maret/April. Hari itu umat Hindu selama 24 jam penuh tidak diperkenankan/larangan melakukan empat jenis  kegiatan/aktivitas yang biasanya dilakukannya setiap hari. Empat jenis larangan kegiatan/aktivitas tersebut meliputi: Amati Geni (tidak menyalakan api/lampu dan tidak boleh mengobarkan hawa nafsu); Amati Karya (tidak melakukan kegiatan/kerja pisik, melainkan tekun melakukan penyucian rohani; Amati Lelungan (tidak bepergian kemana-mana, melainkan senantiasa mulat sarira/atau mawas diri di rumah serta melakukan pemusatan pikiran bhakti kehadapan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai manifestasinya); dan Amati Lelungan (tidak mengadakan hiburan/rekreasi atau bersenang-bersenang lainnya). Pada saat Hari Nyepi itulah umat Hindu telah memasuki tahun baru Icaka.
            Penulis, pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kab. Karangasem

Label:

TRADISI “, BALI PERANG” DI KARANGASEM (I) Saling Pukul Dengan Rotan Untuk Memohon Hujan

Oleh: I Komang Pasek Antara

BALI telah dikenal diseantero dunia  karena berbagai aktivitas seni dan budayanya yang adi luhung.  Hampir seluruh aspek budaya masyarakat Bali penuh dengan simbol–simbol sosial religius. Kecil wilayahnya luas misterinya bahkan penuh keunikan. Disebut unik, karena yang ada di Bali tidak ada di luar Bali.
Tulisan ini mencoba menelusuri salahsatu aktivtas tradisi agama/budaya masyarakat yang unik, menarik bernapaskan ”perang”  di ujung timur pulau Bali yaitu di Kabupaten Karangasem, salah satu dari sembilan kabupaten/kota di Propvinsi Bali.
Selain Karangasem dikenal dengan keunikan tradisi agama/budayanya juga dikenal banyak memiliki obyek wisata alam, salah satu obyek wisatanya yang terkenal adalah tempat suci umat Hindu terbesar di Indonesia yaitu Pura Besakih, lokasinya di kaki  Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali. Obyek wisata lainnya yang tak kalah menariknya yakni: Pantai Candidasa, Pantai Bunutan, Taman Tirta Gangga, Taman Ujung, Agro wisata buah salak dll.
Kabupaten Karangasem dengan ibukotanya Amlapura berpenduduk sekitar 427.871 jiwa, luas wilayah sekitar 839.54 km2 terdiridari 8 wilayah kecamatan  Potensi wilayah alamnya berpariasi. Sebagian daerahnya bertanah kering tandus, dan sebagian lagi beriklim sejuk banyak air.
Kembali kepada uraian awal tulisan ini, bagaimana tradisi agama/budaya unik yang sampai saat ini masih dilestarikan dan dilakoni oleh masyarakat Karangasem yang benafaskan ”perang” dan mencerminkan sikap heroik?. Perang konvensional yang memakai senjata api? Bukan! Lalu perang apa itu? Jangan kaget, ada berbagai perang yang suka dilakukan penduduk desa di Karangasem. Misalnya ”perang rotan” atau yang oleh masyarakat setempat disebut Gebug Ende, terdapat di Desa Seraya, ”perang api ” (Teteran) di Desa Jasri,  ”perang Jempana” dan ”perang pelepah pisang” (Tetabahan) di Desa Bugbug, dan ”perang pandan berduri” yang dikenal dengan Mekare-kare terdapat di desa Tenganan Pegeringsingan salahsatu desa penduduk Bali Aga (Bali asli).
Mengapa masyarakat di beberapa desa di Karangasem mempunyai tradisi ”perang” seperti itu? Apakah masyarakatnya dari dulu memang suka berperang? Tentu saja tidak, sebab mereka sadar bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum, yang tidak membenarkan tindakan kekerasan seperti itu. Tapi semangat berperang tetap kita gelorakan dihati sanubari masyarakat Karangasem seperti: perang melawam kemiskinan, perang melawan korupsi dan perang melawan kejahatan. Namun yang jelas Kabupaten Karangasem pernah mempunyai pejabat Ketua DPRD Karangasem (periode tahun 1983-1988) lalu  bernama Ida Bagus Ketut Perang (alm), sedangkan pada masa itu  Bupatinya bernama Gusti Nyoman Yudhana (alm.), Yudha berarti perang.

Gebug
Salah satu desa yang kita temukan kalau kita menyusuri Kabupaten Karangasem dari arah timur adalah desa Seraya, kini telah dimekarkan menjadi tiga desa meliputi: Seraya Barat, Seraya Tengah dan Seraya Timur, termasuk wilayah Kecamatan Karangasem, 10 km dari kota Amlapura setelah melewati obyek wisata Taman Soekasada Ujung. Jika di lihat di peta Pulau Bali, wilayah  berada paling ujung timur.
Secara Geografis desa ini  tanahnya tandus. Hampir setiap tahun bila musim kemarau tiba desa ini membutuhkan bantuan tambahan  air minum/mandi meskipun air minum PDAM sudah masuk ke Seraya.
Seraya juga masih menyimpan sejumlah identitas lain dengan kualitas relativ baik . Misalnya di bidang hasil bumi, dikenal jagung Seraya yang rasanya gurih dan empuk,  merupakan produk kecil dari beberapa bidang tanah yang bisa di tanami. Dan anehnya, kendati geografisnya demikian tapi sosok tubuh penduduknya dikenal fisiknya kuat.
Mungkin akibat keadaan geografis yang tandus itulah, maka masyarakat Seraya khususnya  memiliki tradisi budaya religius itu memohon turunnya hujan. Untuk terkabulnya permohonan itu mereka menggelar tradisi yang namanya Gebug (perang rotan), biasanya dilakukan pada musim kemarau tiba. Bagaimana bentuk atraksinya?
Plak, plak, plak, cebet, cebet. Begitu suara pukulan sebatang rotan  membentur ende (perisai) dan sekali-kali menerpa tubuh lawan. Meski tubuhnya terkena pukulan rotan, mereka merasa gembira dan sembari menari-nari kegirangan. Sementara suara gamelan bertalu-talu sebagai pengiring memanaskan suasana ”perang”. Penonton pun sorak-sorai unruk memberika suport. Mereka bertanding satu lawan satu. Sebatang rotan sebagai alat pemukul panjangnya sekitar satu meter. Sedangkan alat penangkisnya sebuah perisai bergaris tengah 60 cm terbuat dari lapisan kulit sapi kering yang terikat pada bingkai kayu.
Cara ”perang” mereka boleh dikatakan menarik dan mengerikan, karena berduel satu lawan satu memakai alat pemukul dari rotan tanpa mengenakan baju hanya pakai busana kain adat saja. Tak pelak cucuran darah tubuhnya/kepala akan mengalir  karena pukulan sebatang rotan, paling tidak bekas memar akan membekas setiap pukulan rotan itu mendarat di punggungnya apalagi ”perang” ini di mainkan dibawah terik matahari.
 Atraksi Gebug umumnya dilakukan di sela-sela istirahat kerja di ladang pada siang/sore hari biasanya saat akan menjelang musim tanam di ladang. Masyarakat pendukungnya mempercayai, kalau permaiann Gebug salahsatu pemainnya sampai mengelarkan darah dari pukulan rotan maka ada kemungkinan hujan akan cepat turun. Singkatnya, menurut kepercayaan masyarakat Seraya, permainan  Gebug digelar di wilayah desanya  ini untuk memohon kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan ) agar hujan segera turun untuk keperluan pertanian dan konsumsi.
Diakui memang tidak selalu sehabis atraksi Gebug hujan akan spontan turun, sebab turunnya hujan tergantung kepada-Nya, paling tidak warga sudah berupaya memohon kepada yang kuasa. Atraksi ini biasanya berlangsung di tempat-tempat umum dengan mengundang lawan yang ada di desa sekitarnya termasuk Dusun Ujung Pesisi, sebuah kampung nelayan pinggir pantai Ujung yang penduduknya sebagain warga Muslim asal Pulau Lombok. Gebug  dilakoni oleh baik anak kecil, dewasa maupun orang tua tak ketinggalan dalam mengadu kepintaran memainkan batangan rotan dan perisai.
Menurut penuturan I Wayan Kembar, salah seorang pemuda desa Seraya yang sudah sering ikut Gebug, jika para pemain sudah memegang sebatang rotan dan perisai maka akan muncul gejolak hati untuk maju melawan musuh. Tidak memandang siapa yang dilawan teman atau saudara. Bagi para pemain Gebug bersimbah darah akibat terkena rotan sudah biasa,  rasa sakit dan gembira membaur menjadi satu. Tentang pengobatannya? Ooo... katanya tidak perlu repor-repot ke dokter! luka itu akan segera kering dan sembuh dengan memakai obat ramuan tradisional.
Karena tradisi Gebug Seraya memiliki kekhasan dan berkualitas baik sebagai pertunjukkan rakyat, maka berbagai pihak masyarakat dan pemerintah memanfaatkannya untuk dipertunjukkan dalam acara tertentu termasuk konsumsi wisatawan domistik dan mancanegara yang datang ke Karangasem. Bahkan Gebug Seraya oleh para seniman tari di Karangasem seperti Ni Wayan Kinten pemilik Sanggar Seni Mini Artis Amlapura mengemasnya kedalam bentuk tarian, cukup atraktif!

Aturan Permainannya
Aturan permainan Gebug sangat sederhana. Arena yang dipergunakan tidak menuntut tempat yang luas minimal 6m2. Juru kembar (juri pertandingan)  masing-masing menyeleksi perbandingan/penyesuaian lawan  postur tubuh maupun usia.     Sebelum permainan di mulai biasanya  didahului  permainan pendahuluan yang di mainkan oleh juru kembar  tapi tidak samapai rotan membentur tubuh lawan. Hal itu hanya dilakukan sebentar sebagai rangsangan pemberi semangat kepada yang akan bermain.
Biasanya kalau Gebug tersebut digelar di desanya, sebelum pertandingan di mulai para pemainnya minum tuak (nira) agar badan cepat panas tapi tidak sampai mabuk. Peraturan permainannya sederhana sekali, mereka tidak di perkenankan memukul di bawah pusar dan saling berangkulan. Tidak boleh menyerang melewati garis batas wilayah posisi pemain. Jika aturan tersebut dilanggar mereka dilerai dan diberi peringatan. Apabila tidak mengindahkan peringatan maka mereka dikeluarkan dari arena dan dinyatakan kalah.
Umunya permainannya berlangsung singkat sekitar 10 menit. Tidak ada pernyataan resmi dari wasit pihak yang menang ataupun kalah, hanya penonton yang dapat menilainya.
Ada kisah menarik mengenai masyarakat Seraya yang terkenal kuat fisiknya itu, menurut mantan Kepala Desa Seraya Tengah, I Ketut Jineng, pada zaman kerajaan masyarakat seraya merupakan ”tangan kanan” Raja Karangasem yang memerintah pada waktu itu.
Di masyarakat seraya ada beberapa orang yang di kenal dengan sebutan sorohan petang dasa (kelompok empat puluh). Mereka itulah yang harus tampil lebih dahulu melawan musuh jika ada perang.

Di Lombok Juga Ada Gebug
Permainan Gebug seperti ini bukan hanya ada di Desa Seraya, tetapi di Lombok (Nusa Tenggara Barat) mengenal jenis tradisi itu, hanya namanya berbeda. Di Lombok diberinya nama presean, dan popularitasnya sama antara di Lombok dengan Desa Seraya. .       Permainan Gebug/Presean (perang rotan) ada dua pendapat berbeda. Menurut Dewa Gde Raka budayawan asal Karangasem, diciptakan oleh masyarakat Desa Seraya, Karangasem. Di pihak lain pendapat budayawan Lombok Drs. L. Djalaluddin Arzaki, diciptakan di Lombok oleh orang–orang suku Sasak.
Prinsip permainan rakyat itu sama, disamping tujuan utama kepada Tuhan untuk permohonan hujan cepat turun, juga sebagai hiburan yang cukup marak di kedua tempat itu. Bedanya hanya alat penangkis (perisai). Di Lombok bentuk perisai persegi empat panjang sedangkan di Seraya Karangasem bentuknya bundar.
 Nama Desa Seraya di Karangasem juga terdapat di desa Seraya (Lombok Barat), dan orangnya asal dari satu keturunan Desa Seraya (Karangasem). Hal itu disebabkan masyarakat Seraya, Karangasem sejak jaman kerajaan Karangasem pada abad ke-17 pernah melebarkan kekuasaannya sampai ke Pulau Lombok dengan iringan  warga Seraya, Karangasem.
Penulis, pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kab. Karangasem




Label: